Dana Transportasi Ditiadakan, Guru Pulau Terluar Bontang Terancam tak Bisa Ngajar Jelang Ajaran Baru
Dampak pandemi Virus Corona ( covid-19 ) dirasakan bagi guru yang mengabdi di pulau terluar Bontang.
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani |
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Dampak pandemi Virus Corona ( covid-19 ) dirasakan bagi guru yang mengabdi di pulau terluar Bontang.
Apalagi mereka yang tinggal di darat. Seperti diutarakan Eka Wahyuni, Kepala Sekolah SDN 016 yang terletak di Tihi-Tihi, salah satu pulau terluar Bontang.
Saban hari mereka harus berjibaku membelah ombak. Naik perahu ces, biasanya dari pelabuhan Tanjung Laut dan Pagung Sekambing. Tak ada soal bagi mereka bolak-balik mengajar dengan menggunakan transportasi perahu.
Begitulah rutinitas mereka setiap hari. Menembus laut hanya untuk bertatap muka, kemudian mengajarkan ilmu kepada 51 anak-anak berseragam merah-putih.
Hampir tak ada keluhan, barangkali itulah artikulasi pengabdian bagi guru sekaligus staf SDN 016 Bontang Selatan.
Namun, akibat pandemi setidaknya 3 bulan mereka tak bertemu dengan anak didiknya. Bukan karena tak mau, tapi lebih tepatnya tak mampu.
Belakangan diketahui, anggaran transportasi bagi guru SDN 016 yang terletak di pulau terluar Bontang, Tihi-Tihi, raib.
Refocusing anggaran yang dilakukan Pemerintah Kota Bontang untuk penanganan covid-19, turut memangkas anggaran transportasi mereka ke Tihi-Tihi.
Eka Wahyuni, Kepala Sekolah yang baru 6 bulan menjabat itu mengaku tak memiliki anggaran transportasi pulang-pergi, seperti sebelumnya.
Baca juga: Referendum Tolak Kelapa Sawit sampai di Mahkamah Konstitusi Swiss, Bagaimana Selanjutnya?
Baca juga: Paman Potong Kelamin Remaja 16 Tahun, Tak Terima Dengar Keponakannya Dicabuli
Selidik punya selidik ternyata kena geser, masuk ke anggaran penanganan covid-19 Bontang.
Walhasil, selama pandemi anak-anak yang sekolah di SDN 016 hanya diajar oleh seorang guru bernama Mardiah.
Ia merupakan satu-satunya guru yang tinggal di Tihi-Tihi. Tujuh guru termasuk staf dan dirinya selama ini pulang-pergi mengajar di SDN 016 BS.
"Selama pandemi bu Mardiah masih tetap sendiri di Tihi-Tihi. Kami guru di darat nggak bisa sendiri-sendiri ke sana. Otomatis harus sama-sama. Lagian kami harus nyewa kapal, sementara pandemi ini, anggaran kapal kami sudah habis," bebernya.
Sebelum status KLB (kejadian luar biasa) disandang Kota Bontang, anggaran transportasi guru selama Januari hingga Maret masih keluar yang dialokasikan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pemerintah kabupaten/kota.
"Semua anggaran BOS itu dipangkas, dialihfungsikan, dana kami sudah habis di kapal karena kami yang paling penting ini kapal, tanpa kapal kami tidak bisa nyeberag," katanya.
Dalam sebulan Rp 2,7 juta dikeluarkan untuk ongkos pulang pergi sewa kapal ke Tihi-Tihi. "Anggaran kami itu berupa bensin bentuk pertanggungjawaban kami itu," ujarnya.
Masalah itu sudah lama disampaikan ke Dinas Pendidikan Kota Bontang, namun sampai saat ini belum menemui titik terang.
"Kemarin sempat terbayarkan Januari, Februari, Maret sempat dicairkan itu Rp 8,1 juta. Setelah itu sudah habis gak ada lagi," ungkapnya.
Sekadar diketahui, ada 2 jalur penyeberangan yang mereka pakai saban hari menyeberang ke Tihi-Tihi, yakni Pelabuhan Tanjung Laut dan Pelabuhan Sekambing.
Ada 3 orang guru dan staf yang tinggal di Sekambing, kemudian 4 orang termasuk Eka di Bontang Kota.
Jadi mereka bagi jadwal, pada Senin dan Rabu mereka menyeberang lewat pelabuhan Tanjung Laut, sementara pada Selasa dan Kamis lewat pelabuhan Sekambing
"Kalau hari Jumat minggu pertama dan minggu ketiga kami lewat Pelabuhan Tanjung Laut, Jumat minggu kedua dan keempat lewat Pagung Pelabuhan Sekambing," ungkapnya.
"Hari Sabtu kami nggak nyeberang karena pembawa kapal kami tidak bisa ngantar karena beliau jualan di Beras Basah Sabtu-Minggu," tuturnya.
Baca juga: Referendum Tolak Kelapa Sawit sampai di Mahkamah Konstitusi Swiss, Bagaimana Selanjutnya?
Baca juga: Paman Potong Kelamin Remaja 16 Tahun, Tak Terima Dengar Keponakannya Dicabuli
Pihaknya beberapa kali mengusulkan pengadaan kapal bagi guru dan tenaga pendidik khusus pulau terluar Bontang, namun hal itu sepertinya sulit terealisasi.
"Kemarin saya ada minta kapal saja, terus katanya kita terlalu berisiko kalau pengadaan kapal. Makanya pertanggungjawabannya nyewa kapal aja, nggak mikir perawatannya dan lain-lain," ucapnya.
Nah, mengingat tahun ajaran baru bakal dimulai 13 Juli mendatang, Eka khawatir anggaran transportasi mereka belum kembali.
Apakah mungkin mereka kembali harus gigit jari di darat, lantas menumpukkan beban mengajar kepada Mardiah, satu-satunya guru yang tinggal di Tihi-Tihi. Sementara tahun ajaran baru sebentar lagi bakal dimulai.
"Kemarin sempat terbayarkan cuma 3 bulan (Januari-Maret) sebelum pandemi. Sempat saya bilang sama pak Kadis, mohon maaf pak, misal 13 Juli (2020) itu memang harus masuk sementara anggaran untuk kapal kami tidak ada, mohon izin saya dan guru-guru saya tidak bisa nyeberang," ungkapnya.
Jawaban pihak terkait saat disodorkan permasalahan yang mendera guru di pulau terluar Bontang, sebatas ungkapan normatif saja.
Kendati begitu, tetap saja hal itu cukup membuat mereka aman dan tenang. Setidaknya ada komitmen yang dibangun, meski hanya berlandasakan ungkapan.
"Nanti bu Eka kami carikan, tenang saja mudah-mudahan kami usahakan untuk yang di pesisir transportasi, akomodasi kapal itu kami usahakan," ucapnya menirukan jawaban pihak dinas terkait. (*)