Kasus Ahok Dipertanyakan Dunia Internasional, Komnas HAM: Luar Biasa, Sampai Hari Ini Tidak Selesai!
Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik mengatakan, kasus penodaan agama menimbulkan masalah karena tidak jelas batasannya
TRIBUNKALTIM.CO - Dunia internasional rupanya masih mempertanyakan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (NTB) atau Ahok.
Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik mengatakan, kasus penodaan agama menimbulkan masalah karena tidak jelas batasannya.
Definisi penodaan agama cenderung memuat unsur diskriminatif terhadap minoritas.
Taufan mencontohkan kasus penodaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
• Pengakuan Ahok, Ada Oknum Profesor tak Suka Dirinya Kembali Masuk Politik, Najwa Shihab Penasaran
• Penyebab Meninggalnya Jaksa Fedrik Adhar Terkuak, Jadi Sorotan di Kasus Ahok dan Novel Baswedan
• Blak-Blakan, Ahok Bongkar Instruksi Jokowi 5 Tahun Dicueki, BTP Beber Pejabat Pertamina Tak Bodoh
• Tak Bisa Main-Main, Ahok Kini Bawa Masuk KPK dan PPATK ke Pertamina, Bebas Minta Data Apa Saja
“Kasusnya Ahok itu luar biasa. Sampai hari ini tidak selesai-selesai. Di internasional orang masih bertanya bagaimana kasus Ahok,” kata Taufan dalam sebuah webinar, Jumat (21/8/2020).
“Seolah-olah kita begitu kelamnya hanya gara-gara kasus itu,” ucap dia.

Taufan mengatakan, regulasi terkait persoalan agama semestinya diatur dalam Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, realitanya, polisi sering juga mengenakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memproses hukum laporan mengenai penodaan agama.
Selain itu, Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian juga dijadikan acuan penegak hukum memproses persoalan yang berkaitan dengan agama.
• TERJAWAB Misteri Satu Keluarga di Baki Sukoharjo Tewas Mengenaskan, 1 Korban Eks Driver Taksi Online
• Gatot Nurmantyo Mengaku Tolak Tawaran jadi Menhan dari Jokowi, Enggan Disebut Dukung Prabowo
"Jadi kadang-kadang enggak jelas batasannya, untuk kasus tertentu dianggap sebagai penodaan agama, untuk kasus lain tidak. Ada unsur diskriminasi juga, terutama antara mayoritas dan minoritas," tutur dia.
Taufan menyebut, kasus penodaan agama di Jawa dan Sumatera jika dilakukan mayoritas maka akan selamat dari sebuah delik.
Namun, jika yang melakukan adalah minoritas, dia akan terkena delik penodaan agama.
Sebaliknya, di NTT kalau penodaan agama dilakukan oleh mayoritas, dia akan mengalami nasib yang sama seperti minoritas di Jawa dan Sumatera.
Oleh karena itu, Komnas HAM menyarankan agar dilakukan kajian ulang terhadap semua regulasi yang berpotensi mengganggu hubungan sosial dan kemerdekaan individu agar tercipta suasana demokrasi.
"Kita tidak mampu merumuskan apa sebenarnya problem kita. Kita punya berbagai regulasi yang sebetulnya banyak menimbulkan masalah,” kata Taufan.
“Kalau dibiarkan terus, distrust sosial semakin tinggi. Terkadang para ahli atau penegak hukum tidak menyadari. Apa yang kita sebut sebagai bangsa mengalami kelunturan dalam hubungan-hubungan akrab dengan sesama anak bangsa" tutur dia.
• Kabar Gembira, Resmi PNS/ASN Libur 11 Hari, Pengganti Cuti Bersama Idul Fitri, Catat Tanggalnya
• Trending Twitter, Tangan Sang Pacar di Video Zara Eks JKT48 Ini Disorot, Manajer Ikut Angkat Bicara
YLBHI: Sejumlah Remaja Dituding Lakukan Penodaan Agama karena Video TikTok
Hal lain seputar dugaan kasus penodaan agama juga diungkap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI).
YLBHI mencatat, selama Januari hingga Mei 2020 terjadi kasus dugaan penodaan agama yang menjerat sejumlah remaja usia 14 hingga 21 tahun.
Terduga pelaku umumnya dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45a Ayat (2) Undang-Undang ITE.
"Jadi sebagian besar penggunaan (UU) ITE (dalam kasus dugaan penodaan agama) (terduga pelakunya) di bawah 18 tahun, tapi yang di atas 18 tahun pun usianya ada yang masih di bawah 21 tahun," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi daring , Jumat (21/8/2020).
"Dan mereka yang menjadi terdakwa karena penodaan agama di bawah 18 tahun itu ada yang usianya 14 tahun, 15 tahun dan 16 tahun," tuturnya.
Asfina mengatakan, para remaja ini dituding melakukan penodaan agama karena unggahan video mereka di media sosial seperti TikTok dan Facebook.
Menurut catatan YLBHI, dalam kurun waktu lima bulan, setidaknya enam remaja ditangkap karena membuat konten video mempelesetkan sebuah lagu.
Masih akibat video TikTok, sejumlah remaja berusia 19 tahun dituduh melakukan penodaan agama karena beribadah sambil berjoget.
Kemudian, akibat unggahan video Facebook, remaja usia 14, 15, dan 16 tahun ditangkap karena dianggap mempelesetkan doa.
"Penggunaan Undang-undang ITE ini membuat semakin mudanya usia tersangka," ujar Asfina.
Dengan catatan data tersebut, menurut Asfina, terlihat bahwa penggunaan UU ITE begitu mengerikan, utamanya dalam menjerat kasus dugaan penodaan agama.
Sebab, korban yang berjatuhan banyak yang berasal dari kalangan remaja.
"Ini mengerikan sebetulnya karena penodaan agama sekarang menyasar anak berusia 14 tahun, 15 tahun dan 16 tahun dan itu tidak ada ampun. Seperti kita ketahui orang yang disangkakan penodaan agama itu sulit sekali untuk keluar dari pasal itu," kata dia.
Adapun secara keseluruhan, YLBHI mencatat, selama Januari 2020 hingga Mei 2020 terjadi 38 kasus penodaan agama di Indonesia.
Ke-38 kasus itu tersebar di sejumlah provinsi, mayoritas di Sulawesi Selatan.
"Jadi ada daerah-daerah yang cukup menonjol yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku Utara dan Jawa Barat. Kalau kita pelajari kasus-kasus sebelumnya, memang daerah ini selalu ada dan cukup banyak," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (21/8/2020).
Menurut catatan YLBHI, dari 38 kasus, enam di antaranya terjadi di Sulawesi Selatan.
Kemudian, di Maluku Utara dan Jawa Timur masing-masing terjadi 5 kasus.
Lalu, di Jawa Barat dan Sumatera Utara masing-masing terjadi 4 kasus.
Sedangkan di Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta masing-masing ada 2 kasus.
Selanjutnya di Bali, Gorontalo, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Papua, Riau, Sulawesi Utara, dan Sumatera Selatan terjadi 1 kasus.
Dari 38 kasus tersebut, pelaku 25 kasus sudah ditangkap.
Dari jumlah tersebut, 11 kasusnya dalam proses penyelidikan, 10 kasus masuk proses penyidikan, 1 kasus disidangkan, dan sisanya tidak ditindaklanjuti.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Komnas HAM: Kasus Ahok Itu Luar Biasa, di Internasional Orang Bertanya-tanya" dan "YLBHI: Sejumlah Remaja Dituding Lakukan Penodaan Agama karena Video TikTok"