Tahun Baru 2020
BMKG tak Melarang Masyarakat Rayakan Malam Tahun Baru di Pantai, tapi Waspadai Cuaca Ekstrem
BMKG kembali menegaskan tidak ada larangan bagi masyarakat untuk beraktivitas di pantai saat malam tahun baru, tapi minta waspadi cuaca ekstrem.
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kembali menegaskan tidak ada larangan bagi masyarakat untuk beraktivitas di Pantai saat malam tahun baru.
"Perlu diluruskan kembali. Kami tidak melarang tahun baru di pantai. Tapi kami memberikan informasi bahwa ada potensi gelombang tinggi cuaca ekstrem terutama di beberapa wilayah," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Kepala BMKG tersebut mengatakan tidak melarang masyarakat untuk bermain-main di pantai tanggal 31 Desember 2019 atau jelang malam pergantian tahun.
Akan tetapi masyarakat perlu mengantisipasi beberapa hal, yang mana satu di antaranya terkait potensi cuaca yang terjadi belakangan.
"Jika akan melakukan aktivitas di pantai, tadi sudah saya sebutkan mulai pagi sampai siang, insya Allah cuaca masih cerah berawan. Biasanya mulai ekstrem itu menjelang sore, dan juga gelombang tinggi," ujarnya.
Menghindari kejadian tsunami di Banten setahun yang lalu, Dwikorita menyampaikan beberapa hal kepada masyarakat yang akan melakukan aktivitas di pantai.
Di antaranya, masyarakat yang akan melakukan aktivitas di pantai pada malam hari supaya memiliki jarak aman sekiranya 200 meter dari bibir pantai.
• Prakiraan Cuaca BMKG di Kota Bontang , Hujan Lokal Diprediksi Guyur Malam Tahun Baru
• Tahun Baru, Waspada Gempa Megathrust dan Tsunami, Walikota Beri Peringatan, BMKG Langsung Merespon
• Prakiraan Cuaca BMKG Jumat 27 Desember, Inilah Daerah Potensi Hujan di Kalimantan Timur
"Yang terpenting apabila ada aktivitas di pantai itu jangan mepet di bibir pantai. Apalagi membelakangi pantai, apalagi malam hari.
Jadi harus ada radiusnya. Zona aman, katakan 200 meter dari tepi pantai. Jadi bukan melarang, tapi beradaptasi dengan kondisi musim saat ini," ujarnya.
Kepala BMKG tersebut juga mengimbau pada masyarakat agar selalu memantau informasi terkait cuaca di sosial media dan website BMKG resmi, untuk mendapatkan informasi terkini secara tepat.
Serta menghindari informasi dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Walaupun berita hoaks itu mengatasnamakan BMKG, tapi jika itu tidak ada di sosial media atau website resmi kami itu tidak benar (beritanya)," ujarnya.
Curah Hujan Tinggi
Dwikorita Karnawati juga mengimbau masyarakat mewaspadai curah hujan saat libur tahun baru. Menurut dia, curah hujan diperkirakan masih tinggi hingga awal 2020.
"Diperkirakan curah hujan masih tinggi sampai setelah tahun baru, bahkan sampai Maret sehingga kita tetap bisa menikmati keindahan alam, tetapi baca dulu prakiraan cuaca," ujar Dwikorita.

Dia menyarankan, kegiatan libur tahun baru, baik siang maupun malam untuk menyesuaikan kondisi cuaca.
Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG, umumnya kondisi cuaca pada pagi hingga siang hari cenderung cerah atau cerah berawan. Kemudian, mulai pukul 13.00 WIB hingga sore hari, kondisi cuaca berubah ekstrem.
"Setelah pukul 13.00 WIB, siang bisanya terjadi hujan, angin. Puting beliung kan biasanya terjadi pada saat siang sampai sore hari.
Ini artinya kita harus belajar mengatur waktu agar tetap bisa beraktivitas (saat curah hujan tinggi)," kata dia.
Dwikorita juga mengingatkan agar masyarakat yang ingin menghabiskan libur tahun baru di pantai mewaspadai gelombang tinggi dan cuaca ekstrem.
