9 Poin Pernyataan Sikap PBNU Terhadap UU Cipta Kerja, Sesalkan Proses Legislasi yang Terburu-buru
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sembilan poin pernyataan sikap terkait UU Cipta Kerja
3. Niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh diciderai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha.
Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara.
Nahdlatul Ulama menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Ciptaker, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha.
Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan.
Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya.
4. Upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja.
Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas.
Nahdlatul Ulama bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Ciptaker yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Penghapusan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri.
Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja.
• Diduga Geng Anarko, Masuk dalam Demo Mahasiswa Tolak UU Cipta Kerja di Berbagai Daerah yang Ricuh
• Hindari Kerumunan! Perang Melawan Corona Belum Usai, Demo UU Cipta Kerja Potensial Klaster Baru
• Sikap Prabowo Soal UU Cipta Kerja Bikin Penasaran, Dahnil Anzar Justru Singgung Kesehatan Menhan
5. Upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam.
Menganakemaskan sektor ekstraktif dengan sejumlah insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, seperti pengenaan tarif royalti 0 persen sebagaimana tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja, mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi.
Alih-alih mengubah isi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengokohkan dominasi negara dan oligarki, UU Cipta Kerja memperpanjang dan memperlebar karpet merah bagi pelaku usaha.
Pemerintah menjamin investasi dan diskresi menteri tanpa batas bagi pelaku usaha tambang yang menjalankan usaha hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengekstraksi cadangan mineral hingga habis.
Ini mengabaikan dimensi konservasi, daya dukung lingkungan hidup, dan ketahanan energi jangka panjang. Pemerintah bahkan mendispensasi penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang, yang jelas merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat.