Berita Kaltim Terkini
Akademisi Nilai Pergantian Ketua DPRD Kaltim Sebelum Menunggu Putusan Pengadilan Dianggap Keliru
Pergantian Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Timur atau DPRD Kaltim terus bergulir
Penulis: Jino Prayudi Kartono | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Pergantian Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Timur atau DPRD Kaltim terus bergulir.
Bahkan pada rapat paripurna masa sidang ke-25, Selasa (2/11/2021) diwarnai dengan aksi walk out fraksi Gerindra.
Hal tersebut dikarenakan pergantian Ketua DPRD Kaltim harus menunggu putusan pengadilan Negeri.
Meskipun begitu, dari tujuh fraksi setuju dan melanjutkan pergantian Ketua DPRD Kaltim.
Baca juga: Banmus Selaraskan Kegiatan DPRD Kaltim, Susun Sejumlah Agenda Kegiatan Masa Sidang III Tahun 2021
Baca juga: Dugaan Praktek Gratifikasi, Kubu Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK Akan Lakukan Investigasi
Baca juga: Kubu Makmur HAPK Akan Lakukan Investigasi, Dugaan Ada Praktek Gratifikasi di Samarinda
Saat ini pimpinan DPRD menyurati Gubernur terkait pergantian tersebut.
Nantinya Gubernur Isran Noor akan menerima surat tersebut dan meneruskannya ke Kemendagri.
Berdasarkan polemik tersebut mendapat respon dari akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah.
Ia mengatakan putusan yang terjadi pada rapat paripurna tersebut menjadi bukti kekuatan hukum dianggap rendah daripada putusan politik. Apalagi, dalam kinerja seorang anggota legislatif itu diatur oleh undang-undang.
Baca juga: Imbas Pergantian Ketua DPRD Kaltim, Makmur HAPK Gugat Golkar Rp 33 Miliar
Dimana undang-undang yang ada itu juga memiliki kekuatan hukum yang tetap.
"Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum? Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik," ucap Herdiansyah Hamzah.
Menurutnya jika pergantian ketua DPRD itu berdasarkan putusan Mahkamah Partai dianggap keliru.
Bahkan berdasarkan undang-undang nomor dua tahun 2011 pasal 32 ayat 5 menjelaskan satu-satunya putusan partai yang bersifat final adalah kepengurusan partai itu sendiri.
Baca juga: Hasil Survei, Partai Solidaritas Indonesia Berpeluang Jadi Kuda Hitam di Pemilu
Ia mencontohkan kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS saat ia masih bertugas di DPR RI.
"Atau kasus viani limardi yang dipecat Partai Solidaritas Indonesia di DPRD DKI. Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear," ucap Herdiansyah.
Ia pun memberikan kritik pedas terhadap keputusan salah satu pimpinan fraksi. Dimana sebelumnya menolak pergantian sembari menunggu hasil sidang, tiba-tiba berubah mendukung dan meneruskan pergantian ketua DPRD.
Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan.
"Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah imannya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya," pungkasnya. (*)