Mata Najwa
Di Mata Najwa, Boyamin Saiman Sebut Terpidana Pinangki Masih Jaksa dan Dapat Gaji dari Negara
Tampil di acara Mata Najwa, Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyebut terpidana Pinangki Sirna Malasari saat ini masih berstatus jaksa
Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Syaiful Syafar
TRIBUNKALTIM.CO - Tampil di acara Mata Najwa, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut terpidana Pinangki Sirna Malasari saat ini masih berstatus jaksa dan bahkan masih dapat gaji dari negara.
Hal itu dikemukakan Boyamin Saiman ketika tampil di acara Mata Najwa bertema "Keadilan Bersyarat bagi Seluruh Rakyat Indonesia", yang disiarkan Trans7, Rabu (4/3/2021) malam.
Di acara Mata Najwa tersebut, Boyamin Saiman secara tegas menyebut terpidana kasus suap dan gratifikasi Pinangki Sirna Malasari belum dipecat sebagai jaksa.
"Jadi betul ya Jaksa Pinangki belum mantan karena masih berstatus jaksa?," tanya host Mata Najwa, Najwa Shihab.
"Masih, sekarang statusnya hanya nonaktif saja," jawab Boyamin.
Baca juga: Penegak Hukum Jabatan Tinggi Jadi King Maker di Kasus Djoko Tjandra, Boyamin Saiman Ultimatum KPK
"Masih dapat gaji dong?" tanya Najwa lagi.
"Ya paling tidak di angka tunjangan pokoknya dapat, masih dapat gaji dari negara memang betul," jawab Boyamin Saiman.
Lebih lanjut, Boyamin menjelaskan, Pinangki sudah dipindahkan ke lapas tapi sampai sekarang juga belum dicopot dari PNS-nya.
"Mestinya dia karena melakukan tindak pidana korupsi yang sudah diputuskan inkrah, sekarang ini mestinya segera diproses untuk diberhentikan dengan secara tidak hormat."
"Harus diberhentikan secara tidak hormat dalam rangka supaya negara tidak membiayai gaji yang namanya orang koruptor itu," tegas Boyamin.
Baca juga: Bukan Virus Corona, Tema Mata Najwa 4 Agustus 2021, Gebyar Diskon Hukuman Pinangki & Djoko Tjandra
Seperti diketahui, MAKI adalah lembaga yang paling getol menyoroti kasus Jaksa Pinangki dan Djoko Tjandra.
Najwa Shihab mempertanyakan, apakah sejak awal sudah ada keistimewaan di balik kasus tersebut.
Boyamin menuturkan, perlakuan istimewa terhadap Jaksa Pinangki memang sudah tercium sejak awal, bahkan sebelum penyidikan berjalan.
Bahkan Boyamin mengungkapkan ada rencana kasus Jaksa Pinangki mau diselesaikan secara adat.
"Dulu ada rencana mau diselesaikan secara adat, artinya cukup dengan pelanggaran etik dan dicopot jabatannya," ungkapnya.
"Itu tadinya saya dengar sebagai bentuk final, tapi kemudian ketika saya memperoleh dokumen yang menunjukkan percakapan dengan Anita, bahkan ada king maker, ada 'bapakmu-bapakmu' itulah baru kemudian ada level-level di Kejaksaan Agung yang juga gemas dan berusaha membawa ini menjadi proses hukum, saking jengkelnya," jelas Boyamin.
Baca juga: Sikap JPU atas Vonis Jaksa Pinangki Disorot, Host Mata Najwa Ajak Warganet Tertawa Bareng
Menurut Boyamin, keistimewaan terhadap Jaksa Pinangki tak berhenti di situ.
Saat proses mau ditahan, terjadi tarik ulur antara mau ditangkap, ditahan atau tidak.
Lalu kemudian ketika tuntutan, tarik ulur juga terjadi.
"Dalam pengertian saya itu seperti suatu penipuan karena digembar-gemborkan bahwa Pinangki itu mengakui semua perbuatannya. Padahal saya tahu persis tidak mengakui sama sekali."
"Yang diakui hanya pernah ketemu Djoko Tjandra karena memang ada ada fotonya, ada tiketnya, tapi bahwa dia tidak mengakui melakukan penerimaan suap melakukan pencucian uang dan juga tidak melakukan persekongkolan jahat," bebernya.
Baca juga: Terbongkar, Boyamin Serahkan Nama King Maker Kasus Djoko Tjandra ke KPK, Aparat Hukum Jabatan Tinggi
Tarik ulur itu, kata Boyamin, sampai di putusan banding.
Bagaimana hakim banding membuat keputusan diskon hukuman 6 tahun terhadap Jaksa Pinangki.
"Salah satunya juga karena dianggap Pinangki mengakui perbuatannya, padahal tidak. Justru Jaksa Penuntut Umum waktu itu juga masih tarik ulur dalam posisi tingkat banding, tapi hakim bandingnya malahan mengatakan bahwa Jaksa Pinangki mengakui perbuatannya padahal sama sekali tidak mengakui.
