Ekonomi Bisnis
Harga Kedelai di Balikpapan Masih Tinggi, Tidak Pengaruhi Permintaan Konsumen
Terkini adalah polemik perihal rencana impor beras oleh pemerintah di tengah periode panen raya yang akan berlangsung di dalam negeri.
Penulis: Heriani AM | Editor: Mathias Masan Ola
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, masyarakat di Tanah Air seperti dihujani oleh pemberitaan soal importasi bahan pangan.
Terkini adalah polemik perihal rencana impor beras oleh pemerintah di tengah periode panen raya yang akan berlangsung di dalam negeri.
Baca juga: Rajin Konsumsi Susu Kedelai, Ini Manfaat yang Didapat Bagi Tubuh, Bisa Mengurangi Gejala Menopause
Baca juga: Produksi Jagung dan Kedelai Masih Rendah, Kadispertan Malinau Sebut Harga Jual Kurang Bersaing
Di tengah polemik terkait rencana impor yang cukup membuat gaduh, masyarakat dalam waktu dekat diprediksi juga akan kembali direpotkan oleh potensi kenaikan harga bahan pangan lainnya, yakni kedelai.
Setidaknya prediksi kenaikan harga bahan baku tempe, tahu dan kecap ini telah disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi medio Januari lalu.
Hal ini membuat pengrajin mesti memutar otak dalam mengolah dan menghasilkan tempe-tempe tersebut.

Agar kualitasnya bisa tetap terjaga. Termasuk di Balikpapan.
Menurut salah seorang pengrajin tempe tahu di kota Minyak, Mabrur, ia masih bersyukur masih bisa bertahan menjalankan produksinya.
Walau harga kedelai yang masih tinggi. Kondisi berbeda dirasakan pengrajin tempe di pulau Jawa.
"Di awal pandemi, harga per kilogram kedelai masih dibanderol Rp 7 ribu. Sementara sekarang, mencapai Rp 10 ribu per kilogramnya," jelasnya, Senin (12/4/2021).
Baca juga: Stok Kedelai di SIKS Balikpapan Aman Hingga Sebulan, Meski Dilematis Tetap Naikkan Harga
Kondisi tersebut tentunya berpengaruh pada proses produksi. Apabila biasanya bahan baku yang dipakai sebanyak 150 kilogram kedelai per hari, dikurangi menjadi 125-130 kilogram kedelai saja.
Diakui Mabrur, kondisi ini sudah dimulai sejak memasuki awal tahun 2021 ini.
Dampak lain, ukuran tempe yang dihasilkan tak lagi sama seperti sebelumnya. Juga, jumlah tempe yang dihasilkan ikut berkurang.
"Alhamdulillah nya, permintaan konsumen tetap stabil. Sama saja seperti saat sebelum pandemi," terang pria 62 tahun ini.
Faktornya bisa dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat di daerah. Yang mana tidak terlalu berfokus pada harga, melainkan ketersediaan barang.
Baca juga: NEWS VIDEO Harga Sembako di Samarinda, Kedelai Naik Tajam Tahu Meroket, Produsen Kurangi Komposisi
Kendati begitu, ia menyatakan masih bisa bertahan di tengah naiknya harga bahan baku ini. Meski diakui, hal ini terhitung sulit bagi para pengrajin tempe.
"Ini memang pengalaman pertama selama 40 tahun lebih saya menggeluti usaha ini. Beruntung permintaan masih stabil, masih ada pembeli. Harapannya semua membaik, dan dijalani saja yang sekarang," pungkasnya.
Penulis: Heriani | Editor: Mathias Masan Ola