Ternyata Dampak dari Musibah Banjir Juga Berpotensi Ganggu Kesehatan Mental, Berikut Penjelasannya
Ternyata Dampak dari Musibah Banjir Juga Berpotensi Ganggu Kesehatan Mental, Berikut Penjelasannya
TRIBUNKALTIM.CO - Ternyata dampak dari musibah banjir juga berpotensi ganggu kesehatan mental, Berikut penjelasannya.
Sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk wilayah Jabodetabek dalam dua hari ini tengah disibukkan dengan masalah banjir.
Banjir tak hanya melanda sejumlah pemukiman warga, tetapi juga gedung perkantoran, pusat perbelanjaan dan area publik lainnya.
Di antara semua masalah seputar banjir yang disoroti, ada satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita, yakni kesehatan mental.
Lewat sebuah utas di akun Twitter, Mindfulness practitioner & emotional healing Adjie Santosoputro menuliskan bahwa dampak banjir tak sebatas masalah kesehatan fisik, namun juga mental.
"Banjir juga memberikan dampak terhadap kesehatan mental. Apa kamu sudah tahu akan hal ini?" tulisnya, Kamis (2/1/2020).

• Promo Superindo Periode 3-5 Januari 2020, Diskon hingga 40 Persen & Harga Minyak Goreng Super Murah
• Kebiasaan-kebiasaan Bisa Menimbulkan Masalah Kesehatan, Membuka Sosial Media hingga Terlambat Makan
• Kesehatan Mata hingga Tingkatkan Kerja Otak, Berikut 12 Manfaat Telur Bebek yang Jarang Orang Tahu
• Menjaga Kesehatan Jantung hingga Menurunkan Risiko Kanker Berikut Manfaat Daun Bawang bagi Kesehatan
Lebih luas, masalah kesehatan mental sebetulnya juga mengintai para korban bencana alam lainnya. Salah satu penyebabnya adalah kenyamanan yang selama ini ada terganggu dengan datangnya bencana tersebut.
Termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok seperti makan, minum, air, rumah, pakaian, dan lainnya.
Kondisi itu pada akhirnya memunculkan rasa panik pada sebagian orang yang terdampak bencana. Adjie turut menyitir pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang pernah menyebutkan bahwa rasa cemas juga dialami para korban bencana alam karena mereka lebih rentan terhadap sejumlah penyakit.
Dari bencana banjir, misalnya, beberapa penyakit umum yang dialami seperti demam, tifus, kolera, dan lainnya. "Karena berpotensi terkontaminasi penyakit ini, jadi muncul pula rasa cemas yang berlebihan," kata Adjie.
Rasa takut di antara mereka semakin besar karena kondisi itu membuat sebagian dari mereka harus mengungsi dari rumahnya yang terdampak banjir.
Padahal, rumah selama ini dianggap sebagai tempat yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman. Meski tidak mengungsi, sebagian dari mereka yang masih bisa berdiam di rumah terpaksa gelap-gelapan karena aliran listrik dimatikan demi keamanan.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat yang sehari-harinya terkoneksi dan berinteraksi. "Jadi semakin lama hidup tanpa listrik, apalagi malam yang gelap, akan semakin memunculkan rasa kesepian, terisolasi, keterasingan," tambahnya.
Rupanya dampak terhadap kesehatan mental juga mungkin dirasakan oleh mereka yang bahkan tak terdampak, namun tetap merasa cemas dengan kondisi lingkungan saat ini. Adjie turut menyebut istilah "eco-anxiety" untuk menggambarkan perasaan cemas tersebut.
"Kecemasan biasanya muncul kan karena ingin memastikan sesuatu. Nah eco-anxiety itu kecemasan karena kondisi lingkungan, iklim yang akhir-akhir ini semakin enggak pasti, berubah tak menentu," katanya.