Berita Nasional Terkini
Kepala Densus 88 Ungkap Alasan Sesungguhnya KKB Papua Dinyatakan Sebagai Kelompok Teroris
Kepala Densus 88, Irjen Pol Marthinus Hukom ungkap alasan sesungguhnya KKB Papua dinyatakan sebagai kelompok teroris.
TRIBUNKALTIM.CO - Kepala Densus 88 ungkap alasan sesungguhnya KKB Papua dinyatakan sebagai kelompok teroris.
Seperti diketahu kelompok kriminal bersenjata alias KKB Papua beberapa tahun belakangan melancarkan aksi teror di Papua, Indonesia.
Bahkan beberapa bulan terakhir aksi teror KKB Papua semakin massif.
Tak hanya menyerang aparat keamanan baik TNI maupun Polri.
Ya, KKB Papua yang ditetapkan pemerintah sebagai kelompok teroris itu belakangan ini tak segan menyerang warga sipil.
Beberapa aksi teror mereka juga merusak fasilitas umum warga Papua.
Bahkan anggota KKB Papua tak segan untuk melecehkan hingga membunuh warga sipil yang bertentangan ideologi dengan mereka.
Selengkapnya ada dalam artikel ini.
Baca juga: Jurus Baru Densus 88 Tangani KKB Papua, Bukan Dendam,Tapi Buat Teroris Jatuh Cinta dengan Aparat
Baca juga: KKB Pimpinan Lamek Taplo Dipukul Mundur hingga Lompat ke Jurang, Begini Kondisi Terkini Kiwirok
Baca juga: Kabar Duka, 1 Anggota Brimob Jadi Korban Ganasnya KKB Papua, Kelompok Lamek Taplo Tewaskan Prajurit
Dilansir Tribunnews.com dengan judul Kepala Densus 88 Polri: KKB Papua Bukan Sekadar Organisasi Separatis, Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri, Irjen Pol Marthinus Hukom, mengatakan, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan sekedar organisasi separatis yang memiliki keyakinan untuk memisahkan diri dari negara, melainkan sebagai terorisme separatis.
“Tapi KKB OPM dikategorikan sebagai terorisme karena melakukan kekerasan, intimidasi dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat tidak bersalah sebagai upaya memaksakan kehendak terhadap orang lain,” ujarnya, pada seminar bertema “Antara HAM dan Penanggulangan Terorisme: Studi Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Uighur” di Jakarta, Senin (27/9/2021) yang diselenggarakan oleh PRIK-KT SKSG UI dan Revera Institute.
Seperti diketahui, Pascaditetapkannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai salah satu kelompok teroris di Indonesia, muncul perdebatan pro dan kontra terutama dari para aktivis HAM yang melihat bahwa terdapat subjektivitas dan unsur politik dari pemerintah dalam penetapan OPM sebagai kelompok teroris.
Baca juga: KKB Papua Makin Brutal, Satgas Nemangkawi Terpaksa Evakuasi Puluhan Warga dari Distrik Kiwirok
Perdebatan terkait HAM dan Penanggulangan Terorisme juga muncul dari gerakan separatise etnis Uighur di Xinjiang China yang dianggap para aktivis HAM sebagai bentuk perlawanan terhadap kesenjangan ekonomi, politik, dan HAM yang kerap dilanggar negara.
Oleh karenanya, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait deportasi 4 orang etnis Uighur yang terungkap memiliki afiliasi dengan ISIS juga mendapat kecaman karena dianggap tidak sensitif dan melanggar HAM meskipun sudah dijelaskan bahwa kebijakan tersebut diambil demi menjaga keamanan negara.
Dalam diskusi tersebut, Irjen Pol Marthinus Hukom juga menyebutkan bahwa terdapat 12 teroris Uighur yang masuk ke Indonesia dari sekitar tahun 2011.
Gerakan Uighur di Xinjiang adalah gerakan separatis, tapi ketika Uighur keluar dan mencoba masuk ke Indonesia sudah bersentuhan dengan kelompok teroris Indonesia termasuk JAD dan MIT.
Baca juga: Akhirnya Pemasok Senjata ke KKB Papua Tertangkap, Rupanya PNS, Ada Hubungan dengan eks Prajurit TNI
Tujuan Uighur masuk ke Indonesia awalnya karena kesulitan untuk ke Syria dan memilih konflik terdekat di Asia Tenggara yaitu Poso.
Menurut Kadensus 88 ini, aksi terorisme Uighur juga mempengaruhi tindakan teror di negara lain, karena setelah penangkapan teroris Uighur di Indonesia, selang beberapa hari terjadi pengeboman kuil di Thailand.
Hal ini yang diantisipasi oleh dteasemen khusus 88 agar tidak terjadi terror berkelanjutan di Indonesia oleh teroris Uighur.
Sementara, Ronny Franky Sompie, selaku Plt. Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, membahas peran Lembaga imigrasi di bawah kementerian hukum dan HAM yang telah melakukan pengawasan keimigrasian terhadap WNI/WNA yang melintas masuk dan membahayakan kedaulatan negara dengan menjagai pintu gerbang (perbatasan secara keseluruhan) NKRI.
Perbatasan yang diawasi oleh imigrasi melingkupi: udara (bandar udara), laut (pelabuhan), dan darat (pos lintas batas negara).
"Menteri Hukum dan HAM juga telah membuat tim pengawasan orang asing yang tugasnya berkoordinasi di lapangan untuk melakukan pengawasan dari mulai level wilayah terkecil (desa). Tugas dari tim ini adalah melakukan pertukaran informasi satu sama lain dan melakukan penyelesaian terkait masalah orang asing melalui berbagai mekanisme," ujarnya.
Baca juga: KKB Papua Serang TNI yang Sedang Evakuasi Mayat Gabriella di Jurang 300 Meter, Satu Prajurit Tewas
Kemudian, Dosen Program Studi Kajian Terorisme dan Departeman Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Ali A. Wibisono mengatakan, penanggulanan terorisme bukan hanya untuk memulihkan perdamaian dan keamanan negara, tapi juga warga negara karena kajian terorisme masa kini telah membahas pada prioritas keamanan insani.
Deputi III Kerja Sama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudhanto menambahkan, mengenai perspektif penanggulangan terorisme dan HAM dalam konteks internasional melalui kerangka global counter-terrorism strategy.
“Dalam strategi ini, bukan hanya HAM, tapi juga nilai kemanusiaan menjadi penting dalam upaya kontra-terorisme karena pelanggaran HAM justru menjadi salah satu pendorong kemunculan kelompok ekstremis kekerasan,” katanya.
Terakhir, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Benny J. Mamoto memberikan gambaran bagaimana Kompolnas beserta tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) yang dimilikinya berhubungan dengan terorisme, khususnya dalam upaya mengawasi kinerja kepolisian dan menampung saran dan keluhan masyarakat mengenai penanganan terorisme. (*)