Berita Nasional Terkini
Emir Moeis Jadi Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda, PSI: Kenapa harus Mantan Koruptor?
Emir Moeis diangkat jadi komisaris PT Pupuk Iskanda Muda dikritik Partai Solidaritas Indonesia. PSI mempertanyakan status Emir Moeis yang eks koruptor
TRIBUNKALTIM.CO - Penunjukkan Izedrik Emir Moeis sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda ( PIM ) menuai kritik
PT Pupuk Iskanda Muda adalah anak anak perusahaan BUMN, PT Pupuk Indonesia.
Dari laman resmi perusahaan, Emir Moeis telah diangkat menjadi komisaris sejak 18 Februari 2021 lalu.
Para pemegang saham PT PIM menunjuk Izedrik Emir Moeis sebagai komisaris.
Profil Emir Moeis, yang mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP telah dimuat juga di laman resmi PT PIM.
Kritik dilayangkan Partai Solidaritas Indonesia ( PSI ) atas penunjukkan Emir Moeis sebagai komisaris.
Selain itu, penunjukan Emir Moeis juga disorot Indonesia Corruption Watch ( ICW ).
Dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com, PSI mempertanyakan status Emir Moeis yang diketahui mantan terpidana kasus korupsi namun bisa menjadi komisaris.
Emir Moeis diketahui merupakan mantan terpidana kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU ) di Tarahan, Lampung, tahun 2004.
Juru Bicara DPP PSI Ariyo Bimmo menilai, Emir Moeis seharusnya tidak memenuhi syarat materiil sebagai calon komisaris.
Baca juga: Emir Moeis Mengundurkan Diri dari Pencalonan DPD RI
"Predikat mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas.
Kenapa justru diangkat menjadi Komisaris BUMN?" kata Bimmo dalam keterangannya, Kamis (5/8/2021).
"Menurut kami, melihat rekam jejaknya, Emir Moeis tidak memenuhi syarat materiil menjadi calon Komisaris yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap BUMN," imbuhnya.
Dalam perkara itu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengganjar politisi PDI Perjuangan itu dengan hukuman kurungan 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara.
Emir Moeis dinyatakan terbukti menerima suap senilai 357 ribu dollar AS dari konsorsium Alstom Power Inc. yang menjadi salah satu peserta lelang dalam proyek tersebut.
PSI, kata Bimmo, menganggap pencalonan Emir Moeis sebagai komisaris perusahaan pelat merah itu merupakan salah satu praktek impunitas terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya.
Ia menilai, efek jera yang selama ini didengungkan tidak akan pernah efektif selama mantan koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.
"Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor?
Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini," tutur dia.
Lebih lanjut, Bimmo menambahkan, dari sisi manajemen berbasis risiko, terdapat kerawanan tinggi jika mantan koruptor diberi jabatan penting dalam BUMN.
Menurutnya, tidak ada jaminan seorang mantan koruptor tidak akan melakukan tindakan serupa di kemudian hari.
"Memberi posisi strategis kepada mantan koruptor di BUMN sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi.
Ini sangat merugikan reputasi BUMN kita," katanya.
Melanggar Prinsip Dasar Pemerintahan
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mempertanyakan figur selain Moeis yang lebih bersih dan berkompeten untuk menduduki jabatan tersebut.
Menurutnya, penunjukan ini melanggar prinsip dasar pemerintahan yang kredibel.
"Masa gak ada calon lain yang lebih kredibel untuk ditunjuk? Kok sepertinya kita kekurangan orang yang bagus, bersih, dan kompeten.
Itu sudah melanggar prinsip dasar dari pemerintahan yang kredibel," kata Adnan ketika dihubungi, Kamis (5/8/2021) seperti dikutip TribunKaltim.co dari Tribunnews.com dari artikel yang berjudul Emir Moeis Jadi Komisaris di Perusahaan BUMN, ICW: Masa Gak Ada Calon Lain?
