Berita Bontang Terkini

Kisah Pilu Janda Beranak 7 di Bontang jadi Buruh Pemecah Batu, Tinggal di Gubuk Kecil

Kisah pilu janda buruh pemecah batu. Tinggal sendiri di gubuk berukuran 3x3 meter selama 10 tahun terakhir

Penulis: Ismail Usman | Editor: Mathias Masan Ola
TRIBUNKALTIM.CO, ISMAIL USMAN
Rumah Sakka buruh pemecah batu yang tinggal sendirian di Jalan perbatasan Bontang - Kutim di Desa Martadinata. TRIBUNKALTIM.CO/ISMAIL USMAN 

Yang diketahui, inilah satu alternatif untuk bertahan hidup, tanpa meminta belas kasihan sesama.

“Ya, cukuplah belas kasihan sang Pencipta” ungkap Sakka saat media ini menemuinya di rumahnya.

Jadi buruh pemecah batu terus ia lakoni. Tak jarang, pecahan batu yang tajam kerapa merobek jari dan telapak tangannya hingga meninggalkan bekas luka.

Saat awal, luka yang dirasakan begitu sakit. Namun setahun berlalu, telapak tanganya kapalan dan membuatnya seperti mati rasa.

"Sudah tidak terasa, telapak tangan saya sudah tebal, ini jari-jari saya jadi besar. Lengan saya aja berotot,"

Rumah Sakka buruh pemecah batu yang tinggal sendirian di Jalan perbatasan Bontang - Kutim di Desa Martadinata, TRIBUNKALTIM.CO, ISMAIL USMAN
Rumah Sakka buruh pemecah batu yang tinggal sendirian di Jalan perbatasan Bontang - Kutim di Desa Martadinata, TRIBUNKALTIM.CO, ISMAIL USMAN (TRIBUNKALTIM.CO, ISMAIL USMAN)

Sebagai buruh pemecah batu, Sakka hanya diupahi Rp 250 ribu per bulannya.

Itupun dipotong komisi Rp 50 ribu dari pemilik lahan tempat ia menampung batu-batunya sebelum diambil pengepul.

Uang tak seberapa itu menurutnya cukup untuk menghidupinya selama sebulan.

Untuk membeli beras Ia hanya menghabiskan Rp 120 ribu untuk persediaan sebulan.

Sisa upahnya dia belikan minyak goreng dan tabung gas.

Beruntung, lahan satu hektar milik orang ia tanami berbagi sayur mayur. Sehingga Sakka tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk membeli sayur.

"Rp 200 ribu itu cukup mas, saya cuman makan nasi dan sayur dari kebun. Tanah ini milik orang saya jaga. Jadi saya tanami sayur aja biar bisa dipake makan," terang Sakka.

Hidup sendrian tentu membuatnya sepi. Namun di sisi lain ia beruntung, carut marut hidup yang ia jalani tak bisa ia keluhkan dalam curahan.

"Mau ngeluh ke siapa, kan saya tinggal sendirian. Walaupun berat saya tetap jalani saja. Entah sampai kapan," kata Sakka.

Ilustrasi - Buruh bangunan
Ilustrasi - Buruh bangunan (TRIBUN KALTIM/FACHMI RACHMAN)

Sesekali anaknya datang menjenguknya. Tapi itu hanya setahun sekali. Bahkan tidak semua anaknya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved