Berita Nunukan Terkini
Tambang Pasir Ilegal Dilakukan Malam Hari, Camat Sebatik Nunukan tak Ingin Warga Tersangkut Hukum
Meski telah dilarang, aktivitas tambang pasir ilegal di Desa Sei Manurung, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, masih saja dilakukan.
TRIBUNKALTIM.CO, NUNUKAN - Meski telah dilarang, aktivitas tambang pasir ilegal di Desa Sei Manurung, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, masih saja dilakukan.
Agar tak ketahuan, para penambang pasir melakukannya di malam hari.
Hal itu dibenarkan oleh Camat Sebatik, Andi Salahudin.
Baca Juga: Penambangan Pasir Ilegal Pantai Sebatik, DPRD Nunukan: Jangan-jangan Ada Pengusaha Besar Bermain
"Iya betul. Ada laporan warga kalau aktivitas tambang pasirnya sekarang di malam hari," kata Andi Salahudin kepada TribunKaltim.Co, melalui telepon seluler, Jumat (11/06/2021), pukul 14.00 Wita.
Dia katakan, penambangan pasir ilegal itu sudah berlangsung lama, namun baru mencuat ke publik, lantaran dampak kerusakan terhadap ekosistem di lingkungan pesisir sudah cukup parah.
"Aktivitas tambang pasir itu sudah lama. Sudah sempat dilakukan mediasi dan sosialisasi antara pemerintah kecamatan dan para penambang. Dua hari lalu kami mengundang para penambang untuk membicarakan hal ini," ucapnya.
Menurutnya, di Desa Manurung ada 10 titik yang dijadikan lokasi tambang pasir. Tiap titik dilakukan 3 hingga 4 orang.
"Saya sudah layangkan surat kepada para penambang untuk menghentikan aktivitas tambang pasir di laut. Karena itu merusak ekosistem pesisir dan undang-undangnya ada.
Sesuai UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ancaman pidana penjara paling singkat 2 tahun paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit 2 miliar rupiah dan paling banyak 10 miliar rupiah," ujarnya.
Baca Juga: Prakiraan Cuaca Jumat 11 Juni 2021, Waspada Hujan, Petir dan Angin Kencang di Nunukan Sore Hari
Pria yang akrab disapa Salahudin itu meminta warganya untuk segera menghentikan aktivitas tambang pasir yang jelas-jelas melanggar hukum positif.
Informasi yang dihimpun, bahan material pasir untuk pembangunan infrastruktur di pulau Sebatik hanya bersumber dari Desa Sei Manurung, yang kini dilarang aktivitas pengerukan pasirnya.
Di sisi lain, larangan pengerukan pasir berimplikasi pada mata pencaharian warga yang selama ini bergantung pada aktivitas tambang pasir.
"Kalau saya lihat banyak rumah yang terkena dampak longsor, banyak tanaman kelapa sawit yang hanyut. Rumah Pak Haji Senong sudah setahun tidak ditempati karena roboh.
Kemarin, kami sampaikan kalau ada yang punya pekerjaan tambang pasir ya segera diganti. Banyak pekerjaan lain di Sebatik. Tidak logis kalau alasan mata pencaharian. Saya juga tidak ingin warga saya tersangkut masalah hukum," tuturnya.
Jika kekhawatiran warga adalah soal pasokan pasir, kata Salahudin pihaknya telah memberikan solusi untuk mendatangkan pasir dari Palu, Sulawesi Tengah.
Baca Juga: Selain Tarakan dan Nunukan, Gubernur Zainal Ingin SPBE Baru Akomodir 3 Wilayah Lainnya di Kaltara
"Tapi harganya beda jauh. Kalau dari luar pulau Sebatik, 1 rit 4 kubik harganya Rp1,5 juta. Kalau di Sebatik hanya Rp600-700 ribu. Dalam waktu dekat kami akan menyurati Kepolisian untuk membantu pengamanan di sekitaran tambang pasir, utamanya malam hari," ungkapnya.
Terpisah, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Nunukan mencatat ada pergeseran wilayah Pantai Sebatik mulai 60 hingga 70 meter.
Kepala DLH Nunukan, Rustam menuturkan, pihaknya telah menghitung pergeseran wilayah Pantai Sebatik dari visual drone dan pemetaan.
"Imbasnya lebih dari 1 hektar. Kalau melihat peta citra satelit, perbandingan tahun 2018 dengan 2020 garis pantainya bergeser cukup signifikan," imbuh Rustam.
Rustam menambahkan, tak ada upaya lain yang lebih efektif selain menghentikan aktivitas penambangan pasir ilegal itu.
Selain itu, kata Rustam harus ada pembangunan tanggul pemecah ombak sebagai langkah menciptakan lumpur di pesisir pantai.
Sehingga, nantinya akan ditumbuhi mangrove untuk menetralisir abrasi pantai yang terjadi.
"Kita semua melihat sendiri ada kuburan di Desa Sei Manurung yang hilang terkikis air laut. Bahkan tidak sedikit rumah warga rusak. Sekarang laut di sana kehilangan massa pasir, sehingga empasan ombak jauh lebih kuat dan lebih merusak," pungkasnya. (*)