Ia menilai, penunjukan Emir Moeis sebagai komisaris perusahaan tersebut menunujukkan adanya kemunduran dalam pengelolaan BUMN oleh pemerintah.
"Saya kira memang ada kemunduran dalam pengelolaan BUMN kita ya.
Karena adanya pembiaran soal rangkap jabatan yang masif, korupsi yang kerugiannya harus ditambal oleh APBN melalui skema-skema tertentu, termasuk merekrut komisaris (pengawas) dari latar belakang eks napi korupsi," kata Adnan.
Atas hal ini, Adnan mengaku tak heran apabila sebagian besar BUMN tidak menghasilkan kinerja yang baik.
Terlebih, menurut dia, penunjukan Emir Moeis ini seakan merupakan bentuk pemakluman terhadap tindak pidana korupsi.
Sebab, eks narapidana korupsi bisa kembali menduduki jabatan publik usai menjalani hukuman.
"Jadi saya kira ada pemakluman terhadap korupsi yang membuat para eks napi korupsi bisa menjadi pejabat publik lagi," kata Adnan.
Profil Emir Moeis
Emir Moeis lahir di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 1950.
Dia menyelesaikan gelar sarjana dari Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung tahun 1975.
Pada 1984 menuntaskan studi pasca sarjana MIPA Universitas Indonesia.
Memulai karir pada tahun 1975 sebagai dosen di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Manager Bisnis di PT Tirta Menggala.
Menjabat sebagai Direktur Utama di beberapa perusahaan swasta pada tahun 1980 – 2000.
Selanjutnya pada tahun 2000 -2013 menjabat sebagai salah satu anggota DPR RI.
Terjerat Kasus Korupsi
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis tiga tahun penjara terhadap kader PDI-P, Izedrik Emir Moeis pada 2014 lalu, yang dijerat dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, tahun 2004.
Dia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara.

Hakim menilai Emir yang saat itu menjadi anggota Komisi VIII DPR saat itu terbukti menerima USD 357.000 dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.
Emir Moeis dianggap melanggar Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan penjara.
Hakim menjelaskan, Emir Moeis menerima uang dari konsorsium Alstom yang ditransfer ke rekening perusahaan anak Emir yaitu PT Arta Nusantara Utama (ANU) secara bertahap.
"Total yang diterima terdakwa adalah 357.000 dollar AS.
Maka, unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi," ujar Hakim Soafialdi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/4/2014).
Mulanya, pada 28 Juni 2001 PT PLN mengumumkan prakualifikasi proyek pembangunan PLTU di Tarahan Provinsi Lampung yang dibiayai bersama-sama Japan Bank for International Cooperation dan Pemerintah Indonesia.
Untuk mendapatkan proyek tersebut, konsorsium Alstom Power Inc yang terdiri dari Alstom Power Inc AS, Marubeni Corp Jepang, dan Alstom Power Energy System Indonesia (ESI) melakukan pendaftaran untuk menjadi salah satu peserta lelang.
Pada Agustus 2001, panitia lelang PLTU mengumumkan hasil evaluasi prakualifikasi. Konsorsium Alstom Power Inc memenuhi persyaratan.
Setelah itu, petinggi Alstom Power Inc, David Gerald Rothschild, melalui Development Director Alstom Power ESI, Eko Sulianto, menemui dia untuk meminta bantuan agar konsorsium Alstom Power Inc memenangi lelang proyek PLTU.
Emir Moeis disebut secara terbuka menanyakan keuntungan finansial apa yang akan didapatnya jika setuju membantu Alstom dalam memenangi proyek PLTU Tarahan.
Akhirnya pada 6 Mei 2004, konsorsium Alstom Power Inc diputuskan sebagai pemenang lelang.
Baca juga: Diperintah Megawati, Emir Moeis Maju Jadi Calon Senator Asal Kaltim
(*)