Riwayat Kutai Adat Lawas Kukar, Kepercayaan Warga Kedang Ipil Serupa Kaharingan

Warga Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara ( Kukar), Kalimantan Timur, berkumpul di Balai Adat di desa tersebut

Editor: Samir Paturusi
TRIBUNKALTIM.CO/HO
Ritual Belian Benamang atau Ncari Pedara di Desa Kedang Ipil, Kota Bangun, Kukar, yang digelar 2017 lalu 

“Kemudian pada 1978 itu datang Agama Islam, yang datang orang dari Kesultanan Kutai Kartanegara. Yang masuk Islam ada sekitar 20 KK,” kata Murad.

Artinya, hingga 1978, mayoritas warga Kedang Ipil masih memilih untuk mempertahankan keyakinan yang mereka sebut sebagai adat istiadat, bukan agama.

Perubahan besar-besaran terjadi ketika 1978, Kepala Desa Kedang Ipil yang saat itu menjabat, mengajak warga untuk menjadi penganut Agama Katolik.

Agama Katolik, menurut Murad dan sejumlah warga sekitar, lebih akomodatif dengan adat istiadat mereka. Sehingga, mayoritas penduduk kemudian, setuju untuk menjadi penganut katolik.

Hingga 2020, penganut keyakinan yang warga sebut sebagai adat istiadat, masih tersisa 4 KK. Namun, warga menolak untuk membuka, siapa saja penganut tersebut.

“Kami melindungi, karena warga di sini juga masih percaya. Kalau adat leluhur itu habis, tidak ada lagi yang meneruskan, bisa tidak baik,” kata Murad.

Kendati demikian, untuk legalitas di kartu tanda penduduk atau KTP. Warga yang memilih bertahan tersebut, mengisi kolom agama, mengikuti pilihan keluarga yang telah memilih antara Katolik, Islam, dan Protestan.

“Kalau keluarganya Islam, di KTP-nya ditulis Islam. Kalau Katolik, ditulisnya Katolik. Iya begitu,” kata Murad. Bahkan, hingga kini, di Desa Kedang Ipil, tak sedikit keluarga yang satu rumah, dengan pilihan agama yang berbeda-beda.

“Berjalan seperti biasa, satu rumah beda agama, kemudian menjalankan agama masing-masing,” kata Murad.

Seperti apa sebetulnya keyakinan yang dianut mayoritas warga Kedang Ipil sebelum 1978? Bagi Murad, dari segi ritual dan tradisi, memang lebih mirip dengan Kaharingan.

“Modelnya itu kayak Kaharingan, jadi tahun 1977 itu isi kolom agama KTP saya animisme,” kata Murad.

Dirinya juga menggambarkan, warga yang masih menganut keyakinan yang disebut serupa dengan Kaharingan tersebut, akan marah jika dipaksa untuk memilih agama yang masuk sejak 1972.

“Jadi kami lindungi, kalau tidak bisa sampai ribut,” kata Murad.

Saat ditanya, mengapa memilih istilah dilindungi. Apakah ada ancaman jika tidak dilindungi, Murad dan warga lainnya membantah. Bagi mereka, tidak ada ancaman. Hanya saja, tidak ingin memaksa apa yang masih jadi keyakinan 4 KK yang tersisa tersebut.

Tak Ada Lagi Kaharingan

Salah satu tokoh masyarakat Desa Kedang Ipil lainnya ialah Kuspawansyah, masa jabatannya pada periode pertama menjadi kepala desa, baru saja berakhir tahun ini. Kuspa menjelaskan, kini tak ada lagi Kaharingan di Kedang Ipil.

Yang tersisa hanyalah tradisi, yang disebut sebagai Kutai Adat Lawas. Yang berarti, adat kutai lama, sebagai suku asli kutai.

“Kalau kepercayaan kita itu memang mirip Kaharingan. Sudah tidak ada lagi. Saya sendiri beragama waktu 1996, saat umur 15 tahun,” ungkap Kuspa.

Kendati demikian, tradisi Kutai Adat Lawas, dipastikan Kuspa tetap dijaga oleh warga Kedang Ipil. Sebagai bentuk menghargai dan melestarikan adat leluhur di Kedang Ipil.

