Berita Nasional Terkini
Kisah Getir Santriwati Korban Guru Pesantren, Umur 14 Tahun 2 Kali Melahirkan, Hanya Diantar Teman
Anak-anak yang menjadi korban rudapaksa guru pesantrennya di sebuah yayasan pendidikan di Cibiru, Bandung, ternyata mengurus diri secara mandiri.
TRIBUNKALTIM.CO – Kasus rudapaksa Herry Wirawan guru pesantren di yayasan pendidikan di Cibiru, Bandung membuat luka mendalam bagi para santriwati.
Terungkap cerita-cerita getir para santriwati korban kebejatan Herry Wirawan ini.
Bahkan ada anak yang masih berusia 14 tahun sudah melahirkan hingga dua kali, anak kedua lahir November 2021.
Baca juga: Santriwati Korban Herry Wirawan Guru Pesantren di Bandung Bertambah, Uang Bantuan Dipakai Check In
Anak-anak yang menjadi korban rudapaksa guru pesantrennya di sebuah yayasan pendidikan di Cibiru, Bandung, ternyata mengurus diri secara mandiri bersama-sama di rumah yang disediakan oleh Herry Wirawan, pemilik yayasan yang juga pelaku pencabulan.
“Mereka ngurus diri mereka sendiri di sana, tidak ada pengurus yayasan, hanya dia (pelaku) yang ada, tidak ada orang lain,” jelas Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut Diah Kurniasari Gunawan, kepada wartawan, Jumat (10/12/2021) malam.
Bukan hanya soal memasak, menurut Diah, urusan menjaga anak hingga mengantar kawan mereka yang hendak melahirkan pun, dilakukan bersama-sama.
Jadi, menurut Diah mereka membagi tugas dari mulai memasak, mencuci dan menjaga anak.
“Ada yang mau melahirkan, diantar oleh mereka sendiri, saat ditanya mana suaminya, alasannya suaminya kerja di luar kota, jadi begitu selesai melahirkan, bayar langsung pulang, tidak urus surat-surat anaknya,” katanya.
Menurut Diah, selain tempat mereka belajar di Cibiru yang juga jadi tempat mereka tinggal, pelaku juga menyediakan satu rumah khusus yang biasa disebut basecamp.
Tempat ini jadi tempat bagi anak-anak yang baru melahirkan hingga pulih dan bisa kembali kumpul.
“Jadi di lingkungannya, saat ditanya bayi-bayinya anak siapa, mereka bilang anak yatim piatu yang dititipkan,” katanya.
Menurut Diah, dirinya mendampingi langsung kasus ini dan bicara langsung dengan para korban hingga detail bagaimana kehidupan mereka sehari-hari di tempat tersebut.
Makanya, Diah merasakan betul kegetiran yang dialami anak-anak.
Baca juga: TERUNGKAP Cara Bejat Guru Ngaji Rudapaksa Santriwati, Didoktrin hingga Diancam, Ortu Dilarang Jenguk
"Merinding saya kalau ingat cerita-cerita mereka selama di sana diperlakukan oleh pelaku,” katanya, seperti dilansir dari Kompas.com.
Doktrinasi Diah menuturkan, para korban bukan tidak melawan, namun pelaku melakukan upaya doktrinasi dan menebar ancaman kepada anak-anak.
Hal ini terjadi selama bertahun-tahun hingga anak-anak merasa hal tersebut sudah biasa.
“Orangtua tidak diberi kebebasan menengok anak-anak, anak-anak juga tidak bebas pulang, paling kalau mau Lebaran, hanya 3 hari, itu pun diancam dilarang melapor pada orangtuanya,” katanya.
Diah menuturkan, para korban adalah anak-anak yang benar-benar lugu saat masuk ke yayasan tersebut.
Oleh karena itu, pelaku mudah memperdaya mereka dengan berbagai dalih dan alasan untuk membenarkan apa yang dilakukan pelaku pada korban.

Di Usia 14 Tahun, Santriwati Korban Perkosaan Guru Pesantren 2 Kali Melahirkan
Salah satu santriwati korban pemerkosaan Herry Wirawan (36) guru pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat baru berusia 14 tahun saat melahirkan, November 2021 lalu.
Anak pertamanya berusia 2,5 tahun dan beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua.
"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan.
Setelah korban melahirkan, Diah pun menawarkan bantuan jika orangtuanya tidak sanggup mengurus.
Baca juga: Data Terbaru Korban Guru Pesantren Herry Wirawan, Jumlah jadi 21 Santri
Namun, orangtuanya mau mengurusnya. "Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya
Dari belasan korban perkosaan guru pesantren bernama Herry Wirawan tersebut, 11 di antaranya dari Garut, Jawa Barat.
Mereka masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
Diah merasakan betul rasa kecewa, marah, dan perasaan yang berkecamuk dari para orangtua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban perkosaan gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.

Diah sendiri menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya.
Anak-anak itu sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren ternyata telah memiliki anak setelah dicabuli guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kenang Diah.
Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut, Diah juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru pesantrennya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Baca juga: TERUNGKAP Cara Bejat Guru Ngaji Rudapaksa Santriwati, Didoktrin hingga Diancam, Ortu Dilarang Jenguk
Bukan orang mampu
Menurut Diah, P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orangtuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru pesantrennya.
Bahkan, jika para orangtua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.
Sebab, menurut Diah, para orangtua korban bukan orang-orang yang tergolong mampu.
Mereka kebanyakan adalah buruh harian lepas, pedagang kecil, dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa pesantren sambil sekolah gratis di pesantren tersebut.
"Yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya, seperti dilansir dari Kompas.com.
Menguras emosi
Kasus ini, menurut Diah, sangat-sangat menguras emosi semua pihak, apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya. (*)