• Masuk Musim Penghujan, Pemkab Penajam Paser Utara Waspadai Banjir dan Pohon Tumbang di Jalan
• Cuaca Ekstrem Landa Sebagian Wilayah Indonesia Peringatan BMKG Hujan Deras dan Petir di Wilayah Ini
Potensi Gempa
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB) Doni Monardo memaparkan hasil rekap bencana 2019.
Dalam paparannya tersebut Doni Monardo menyampaikan terdapat tiga kategori bencana yang terjadi di tahun 2019.
Selama setahun kejadian dalam kategori geologi, hidro meteorologi, dan kekeringan karhutla (Gambut) banyak terjadi di Indonesia. Pada kategori geologi ia menuturkan terdapat bencana gempa bumi dan letusan gunung api.
"Bencana gempa bumi tahun ini sebanyak 30 kejadian dan 69 korban terdampak bencana. Sedangkan bencana letusan gunung api terdapat 7 kejadian dan tidak ada korban terdampak," ucap Doni di kantor BNPB, Jakarta, Senin(30/12).
Ia kemudian menjelaskan lagi pada kategori hidro meteorologi terdapat bencana tanah longsor, puting beliung, banjir, dan gelombang pasang (abrasi).
"Bencana tanah longsor terdapat 710 kejadian dan sebanyak 117 korban terdampak bencana. Puting beliung terjadi sebanyak 1.370 kejadian dan 21 korban.
Banjir terdapat 764 kejadian dan 260 korban terdampak bencana. Gelombang pasang (abrasi) terdapat 18 kejadian dan 1 orang korban selama tahun 2019 ini," ucapnya.
Kemudian ia menjelaskan kategori terakhir terdapat bencana kekeringan dengan 123 kejadian tanpa korban dan Karhutla (Gambut) 746 kejadian terdampak 10 korban.

Dalam kesempatan tersebut Doni Monardo juga meminta masyarakat yang wilayahnya termasuk kawasan rawan gempa bumi untuk selalu waspada akan potensi gempa besar yang mungkin terjadi.
Menurut dia, gempa bumi merupakan jenis bencana yang kerap berulang di lokasi yang sama. Namun, tidak ada satu pun pihak yang dapat memprediksi kapan peristiwa selanjutnya akan terjadi.
"Oleh karena itu, potensi ancaman gempa ke depan, hendaknya kita bisa melihat, mana daerah yang belum melepaskan energinya dalam kurun waktu 10, 20, 30, bahkan 100 tahun terakhir," kata Doni.
"Kenapa demikian? Karena daerah yang segmennya belum lepas demikian yang berpotensi akan kembali terulang.
Sebagaimana gempa terjadi di Jepang, di Sendai, ternyata itu bukan yang pertama, melainkan sudah terjadi beberapa kali," ujar dia.
Ia menceritakan, wilayah Desa Honggo di Sendai pernah mengalami gempa dan tsunami pada tahun 1933.
Setelah itu, Pemerintah Jepang membangun tanggul besar dan kuat untuk menahan ancaman tersebut.
Tanggul tersebut bahkan dinobatkan sebagai tanggul terkuat oleh Guinness Book of Record sebagai bangunan terkuat di wilayah pesisir pada 1988. Namun, ketika gempa dan tsunami kembali terjadi pada 2011, sejumlah bagian dari tanggul itu jebol.
"Tahun 2011 terjadi gempa bermagnitudo lebih dari 9 dan korbannya lebih dari 25.000 orang di tempat yang sama," ujarnya.
Selain Jepang, Indonesia juga pernah mengalami peristiwa serupa baru-baru ini. Doni Monardo mengatakan, salah seorang pakar geologi Indonesia, Prof John Ario Katili, pernah memperingatkan agar wilayah Palu tidak dibangun kawasan perkotaan.
Namun, peringatan itu diabaikan. "Terjadi gempa pada 1927, 1968, 1996, dan terakhir 2018. Apakah ini akan berulang kembali? Tidak ada yang pernah mengetahui," kata dia. (Tribun Network/fid/ras/kps/wly)