Sejarah Hari Ini

23 Februari 1923, Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan Meninggal Dunia, Rekam Jejak Muhammad Darwis

Tanggal 23 Februari 1923, Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlah meninggal dunia, berikut rekam jejak tokoh yang bernama asli Muhammad Darwis.

Editor: Amalia Husnul A
Suara Muhammadiyah
Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan berdiri paling belakang. Tanggal 23 Februari 1923, Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlah meninggal dunia, berikut rekam jejak tokoh yang bernama asli Muhammad Darwis. 

TRIBUNKALTIM.CO - Tanggal 23 Februari 1923, Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlah meninggal dunia, berikut rekam jejak tokoh yang bernama asli Muhammad Darwis

Tahun 2021, tepat tanggal 23 Februari genap 98 tahun pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan meningal dunia.

KH Ahmad Dahlan meninggal dunia 23 Februari 2923 di usia 54 tahun. 

Lelaki yang bernama asli Muhammad Darwis tersebut dilahirkan di Yogyakarta dan dimakamkan di kota yang sama.

KH Ahmad Dahlan adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.

Ahmad Dahlan diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah.

Ormas Muhammadiyah yang didirikannya pada tahun 1912, terus tumbuh dan berkembang pesat hingga sekarang. 

Bertahan hingga Satu Abad Lebih

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini, KH Haedar Nashir, di antara kekuatan Muhammadiyah hingga bertahan satu abad lebih ialah karena memiliki amal usaha.

Berbagai amal usaha Muhammadiyah, seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial menjadi wujud kerja nyata organisasi Islam itu bagi kepentingan kemajuan bangsa.

Haedar mengungkapkan bahwa 1001 mengucap kata baik dan segala hal-hal yang positif yang keluar dari lisan seseorang, belum tentu juga pada saat yang sama teraktualisasi dalam perbuatan.

Haedar menegaskan bahwa eksistensi rahmatan lil’alamin bukan dari apa yang kita katakan tapi bersumber dari apa yang telah kita perbuat.

“Muhammadiyah baik secara nasional maupun di setiap daerah, telah membuktikan bahwa apa yang kita lakukan di bidang pendidikan, kesehatan, gerak sosial kemasyarakatan, pembinaan, dakwah dan gerak keagamaan yang bersifat takhasus semuanya diakui masyarakat,” ungkap Haedar.

Kisah KH Ahmad Dahlan dirikan Muhammadiyah

KH Ahmad Dahlan melihat kondisi umat Islam saat itu yang dalam keadaan jumud (berpegang pada pemikiran lama dan tidak menerima perubahan) dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik.

Baca juga: Lengkap, Jadwal Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H Muhammadiyah, Pemerintah?

Oleh karena itu, Ahmad Dahlan ingin mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Al Quran dan Hadis.

Perjalanannya belajar agama Islam mengantarkannya hingga ke Arab Saudi pada 1890.

Tak hanya pergi haji, di sana dia juga belajar kepada ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat; belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha; belajar ilmu falaq pada KH Dahlan Semarang; juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang; dan masih banyak lagi.

Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.

Setelah bermukim di Mekah kurang lebih 8 bulan, cakrawala Muhammad Darwis terbuka.

Setelah itu pula namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan.

Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam ke masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama.

Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja.

Dia merupakan pegawai kesultanan Keraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang.

Arah kiblat

Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru.

Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.

Salah satu sumbangsihnya yang menuai kontroversi adalah saat dia melihat arah kiblat masjid Gede Kauman Yogyakarta tidak tepat.

Padahal itu merupakan hal krusial bagi umat Islam.

Saat dia mencoba menyampaikan bahwa arah kiblat tersebut salah dan mengatakan perhitungannya yang benar, ide itu tidak langsung diterima.

KH Ahmad Dahlan sampai membuat surat atau mushala sendiri yang menggunakan arah kiblat sesuai.

Tapi, surau itu pun dirusak massa setelah mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu.

Lalu surau tersebut dibangun lagi. Untuk menyebarkan agama Islam, dia juga membangun pondok pesantren.

Pondok itu menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.

Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.

Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak-anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan.

Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan diadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jumat.

Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial-keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX.

Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta.

Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dia juga berinteraksi dengan organisasi-organisasi lain di Indonesia seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair.

Hal itu telah membantunya mendapat pengetahuan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.

Mendirikan sekolah

Setelah itu dia juga mendirikan sekolah. Lembaga pendidikan itu menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum.

Awalnya dimulai dengan 8 orang siswa yang belajar di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 m x 6 m.

Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri.

Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.

Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda.

Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah.

Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru.

Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.

Setelah Ahmad Dahlan mengatakan permasalah tersebut ke Budi Utomo, dia mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh.

Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.

Organisasi Muhammadiyah dipersiapkan berdiri pada 1912.

Diberi nama demikian karena nama itu berhubungan dengan nama nabi terakhir umat Islam, yaitu Muhammad.

Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman.

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Ini dalam Sejarah: Muhammadiyah Didirikan di Yogyakarta, Bagaimana Awal Mulanya?" dan kompas.tv dengan judul 23 Februari 1923, Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan Meninggal Dunia
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved