Berita Nasional Terkini
Anggota DPR RI Nilai Minyak Goreng Curah Rentan Disalagunakan
Kebijakan pertama yakni pencabutan mekanisme domestic price obligation (DMO) domestic price oblogation (DPO) dan harga eceran tertinggi (HET)
TRIBUNKALTIM.CO- Pemerintah dinilai dalam mengatasi persoalan minyak goreng sejauh ini masih belum menyentuh akar persoalan.
Tiga paket kebijakan pemerintah tidak akan efektif menyelesaikan masalah kelangkaan dan harga minyak goreng yang tinggi saat ini.
Kebijakan pertama yakni pencabutan mekanisme domestic price obligation (DMO) domestic price oblogation (DPO) dan harga eceran tertinggi (HET).
“Kebijakan demikian yang terburu-buru menyebabkan pasokan semu yang tidak berkelanjutan serta harga minyak goreng kemasan yang tidak terkendali,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus, Jumat (25/3/2022).
Kebijakan selanjutnya adalah pemberian subsidi untuk minyak goreng curah melalui skema BPDPKS.
Baca juga: Ramai Beredar di WhatsApp Cara Mengecek Minyak Goreng Baru atau Bekas, Penjelasan Ahli, Tips Mudah
Baca juga: Cek Ketersediaan Minyak Goreng dan Kestabilan Harga di Pasar Olah Bebaya Melak Kubar
Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Dukung Langkah MAKI Laporkan Mafia Minyak Goreng
Bagi Politikus PDIP itu, langkah iji sangat rentan terhadap penyimpangan dalam bentuk migrasi konsumen, penimbunan dan penyeludupan serta pengalihan minyak goreng curah ke industri dan ke luar negeri.
Demikian pula kebijakan menaikkan pungutan ekspor (levy).
Deddy berpendapat hal ini tidak akan efektif jika disparitas harga pasar internasional dengan domestik masih cukup lebar.
Ia mengatakan cara mengatasi kelangkaan minyak goreng sebenarnya tidak terlalu sulit sebab fundamentalnya adalah memastikan adanya pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok/sistem distribusinya tidak bocor.
“Masalah fundamental tersebut hanya bisa diatasi jika ada pengaturan tata niaga yang baik, adil dan transparan serta pengawasan, penegakan hukum yang konsisten dan efektif,”kata Deddy.
Deddy menilai, Kenaikan harga minyak goreng yang konsisten sejak akhir tahun 2021, sebenarnya adalah akibat pengaruh melonjaknya harga komoditas CPO dan turunannya di pasar dunia.
Hal ini mendorong para pengusaha melakukan ekspor untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, sehingga menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga.
Ketika Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan DMO, DPO dan HET, para produsen CPO banyak yang menahan produksinya.
Sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan.
Sementara CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan.
Sebab di tingkat distributor, terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi dan penyeludupan.
“Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat,” ujar Deddy.
“Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya,” tegas Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Baca juga: Diduga Ada Mafia Minyak Goreng, MAKI: Yang Bermain Liga Besar
Dia menjelaskan, kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup.
“Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya,” kata Deddy.
“Tata Niaga itu berarti harus dimulai sejak penentuan harga TBS, harga dan pasokan CPO, mekanisme distribusi dan harga ketika sampai di tingkat konsumen. Jika rantai pasok bahan baku dan distribusi produk tidak diawasi, penegakan hukumnya lemah maka persoalan tidak akan pernah selesai,” beber Deddy.
Dalam konteks itu, Deddy mengaku sungguh tidak habis pikir dengan belum selesainya masalah ini.
Sebab kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas.
Pasal 25, UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan, secara jelas mengatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga yang terjangkau.
Lebih jauh Perpres N0.72/2015 dan Perpres No. 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang pentinglainnya.
Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik serta mengelola ekspor dan impor.
Oleh karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian.
“Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Menurut Deddy, sebaiknya Pemerintah mencabut Permen Menperin N0.8/2022 karena selain tidak sejalan dengan UU, juga tidak melibatkan pihak-pihak lain yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir.
“Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, Polri dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Deddy (*)
Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Politikus PDIP Usul Pemerintah Bentuk Satgas Minyak Goreng Libatkan Sejumlah Lembaga, https://www.tribunnews.com/bisnis/2022/03/25/politikus-pdip-usul-pemerintah-bentuk-satgas-minyak-goreng-libatkan-sejumlah-lembaga?page=all.