Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
Dikepung dengan berbagai izin konsesi dari oknum pemerintah yang juga didukung oknum aparat keamanan, masyarakat adat Muara Tae tidak pernah gentar menghadang masuknya perusahaan untuk mempertahankan hutan adat mereka.

Berbagai macam bentuk intimidasi dan ancaman mereka dapatkan ketika mereka menolak izin-izin konsesi tersebut.
Namun kedamaian warga Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng lama-lama terusik.
Puncaknya pada 2014, warga Muara Ponaq, kampung yang berbatasan dengan Muara Tae menyebarkan berita bohong. Mereka mengklaim tanah di Muara Tae adalah milik mereka.
Berdasarkan surat keputusan pada saat itu, sebagian wilayah Muara Tae masuk ke dalam kawasan Muara Ponaq. Hal itu untuk memudahkan warga Muara Ponaq menjual tanah mereka kepada perusahaan sawit.
Dengan demikian perusahaan mudah mencaplok tanah dan Hutan Adat Muara Tae untuk dijadikan lahan perkebunan sawit.
Tentu saja masyarakat Muara Tae menolak berita bohong tersebut. Keadaan menjadi kacau.
Muara Tae bertahan sedangkan gempuran terjadi secara masif dari warga Muara Ponaq, pemerintah setempat, dan perusahaan.
Mencari Sampai Ketemu, Mengejar Sampai Dapat
Hairudin Alexander, Biro Infokom Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim mengisahkan peristiwa tersebut yang terjadi lima tahun silam. Dia pun ada di Muara Tae menyaksikan ritual Sumpah Adat.
Tak terjadi titik temu, warga adat Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng menggelar ritual Sumpah Adat.
Acara yang digabungkan dengan upacara Guguq Tau’tn selama 64 hari sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan, menenangkan leluhur, dan berdamai dengan alam.
“Sumpah Adat merupakan puncak tertinggi penyelesaian kasus kebohongan yang pernah digelar Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng,” ujar Hairudin Alexander.
Untuk membuktikan siapa yang benar dan bohong karena tak ada bukti-bukti tertulis mengenai kepemilikan lahan.

Masyarakat adat Muara Tae percaya bahwa tanah yang telah mereka diami selama ratusan tahun adalah milik mereka.
Seperti yang pernah dilontarkan Petrus Asuy. “Hendak dijual oleh orang Muara Ponaq, akan digarap perusahaan. Harus diperhatikan semua pihak, warga Muara Tae sangat sayang dengan hutan ini sesuai dengan hak ini secara turun-temurun," kata dia.
Petrus Asuy mengungkapkan, warga Muara Tae hidup tak terpisah dari hutan dan tanah. Hutan dan tanah dianggap sebagai ibu bapak yang telah memelihara Komunitas Adat Muara Tae sejak kecil hingga besar.
“Ingin berburu, hutan masih luas. Cari ikan tinggal memancing turun ke sungai. Musim berladang tak susah atur tanah. Musim madu, gampang cari madu. Tak ada masalah untuk mengatur kehidupan sehari-hari,” tutur Petrus Asuy.

Tapi jika hutan Muara Tae dikuasai perusahaan, apalagi yang dimiliki Komunitas Adat Muara Tae untuk generasi penerus, maka masyarakat harus berjuang.
Kini saja dengan luasan hutan yang semakin menyempit, warga harus menempuh tiga kilometer untuk mencari air bersih. Terlebih saat musim kemarau.
Jika dulu bisa ditemukan dengan mudah puluhan mata air, kini sejak hutan adat ditambang, mata air menyusut tinggal tiga sumber saja.
Lantaran ketergantungan yang amat besar terhadap hutan tersebut, maka Komunitas Adat Muara Tae menggelar ritual Sumpah Adat pada 29 Agustus 2014.
Pada acara Sumpah Adat itu sejatinya semua belah pihak hadir. Namun nyatanya pihak-pihak yang berseberangan dengan Muara Tae tak ada yang hadir.
Saat itu sejumlah warga dari Komunitas Adat Muara Tae berkumpul di Sungai Pose, tapal batas yang diperebutkan warga Muara Tae dan Muara Ponaq.
Aliran sungai itu terpotong lantaran ada perkebunan sawit sehingga mengubah batas alam wilayah Kampung Muara Tae.
Upacara pun dimulai. Sebatang rokok yang mengeluarkan asap diselipkan ke mulut tengkorak yang diletakkan di tanah.
Berbagai sesaji berupa hasil bumi seperti jagung, singkong, beras, telur, dan berbagai macam lauk-pauk dihidangkan di meja besar. Seekor kerbau pun disembelih.
Seorang pawang memimpin upacara Sumpah Adat tersebut. Pawang lantas membaca mantra-mantra.
“Sumpah Adat ini netral, tidak memihak kepada golongan tertentu. Tapi yang dicari adalah kebenaran. Walaupun kami yang menggelar Sumpah Adat, tapi jika kami yang salah, tetap saja sanksinya akan mengenai kami juga,” tutur Petrus Asuy.
Sumpah Adat ini merupakan doa agar Yang Kuasa dan para leluhur ikut membantu perjuangan Komunitas Adat Muara Tae untuk mempertahankan hutan dan tanah mereka.
Mereka berpegang teguh pada semboyan Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng: untuk mencari sampai ketemu, mengejar sampai dapat.
Hukum Adat Berupa Denda
Warga Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng lebih takut dan percaya dengan hukum adat yang berlaku.
“Biasanya urusan malah kelar jika hukum adat sudah diberlakukan,” tutur Hairudin Alexander.
Lantaran kepercayaan yang kuat itulah, tatkala setelah Sumpat Adat digelar, selang mulai dari setengah tahun-dua tahun kemudian, mulai berjatuhan korban.
Enam warga Muara Ponaq yang berhubungan dengan klaim, kaki tangan perusahaan, juga menyebarkan berita bohong soal kepemilikan tanah menemui ajalnya satu per satu. Ada yang kecelakaan atau jatuh sakit.
Warga Muara Tae maupun Muara Ponaq percaya, sebab-musabab keenam orang tersebut meninggal lantaran mereka telah melanggar Sumpah Adat Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng.
Mereka terbukti berbohong dan hendak menjual tanah ‘keramat’, warisan leluhur yang memberikan kehidupan bagi masyarakat selama ini.
Setelah adanya ‘denda maut’, hubungan warga Muara Ponaq mulai melunak dan membaik. Mereka tak lagi memberikan informasi sesat seputar tanah Muara Tae kepada perusahaan atau oknum aparat setempat.
“Bahkan jika ada sengketa yang menyoalkan tanah Muara Tae, warga Muara Ponaq membenarkan bahwa itu milik warga Muara Tae,” ungkap Hairudin Alexander.
Meski saat ini konflik antara warga dan perusahaan terus berlangsung, namun warga Muara Ponaq tak ikut lagi lantaran takut ‘kualat’ dengan Sumpah Adat.
Komunitas Adat Muara Tae pun semakin gigih mempertahankan hutan dan tanah milik mereka meski gempuran masih saja terjadi.
Kegigihan itu pun berbuah manis. Komunitas Adat Muara Tae mendapatkan penghargaan bergengsi Equator Prize 2015 dari United Nations Development Programs (UNDP) PBB.
Komunitas Adat Muara Tae dianggap berhasil mempertahankan, melindungi, dan memulihkan wilayah dan Hutan Adat yang masih tersisa dari gempuran HPH, tambang, dan perkebunan sawit.
Dari 11.000 Ha wilayah adat, tinggal 4.000 Ha yang masih terus dipertahankan sebagai sumber penghidupan mereka.
Itupun masih terus berupaya dirampas oleh perusahaan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Selain Sumpah Adat untuk menguji kebohongan yang berujung maut, di kehidupan sehari-hari, warga pun lebih suka menyelesaikan segala permasalahan mereka dengan hukum adat. Skalanya lebih ringan dari Sumpah Adat.
Berita-berita bohong/hoaks atau masyarakat menyebutnya dengan berita etaaq yang terjadi di masyarakat adat Muara Tae biasanya berkisar pada isu Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), penjualan tanah keluarga secara sepihak, perselingkuhan, orang hilang, hingga pembunuhan.
“Jika yang dirugikan melapor ke Kepala Adat, maka dipanggil kedua belah pihak untuk dipertemukan dicari kebenarannya. Jika terbukti salah satu pihak berbohong, maka dia harus membayar denda,” ujar Petrus Asuy.
Denda berupa antang (guci), mandau, atau babi. Tergantung ringan-berat kasus kebohongan yang dilakukan.
Biasanya setelah didenda, masalah pun selesai dan berakhir damai. Tak ada konflik susulan. (Trinilo Umardini)