Karena pandemi Covid-19 melanda, ragam upacara Kutai Adat Lawas pada tahun ini harus ditiadakan. Kuspa berharap, pandemic segera berakhir dan ritual tradisi Kutai Adat Lawas dapat kembali dilaksanakan.

Sekretaris Pemerintah Desa Kedang Ipil Erhamsyah menjelaskan tentang keyakinan atau kepercayaan yang dianut warga sebelum 1972. Dirinya juga membenarkan, bahwa di Kedang Ipil yang ada ialah adat istiadat, sejenis kepercayaan.

“Jadi, anggapan kami sebelum agama masuk itu, alam ini ada yang menciptakan, sehingga saat ada rezeki, musibah atau prapahan itu kami harus jamu. Prapahan itu seperti saat ini, adanya pandemi,” kata Erham.

Jamu yang dimaksud Erham ialah, memberikan sesajen kepada leluhur, melalui sesepuh atau tokoh adat di Desa Kedang Ipil. Bahkan, pada hari tertentu, ada ritual di mana warga hanya berdiam diri, layaknya perayaan nyepi.

“Sesepuh kami masih ada di KTP tertulis sebagai penganut kepercayaan. Upacara ritual saat ada yang meninggal juga masih ada,” kata Erham.

Kutai Adat Lawas

Pemerhati Budaya di Kutai Kartanegara Awang Muhammad Rifani sedang menjalankan penelitian di Kedang Ipil. Menurutnya, warga Kedang Ipil merupakan asli suku Kutai. Adat dan tradisi dapat bertahan lama, karena Desa Kedang Ipil saat itu terisolir cukup lama.

“Tahun 80-an mereka dipaksa beragama. Banyak yang memilih katolik, karena lebih akomodatif dengan lingkungan di sana,” kata Awang.

Dosen di Universitas Kutai Kartanegara itu menjelaskan, beberapa perbedaan Kaharingan dengan Kutai Adat Lawas. Salah satunya adalah, Kutai Adat Lawas memiliki larangan tidak boleh memakan daging babi.

Terkait ritual, banyak sebutan ritual yang dilakukan Kutai Adat Lawas. Salah satunya adalah Mbusai, upacara mengusir roh jahat yang dilakukan saat ada orang sakit atau meninggal.

“Ritualnya, pada malam pertama itu membakar ijuk di bawah rumah, sampai sepertiga perjalanan menuju kuburan,” kata Awang.

Pada malam kedua Mbusau, ijuk dibakar hingga 2/3 perjalanan menuju kuburan. Pada malam ketiga, ijuk yang dibakar sampai ke kuburan.

“Maknanya, agar roh-roh jahat semakin menjauh dari rumah,” jelasnya.

Selanjutnya ada upacara Mbai'i, artinya memperbaiki. Dilakukan saat malam ke-7 setelah ada warga yang meninggal dunia. Mbai’I juga dimaknai sebagai upacara menghibur orang yang sedih.

Kemudian pada malam ke-15, ada upacara mencari pedara yang artinya mencari roh orang mati.
“Nama upacaranya Benamang, kegiatannya Belian namang, mencari bedara artinya roh orang mati,” kata Awang.

Terakhir, upacara digelar dengan cara makan apem melibatkan seluruh warga. Yang disertai dengan Erau Rumah Kalungan.

Pada upacara tersebut, juga ada pembuatan miniatur rumah, dipercaya sebagai tempat tinggal keluarga yang telah meninggal.

Pada tahun 1990-an, tradisi tersebut sempat terkikis. Penganut Kutai Adat Lawas dipaksa oleh negara untuk harus mengisi kolom agam di KTP mereka.

“Waktu itu, kaum tua-tua memang turut mengisi kolom agama di KTP. Tetapi tetap meyakini adat lawas,” tutup Awang. (*)

Baca Juga: Jumlah Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Sampai Sekarang Total Kasus Positif di Kukar 656 Orang

Baca Juga: Jelang Pencoblosan, Wabup Kukar Ingatkan Semua Nama Hak Pilih Harus Tercatat di DPS/DPT

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved