Bayi Aneh di India Makan Usus Ibunya,Penelusuran Kompas.com, Hoaks, Ini 3 Hal yang Harus Anda Tahu
Bayi Aneh di India Makan Usus Ibunya,Penelusuran Kompas.com, Hoaks, Ini 3 Hal yang Harus Anda Tahu,
TRIBUNKALTIM.CO -Bayi Aneh di India Makan Usus Ibunya,Penelusuran Kompas.com, Hoaks, Ini 3 Hal yang Harus Anda ketahui.
Media sosial Indonesia sedang dihebohkan dengan pesan viral mengenai seorang bayi aneh di India yang memakan usus ibunya.
Pesan tersebut juga disertai video yang menampakkan bayi berkulit kuning keras dan pecah-pecah.
Berikut pesan lengkapnya:
Bayi ini 11 bulan dalam perut ibunya. Habis usus ibunya dimakan oleh bayi ini, kemudian dokter mengoprasi ibunya untuk mengeluarkan bayi ini.
Ketika bayi ini keluar, dia gigit tangan perawat. Setelah 3 jam si perawat meninggal, Ibu bayi ini pun meninggal setelah bayi ini keluar.
Bayi ini lahir dengan berat 8 kg, setelah 3 jam bertambah beratnya menjadi 13 kg.
Bayi ini lahir hari Jumat, tidak tahu Allah ingin kasih peringatan apa untuk kita semua.
Bayi ini kemudian dibunuh, dokter memberinya suntik mematikan sampai 17 kali baru bayi ini mati.
Ini kisah benar-benar terjadi di India... Wallahu A'lam
Namun, hasil penelusuran Kompas.com menemukan bahwa pesan viral tersebut hoaks.
Berikut adalah 3 hal yang harus Anda ketahui terkait pesan viral tersebut:
1. Harlequin Ichthyosis
Penampilan mengerikan bayi tersebut disebabkan oleh kelainan genetik serius yang disebut Harlequin Ichthyosis.
Kondisi yang diakibatkan oleh adanya mutasi pada gen ABCA12 ini membuat kulit bayi penderitanya mengeras dan kering sehingga retak dan tampak seperti sisik.
Kulit yang tebal juga membuat kelopak mata bayi terbalik keluar, matanya tidak bisa ditutup, mulutnya tertarik lebar dan selalu terbuka, serta gangguan fungsi pernapasan dan makan.
2. Kehamilan postterm Walaupun tidak sampai 11 bulan seperti dalam pesan viral, rupanya kehamilan manusia memang bisa lebih dari sembilan bulan dan mencapai lebih 42 minggu. Ini disebut kehamilan postterm.
Dilansir dari Hellosehat, 8 Oktober 2018, salah satu faktor risiko yang paling umum dari kehamilan postterm adalah kekeliruan mengingat tanggal hari pertama hari terakhir (HPHT).
Pasalnya, meskipun sudah ada pemeriksaan USG, dokter juga menggunakan HPHT untuk memperkirakan usia kehamilan dan memprediksi tanggal persalinan.
Faktor lain dari kehamilan postterm adalah ibu yang obesitas saat hamil, riwayat kehamilan postterm sebelumnya dan defisiensi sulfat pada plasenta.
Kehamilan postterm dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan janin selama persalinan karena menyebabkan makrosomia atau bayi yang lahir terlalu besar, ketidakcukupan plasenta yang membuat bayi kekurangan oksigen dan nutrisi, serta aspirasi mekonium atau kondisi ketika janin menghirup atau memakan cairan ketuban beserta feses pertamanya.
3. Matriphagy Selain dikandung selama 11 bulan, bayi dalam pesan viral juga disebut memakan usus ibunya. Dalam dunia sains, fenomena memakan ibu disebut dengan matriphagy.
Namun, di dunia hewan pun, matriphagy adalah sesuatu yang sangat langka. Perilaku ini hanya pernah didokumentasikan oleh para peneliti pada beberapa spesies serangga, cacing dan laba-laba.
Dilansir dari National Geographic, 20 September 2017; Jo-Anne Sewlal, seorang anggota di Zoological Society of London, mengatakan, meski tampaknya mustahil bagi seorang anak untuk memakan ibunya. Harus dimengerti bahwa matriphagy muncul lewat evolusi banyak generasi sebagai cara paling efektif untuk memastikan kelangsungan spesies tersebut. (*)
Derita Penyakit Langka, Kulit Bocah Ini "Membatu"
Diberitakan, Jaiden Rogers, bocah 12 tahun asal Colorado sedang berjuang melawan penyakit sangat langka. Ia didiagnosis mengalami sindrom kulit kaku, yang membuat sebagian kulitnya mengeras seperti batu.
Menurut laporan majalah People, Rabu (18/7/2018), orangtuanya berharap agar ahli medis dapat menghentikan penyebaran penyakit itu, sebelum anak laki-lakinya membatu seutuhnya.
Dalam pemberitaan Fox News, Jumat (20/7/2018), Jaiden didiagnosis memiliki sindrom langka itu pada Januari 2013, setelah ayahnya menemukan ada benjolan keras pada paha kanan anaknya.
Sejak saat itu, penyakitnya telah menyebar ke pinggul, perut, dan punggung. Karena sudah menyebar ke area dada, dikhawatirkan Jaiden akan mengalami masalah pernapasan.
Apa itu sindrom kulit kaku? Dilansir Live Science, Jumat (20/7/2018), sindrom kulit kaku menyebabkan kulit seseorang mengeras dan menebal.
Menurut Genetic and Rare Disease Informastion Center (GARD), penebalan kulit membuat seseorang sulit menggerakkan persendian dan dapat membuat sendi bengkok.
Sindrom ini umumnya memengaruhi sendi berukuran besar, seperti bahu, siku, dan lutut. Dalam beberapa kasus, sindrom ini juga bisa membuat seseorang kesulitan menggerakkan jari mereka.
Selain memengaruhi sendi, sindrom langka ini juga dapat memengaruhi sistem pernapasan.
Dalam keterangan GARD, sindrom kulit kaku bersifat progresif atau akan memburuk seiring berjalannya waktu.
Baca Juga; Ucapan Tito Karnavian Soal Reuni Akbar PA 212 Disoal, Dampaknya Ternyata Bisa Serius
Baca Juga; Ini yang Bikin Penyerang Inter Milan Lautaro Martinez Lebih Baik dari Kapten Barcelona Lionel Messi
Baca Juga; Kekuatan Egy Maulana Vikri dkk Ini Sudah Dibaca Singapura
Baca Juga; Agnez Mo Curhat ke Anji Setelah Sebut Tak Punya Darah Indonesia, Sedih Omongannya Disalahartikan
Baca Juga; Tiga Menteri Rapat Soal Kepulangan Habib Rizieq Shihab, Mahfud MD: Kami Tak Bisa Berbuat Apa-apa
Selain kulit mengeras dan menebal, gejala lain dari sindrom kulit kaku adalah pertumbuhan rambut berlebih, kehilangan lemak tubuh, skoliosis, otot melemah, pertumbuhan melambat, dan muncul masalah pada otot-otot mata.
Menurut GARD, sindrom kulit kaku disebabkan oleh mutasi genetik dalam gen yang disebut FBN1. Gen ini bertanggung jawab pada protein fibrilin-1 yang membantu membentuk serat elastis pada kulit, ligamen, dan pembeluh darah agar dapat menegang dan meregang.
GARD menyebut, hingga saat ini belum ada perawatan yang dapat menyembuhkan gejala sindrom kulit kaku. Sebagai gantinya, petugas medis menganjurkan pasien untuk melakukan terapi fisik untuk mengatasi masalah sendi kaku.
Terkait perawatan, sebenarnya sebuah studi yang terbit dalam Journal of American Academy of Dermatology tahun 2016 pernah menawarkan obat penekan sistem kekebalan tubuh yang disebut mycophenolate mofetil.
Dalam laporan tersebut, obat ini disebut dapat memperbaiki gejala sindrom kulit kaku serelah diujikan pada dua pasien yang mengonsumsi obat selama beberapa bulan dan menjalani terapi fisik. (*)