Ramadhan 2021
Warisan Keluarga Turun-temurun, Kue Talam Maskota Jadi Buruan Warga Samarinda, Omzet Rp 10 Juta/Hari
Jika dirunutkan hingga sekarang, jajanan tradisional Maskota sudah ada sejak tahun 1980, dan sering diburu masyarakat Kota Samarinda, Provinsi Kaliman
Penulis: Mohammad Fairoussaniy |
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA- Jika dirunutkan hingga sekarang, jajanan tradisional Maskota sudah ada sejak tahun 1980, dan sering diburu masyarakat Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.
Warga Kota Tepian belum terlalu akrab dengan sebutan Maskota yang diambil dari nama anak Siti Zaenab bernama lengkap Maskota Muradiah.
Khalayak lebih mengenal luas dengan sebutan kue khas Hj Hatim.
Hj Hatim memiliki anak bernama Nanang dan menikah dengan Maskota Muradiah.
Jajanan tradisional ini punya sejarah cukup panjang.
Baca juga: Pedagang Takjil di Berau Ini Pekerjakan 13 Karyawan, Tiap Hari Raup Omzet Rp 10 Juta
Siti Zaenab, perempuan yang berdiam di Samarinda Seberang sangat cekatan membuat jajanan tradisional rumahan yang belum menggunakan peralatan dapur dan kompor yang sudah modern seperti sekarang.
Dia membuat olahan kue dengan berbagai varian rasa di rumahnya yang berkonstruksi kayu.

Dahulu alamat kediaman Zaenab tidak diketahui, tetapi sekarang masyarakat mengenal sebagai kawasan Jalan Bung Tomo, Kelurahan Baqa, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Persis di simpang tiga Jalan Daeng Mangkona, dan hingga sekarang masih menjadi tempat produksi serta penjualan jajanan tradisional, kue talam dan berbagai jenis olahan kue lain.
"Mulai zaman penjajahan, orangtua sudah di sini (tinggal). Dan sampai sekarang masih di sini," ujar Maskota Muradiah ditemui sembari mengolah adonan kue talam.
Baca juga: Berusia 170 Tahun, Masjid Jami Nurul Ibadah Jadi Saksi Sejarah Peradaban Islam di Kabupaten Paser
Siti Zaenab tepat 20 Mei 1951 yang tengah mengandung, melahirkan Maskota Muradiah hingga akhirnya beranjak dewasa dan membantu berjualan jajanan tradisional hasil olahan orangtuanya.
Maskota yang kini sudah berumur 69 tahun ini bercerita masa ketika berjualan menggunakan nampan yang dia letakkan di atas kepalanya sambil memanggil warga.
"Jualannya jalan kaki dulu, keliling. Makanya, setiap hari bawa kue,” kata dia.
Ketika Siti Zaenab meninggal dunia pada 1986, Maskota masih tetap berjualan, melanjutkan perjuangan orang tuanya.
Keahliannya memasak olahan kue menurun dari sang ibu. Hingga akhirnya menikah dengan anak Hj Hatim dan melahirkan sembilan orang anak.
Kesembilan anaknya kini juga ikut meneruskan berjualan kue sembari menggeluti pekerjaannya masing-masing.
Maskota tidak meninggalkan jejak Siti Zaenab sebagai penjual kue.
"Hj Hatim itu mertua saya. Kue saya yang buat sepeninggal ibu, beliau yang memasarkan. Makanya di Samarinda terkenalnya kue Hj Hatim," jelas Maskota.
Rasa kue tradisional serta kue talam buatan Maskota tak perlu diragukan, saat Ramadhan seperti ini, pembeli bahkan seperti tak berhenti.
Sejak lima tahun lalu diketahui Maskota sudah menggunakan namanya sendiri.
Rebranding dilakukan agar orang juga mengetahui di balik nama besar Hj Hatim ada sosoknya yang mengolah jajanan dengan tangannya yang cekatan.
Walau berganti nama, dia tidak kehilangan pelanggan.
"Orang tahunya kue basah ya di sini (Maskota Kue). Kue talam Hj Hatim ya juga di sini. Begitu sejarahnya," ucap Maskota.
Dia menuturkan untuk memasak kue-kue basah, Maskota dibantu anak-anaknya.
Dia memulai membuat kue sejak pukul 01.00 WITA dan selesai menjelang azan zuhur.
Dapur yang digunakan pun, dari Siti Zaenab hingga Maskota tetap tak berubah.
Hanya alat-alat pembakaran tungku kayu sudah berubah menjadi kompor gas, kecuali membuat bingka yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Adanya wabah Covid-19 setahun terakhir, diakuinya, membuat keuntungan jualan jajanan tradisional sungguh jauh berbeda, tak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sempat akan mengurungkan niat berjualan, tetapi melihat antusias warga Kota Tepian pada nisfu syaban, akhirnya dia memutuskan berjualan pada Ramadan tahun ini.
Sebelumnya Maskota mengakui bahwa bisa membuat kue talam hingga 60 loyang dalam sehari, namun sekarang hanya separuh dari itu, hanya 30 loyang.
Kue talam olahannya sendiri ada 16 varian rasa yang disuguhkan.
"Tetapi tidak semua dibuat. Tergantung yang sering dibeli saja,” ucapnya.
Amparan tatak, sari muka ketan putih, sari muka ketan hitam, sari muka hijau, karaban, dan masih banyak lagi.
Terkadang, langgananya juga memesan dibuatkan khusus jenis kue talam.
Jika kue basah, ada juga bingka, dengan berbagai bentuk ukuran.
Jika bingka besar yang dicetak bisa mencapai 60 cetakan, sedang ukuran kecil bisa mencapai 400 cetakan dalam seharinya.
Dan itu dikerjakan bersama anak-anaknya.
Kue talam yang banyak diburu sendiri adalah amparan tatak, satu loyangnya dipatok dengan harga Rp 280 ribu.
Pendapatan sendiri, dalam kondisi pandemi saat ini, Maskota bisa meraup Rp 10 juta dari hasil jualan dalam sehari.
"Hasil jualan itu digabung dengan jualan kue jenis lainnya dan makanan masak yang dijual," ucapnya.
Rahasia di balik keenakan kue yang dibuat Maskota tak semua dibeberkannya, memasak kue talam dan bingka kentang contohnya, Maskota mengatakan bahwa ada teknik khusus untuk kue-kue yang dijualnya agar terus jadi rujukan bagi warga Kota Tepian.
Cara memasaknya juga tak semuanya modern.
Ia bahkan masih menggunakan kayu bakar.
"Berpengaruh jika menggunakan kayu bakar, pengaruh dengan ketahanan dan keawetan kue. Makanya kami masih pakai cara lama,” imbuhnya.
Menurut Maskota, mempertahankan cita rasa kue jajanan tradisional buatannya, membuat orang semakin percaya dengan yang dihasilkan.
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Rahmad Taufiq