"Lho ini hakim banding ini dari mana mengambil fakta hukum seperti itu, maka saya kemudian getol ke Komisi Yudisial untuk men-treatment hakim ini dari sisi pertimbangannya ternyata tidak benar dengan fakta persidangan," jelas Boyamin Saiman.
Dimasukkan ke Lapas Tangerang
Diberitakan Kompas.com, Pinangki Sirna Malasari akhirnya dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tangerang untuk menjalani pidana penjara selama 4 tahun.
Hukuman atas Pinangki ini sesuai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengabulkan permohonan banding Pinangki: dari 10 tahun, berkurang menjadi 4 tahun penjara.
Atas putusan itu, baik jaksa penuntut umum maupun Pinangki tidak mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Padahal peringanan hukuman terhadap Pinangki mendapatkan kritik dari berbagai organisasi pegiat anti-korupsi.
"Pada Senin 2 Agustus 2021, berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juli 2021, jaksa eksekutor pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah melaksanakan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat jo Putusan Pengadilan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas nama terdakwa Pinangki Sirna Malasari yang telah berkekuatan hukum tetap," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso dalam keterangannya.
Baca juga: Akhirnya Hakim Akui King Maker di Kasus Djoko Tjandra Nyata, Pinangki Berbelit, KPK Mau Turun Tangan
Pinangki merupakan terpidana perkara pengurusan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra.
Saat terlibat dalam perkara itu, ia menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.
Dia terbukti menerima suap, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan melakukan permufakatan jahat dalam perkara pengurusan fatwa bebas untuk terpidana kasus hak tagih Bank Bali itu.
Eksekusi sempat tertunda
Putusan PT DKI itu telah berkekuatan hukum tetap sejak 5 Juli 2021, setelah JPU dan Pinangki tidak mengajukan kasasi.
Namun, putusan itu tidak langsung dieksekusi jaksa.
Pinangki sejak 5 Juli itu tetap berada di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung.
Langkah yang patut dipertanyakan ini ditemukan masyarakat anti korupsi Indonesia (MAKI).
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengecam tindakan tersebut dan menyebut kejaksaan telah mempertontonkan keistiwewaan untuk Pinangki.
"Ini jelas tidak adil dan diskriminasi atas napi-napi wanita lainnya. Telah terjadi disparitas (perbedaan) dalam penegakan hukum," kata dia, Senin (2/8/2021).
Baca juga: Boyamin Saiman Sorot Pelindung Jaksa Pinangki, Singgung Izin Temui Djoko Tjandra dan Sulit Dicopot
Keesokan harinya, kejaksaan merespons.
Riono, selaku pimpinan tertinggi di Kejari Jakpus, mengatakan belum dieksekusinya Pinangki ke lapas karena kendala teknis dan administratif.
"Tidak ada alasan apa-apa. Begitu urusan teknis dan administratifnya selesai, yang bersangkutan langsung dieksekusi," ujarnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya sejak awal terus mendorong jaksa penuntut umum segera melaksanakan eksekusi setelah putusan atas Pinangki berkekuatan hukum tetap.
Hal ini sesuai dengan Pasal 197 ayat (3) KUHAP.
Menurut Barita, tidak ada keistimewaan bagi Pinangki.
Dia mengatakan, ada persoalan teknis dan administratif yang harus dipenuhi dalam proses eksekusi.
"Kalau keistimewaan tentu ada perlakuan yang berbeda. Dari penjelasannya, semata-mata karena masalah administratif, teknis, dan kaitannya dengan pandemi dan penyesuaian protokol kesehatan yang harus dilakukan," kata Barita.
Bukan hanya MAKI yang Klaim Pinangki Dapat Keistimewaan
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai proses eksekusi Pinangki yang memakan waktu lama tidak wajar.
Ia mengaatakan, kejaksaan semestinya segera melakukan eksekusi setelah tidak mengajukan kasasi atas putusan banding Pinangki.
"Dari bulan Juli sampai Agustus belum dieksekusi menurut saya ini tidak wajar," ujar Zaenur saat dihubungi, Senin (2/8/2021).
Baca juga: 10 Action Plan Jaksa Pinangki, Bertujuan Djoko Tjandra Tertarik Lalu Membayar tapi Tidak Ada Hasil
Menurutnya, tindakan kejaksaan ini akan memunculkan semakin banyak pertanyaan soal penanganan perkara Pinangki.
Sebab, Pinangki tampak mendapatkan keistimewaan hukum dalam perkara yang menjerat dirinya.
Ia mendapatkan tuntutan ringan dari jaksa penuntut umum dan mendapatkan potongan hukuman pada pengadilan tingkat dua.
"Masyarakat kemudian bertanya-tanya mengapa terjadi perlakuan berbeda, apakah karena terpidana dari korps kejaksaan? Karena kasus ini sangat istimewa atau ada sebab lain?" ucapnya. (*)