Eksklusif Bersama Anggota DPD RI Aji Mirni Mawarni: Soal RUU HIP, Kami di DPD Satu Suara Menolak
Dalam wawancara eksklusif bersama Anggota DPD RI Aji Mirni Mawarni, terkait Rancangan Undang-undang (RUU) HIP, Aji Mirni sebut DPD satu suara.
Penulis: Siti Zubaidah | Editor: Sumarsono
TRIBUNKALTIM.CO - DI sela-sela melaksanakan kunjungan ke daerah pemilihan (Dapil), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Aji Mirni Mawarni menyempatkan bertandang ke Kantor Tribun Kaltim.
Usai diskusi ringan bersama Pemimpin Redaksti Tribun Kaltim Ade Mayasanto, mantan Dirut PDAM Kutai Timur ini secara eksklusif menyampaikan kegelisahannya terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja dan Haluan Idiologi Pancasila.
Berikut wawancara Tribun Kaltim bersama Aji Mirni Mawarni di Studio Tribun Kaltim Official, Kamis (9/7) kemarin:
Sebelum ke persoalan yang serius, sebenarnya apa yang mendasari Anda tertarik terjun ke politik menjadi anggota DPD RI?
Saya ini tukang ledeng (Dirut PDAM Kutim) yang menjadi wakil rakyat. Mengapa saya berani terjun ke politik, karena dorongan saudara-saudara dan orangtua saya.
Saya lahir dan besar di Samarinda, orangtua saya orang Tenggarong, Kutai Kartanegara. Kakek saya Wedana dari Balikpapan, dulu menjabar sebagai Wedana (pembantu Bupati).
Sebagian orang beranggapan politik itu kejam. Apakah Anda pernah ngobrol sama suami dan anak sebelum maju di kanca politik?
Kebetulan saya dari keluarga politik. Kebetulan Bapak saya pendiri PPP di Kaltim walaupun akhirnya beliau terjun menjadi PNS. Kami keluarga politik yang besar, dari kecil saya sudah tahu bagaimana risiko politik.
Sebenarnya politik kejam itu oknumnya, tapi memang kita harus memahami risiko itu. Yang namanya politik, namanya kriminalisasi atau omongan itu sudah resiko ketika memilih sesuatu yang kita yakinin. Kenapa saya memilih politik karena di politik ini ladang kita mencari amal jariyah yang lebih besar.
Bagaimana menyakinkan suami saat itu?
Yang mendorong justru suami. Beliau yang mengumpulkan KTP waktu mau calon.
Setelah menjadi anggota DPD RI, bagaimana Anda memperjuangkan Kaltim, sebagai provinsi penyumbang pendapatan terbesar ke pusat?
Kalau di DPD memperjuangkan provinsi itu lebih mudah. Karena di DPD itu ada empat wakil, mau besar atau kecil penduduknya, mau kaya mau miskin tetap ada empat orang di DPD dan bisa berteriak.
Kita tidak di bawah partai. Kita rugi tidak bisa berteriak untuk daerah, kalau DPR harus di bawah partai.
Saya harapkan, seharusnya wakil DPD dan DPR memahami sejarah Kaltim, walaupun warga Kaltim hetorogen, karena bagaimana kita berjuang kalau kita tidak mengetahui sejarah Kaltim.