RESMI, UU Cipta Kerja Dinomori UU Nomor 11 Tahun 2020, Soal PHK, Bedanya dengan UU Ketenagakerjaan
Sudah resmi diteken Presiden Joko Widodo, UU Cipta Kerja dinomori UU Nomor 11 Tahun 2020, soal ketentuan PHK, ini bedanya dengan UU Ketenagakerjaan
TRIBUNKALTIM.CO - Sudah resmi diteken Presiden Joko Widodo, UU Cipta Kerja dinomori UU Nomor 11 Tahun 2020, soal ketentuan PHK, berikut perbedaannya dengan UU Ketenagakerjaan
Akhirnya, secara resmi Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) telah meneken Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah disetujui dan disahkan dalam rapat paripurna DPR 5 Oktober 2020 lalu.
UU Cipta Kerja tersebut kemudian diundangkan dan diberi nomor UU Nomor 11 Tahun 2020, terkait ketentuan PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja ), berikut perbedaannya dengan UU Ketenagakerjaan.
Beleid UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut berisi 1.187 halaman.
Beleid tersebut diundangkan pada Senin (2/11/2020) dan sudah diunggah di situs resmi Kementerian Sekretaris Negara ( Kemensetneg ) dan bisa diakses oleh publik.
Berikut Link untuk download UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja:
Baca juga: Jokowi Resmi Tandatangani UU Cipta Kerja, Ucapkan Selamat Tinggal, TV Analog Segera Mati
Baca juga: Presiden Jokowi Teken UU Cipta Kerja, Beginilah Tujuan Pembentukan Undang-undang Ini
Baca juga: RESMI BERLAKU Presiden Joko Widodo Tandatangani UU Cipta Kerja, Naskah Setebal 1.187 Halaman
Link UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja >>> https://jdih.setneg.go.id/Produk
Dengan demikian, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja mulai berlaku sejak 2 November 2020.
UU Cipta Kerja menghapus sejumlah ketentuan lama di UU Ketenagakerjaan, Perpajakan, dan sejumlah UU lainnya.
Draf final omnibus law UU Cipta Kerja yang diunggah di situs resmi Kemensetneg berisi 1.187 halaman.
Draf berubah-ubah
Sebelumnya diketahui jumlah halaman UU Cipta Kerja kerap berubah-ubah.
Mulanya di situs DPR ( dpr.go.id ), diunggah draf RUU Cipta Kerja dengan jumlah 1.028 halaman.

Kemudian, di hari pengesahan RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, dua pimpinan Badan Legislasi DPR memberikan draf setebal 905 halaman.
Baca juga: Pembakar Halte Sarinah Dibongkar Najwa Shihab, Pelaku Datang Bukan Untuk Demonstrasi UU Cipta Kerja
Baca juga: Sosok Perwira Polisi yang Berani Pacari Putri Kapolri Idham Azis Ternyata Bukan Orang Sembarangan
Baca juga: Nasib Ruslan Buton Eks TNI, Surat Terbuka Minta Jokowi Mundur Viral, Hanya Sesaat Hirup Udara Bebas
Kemudian, beredar versi 1.035 halaman yang dikonfirmasi oleh Sekjen DPR Indra Iskandar pada 12 Oktober 2020.
Sehari kemudian, 13 Oktober 2020, DPR kembali mengonfirmasi mengenai versi 802 halaman, dengan isi yang disebut tidak berbeda dengan versi 1.035 halaman.
Draf setebal 1.187 halaman beredar setelah pimpinan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) dan Muhammadiyah mengungkapkannya ke publik.
Ketentuan PHK
UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengubah ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja ( PHK) antara pengusaha dan pekerja.
Pengubahan ketentuan itu diatur dalam Pasal 81 angka 37.
Aturan ini mengubah ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Pasal 151 Ayat (1) menyebutkan bahwa PHK sebisa mungkin tidak terjadi.
Baca juga: VIRAL, Beredar Video Mesum Diduga Libatkan Anggota DPRD Pangkep, Gambar Diambil Perempuan Misterius
Baca juga: Pengakuan Melaney Ricardo Sebulan Dirawat Karena Covid-19 Salah Satu hari Terberat di Hidupku
Baca juga: NEWS VIDEO Ashanty Tunjukkan Test Pack Positif, Anang Hermansyah Kegirangan: Arsya Punya Adek
Namun, Pasal 151 Ayat (2) menyebut, jika PHK tidak dapat dihindari, pengusaha harus memberitahukan alasannya kepada pekerja/buruh.
Kemudian, Pasal 151 Ayat (3) menyebutkan bahwa pekerja/buruh menolak alasan tersebut, wajib ada perundingan bipartit dan jika tidak ada kesepakatan baru bisa terjadi PHK ketika ada penetapan perselisihan hubungan industrial (PHI).
Hal ini mengubah Pasal 151 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa PHK tidak dihindari, perusahaan wajib merundingkan dengan pekerja, atau bukan sekadar memberi tahu alasan ia di-PHK.
Selanjutnya, Pasal 151 Ayat (3) berbunyi, jika tidak ada persetujuan, PHK hanya bisa dilakukan jika ada penetapan dari lembaga PHI.
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ( UGM ) Nabiyla Izzati menilai, klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja disusun dengan logika hukum yang keliru.
Hal ini tercermin dari pengubahan ketentuan PHK ini.
Menurut Nabiyla, pengubahan pasal tersebut menunjukkan kekeliruan pemerintah dalam memandang relasi antara pekerja dan pengusaha.
Dengan pengubahan pasal ini, maka pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak.
Sebab, belum tentu pula pekerja dapat melakukan penolakan atas pemberitahuan hubungan kerja oleh perusahaan.
"Kalau negara bersikap netral, maka secara tidak langsung negara sebenarnya sedang meninggalkan perannya untuk melindungi pekerja dan melindungi pengusaha," kata Nabiyla, Jumat (16/10/2020).
Baca juga: Update Liga Italia, Tampil Gemilang di Usia Tua, Ibrahimovic Jumawa Pimpin Skuad Muda AC Milan
Baca juga: Kronologi Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra, Jatah Suap Irjen Napoleon Sempat Dipotong
Baca juga: Belum Terungkap Motif Gantung Diri Pengantin Baru di Samarinda, Polisi Tunggu Kesaksian Sang Istri
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketentuan PHK yang Diubah dalam UU Cipta Kerja" dan "UU Cipta Kerja Resmi Dinomori Jadi UU Nomor 11 Tahun 2020"