Lipsus Masyarakat Adat di IKN

Suara Masyarakat Paser Balik Sepaku yang Khawatir Tergusur IKN, ‘Kami Ingin Perhatian Pemerintah’

Mengandalkan alam di kebun dan sungai masih menjadi pilihan masyarakat Paser Balik di Kelurahan Sepaku yang lokasinya dekat dengan IKN Nusantara.

Penulis: Tribun Kaltim | Editor: Adhinata Kusuma
TRIBUNKALTIM/DWI ARDIANTO
Kepala Adat Paser Balik Sepaku, Sibukdin membuka jendela rumahnya di RT 03 Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Lokasi kampung masyarakat adat ini sekira 6 Kilometer dari Titik Nol IKN Nusantara. 

Berusaha mendapatkan legalitas ke pihak berwenang nyatanya tak memuculkan solusi, sebab tanah mereka diakui berstatus sebagai Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), yang membuat pergerakan mereka secara otomatis sangat terbatas.

"(Kami) Selalu memohon kepada pemerintah, untuk kepastian lahan kami, status lahan kami saja masih KBK, itupun kami berulang ulang kali memohon kepada pemerintah kabupaten, tapi katanya itu bukan wewenang mereka, mereka bilang itu wewenang pihak Pertanahan, atau dari kemeterian dan sebagainya, itulah masalah kami tidak bisa terselesaikan," ungkap Sibukdin

Sambil menahan raut wajah kecewa, Sibukdin mengatakan, dirinya dan seluruh masyarakat yang tinggal di kelurahan Sepaku seakan tak pernah tahu apa yang sedang dan akan dibangun di tanah kelahirannya.

Padahal, bisa dikatakan masyarakat suku adat Paser Balik merupakan tuan rumah di kawasan itu.

Pembangunan IKN hanyalah cerita yang mereka ketahui lewat kabar, baik dari berita media maupun sosial media.

Sibukdin menegaskan, sejak daerahnya disahkan menjadi bagian dari IKN, masyarakat suku adat Paser Balik sebagai masyarakat asli Penajam Paser Utara yang mendiami kelurahan Sepaku dan kelurahan Pemaluan dan Desa Bumi Harapan kecamatan Sepaku, tak pernah dilibatkan sama sekali dalam hal apapun.

Kondisi itu pun, memunculkan rasa pesimisme. Kekhawatiran bakal tergusur, dianggap tidak ada, serta tidak diakui hak-haknya, menjadi kegelisahan mereka.

Kekhawatiran mereka semakin memuncak sejak adanya penetapan daerah delienasi kawasan Ibu Kota Negara.

Di mana tempat mereka bermukim, dinobatkan sebagai ring satu ibu kota negara, atau kawasan yang paling dekat dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP), tepatnya di Kelurahan Sepaku.

Luasan wilayah IKN yang mencapai 256.332,49 hektar itu, mencakup seluruh luasan wilayah kelurahan Sepaku.

Baik Sibukdin maupun Fandi mengaku khawatir.

Upaya untuk mendapatkan legalitas pengurusan Sertifikat melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah dilakukannya, namun hasilnya nihil, lantaran program tersebut dibatalkan untuk daerah delienasi IKN.

"Yang buat saya bingung, tanah itu saja diakui negara, kenapa (keberadaan) kami tidak, kami yang jauh dari kemajuan ini, bingung," kata Sibukdin lirih.

Rumah warga di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku Penajam Paser Utara difoto dari udara.
Rumah warga di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku Penajam Paser Utara difoto dari udara. (TRIBUNKALTIM/DWI ARDIANTO)

Padahal, progres pembangunan IKN nyatanya telah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir. Pembanguan intake sungai Sepaku misalnya.

Sibukdin mendengar kabar, lahan warga yang dijadikan lokasi pembangunan bendungan itu, bakal dibayar melalui konpensasi ganti untung, senilai Rp 25 ribu hingga Rp 75 ribu per meter.

Menurutnya itu, jumlah yang minim apabila dibandingkan dengan tawaran harga dari kalangan non pemerintahan yang mencapai Rp100 hingga Rp500 ribu per meter.

Meski baru kabar dan belum ada realisasi di lapangan terkait proses dan mekanisme konspensasi tersebut, diakui Sibukdin angka yang ditawarkan tak masuk akal.

Apalagi jika tanah mereka yang berada jauh dari jalan raya, tentulah akan dibayar dengan harga yang relatif lebih murah.

Sibukdin mengatakan, apabila tanah mereka dijual satu hektar, dengan harga yang ditawarkan seperti yang telah disebutkan, maka jelas tak akan cukup untuk membeli kavlingan, apalagi untuk membangun rumah hingga tempat usaha.

Menurut Sibukdin, satu hektar tanah dijual dengan harga itu, hanya cukup untuk membangun atap rumah saja.

"Intinya memang itu belum pernah ada kompensasi yang didapatkan, misalnya dengan bendungan yang ada di Sepaku tiga sungai intake, katanya dulu ada yang dikenakan Rp25 ribu satu perkan, ada yang Rp70 ribu, dan ada yang mentok Rp100 ribu, tetapi yang saya tau belum ada terjadi pembayaran ganti untung atau kompensasi," ucap Sibukdin.

"Makanya saya bilang kalau kita korbankan tanah ini dijual untuk beli kavlingan, tidak mampu, karena baru dihargai Rp 500 ribu kalau lokasinya ada di pinggir jalan, sedangkan dengan harga segitu tidak mampu kami bangun rumah, bangun usaha apalagi, mungkin kalau dijual yang satu hektar dengan harga seratus dua ratus baru beli atap sudah habis uangnya," sambungnya.

Meski mereka mengaku cukup antusias, mendukung, dan berharap ada perubahan ke arah positif bagi kehidupan mereka seiring dengan adanya pembangunan IKN, namun nyatanya masih jauh dari harapan.

"Mau tidak mau kami bergerak dalam artian seperti (bicara) di media ini, saya sampaikan, supaya pemerintah pusat itu mau dengar dan melihat keadaan kami yang ingin diperhatikan juga," kata Sibukdin.

Kunjungan masyarakat umum ke lokasi Titik Nol IKN Nusantara yang terus meningkat. Jumlah sampah di Titik Nol IKN Nusantara terus menignkat seiring banyaknya kunjungan masyarakat. Kini kunjungan dibatasi Sabtu - Minggu saja.
Kunjungan masyarakat umum ke lokasi Titik Nol IKN Nusantara yang terus meningkat. Jumlah sampah di Titik Nol IKN Nusantara terus menignkat seiring banyaknya kunjungan masyarakat. Kini kunjungan dibatasi Sabtu - Minggu saja. (TribunKaltim.co/Budi Susilo)

Harus Izin Kementerian

Keresahan warga adat Paser Balik kelurahan Sepaku akan tergusur dari tanah tempat tinggalnya seiring pembangunan IKN ini ditanggapi Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Penajam Paser Utara (PPU), Tohar.

Penyebab sukiutnya memperoleh legalitas ini menurutnya karena sebagian besar lahan kebun masyarajat masuk dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).

"Upaya mereka meminta legalitas, itu tidak bisa, kecuali jika memohon pelepasan status ke kementrian, namanya juga KBK," kata Tohar Senin (9/5/2022).

Ia juga mengaku keluhan warga tidak serta merta bisa diakomodir, karena memang secara keperdataan, lahan tersebut tak bisa begitu saja dilegalkan.

Meski demikian ia mengaku, beberapa tahun lalu memang pernah ada pemutihan atau pelepasan beberapa kawasan KBK, menjadi milik perorangan.

Hal itu karena lahan yang diputihkan itu, merupakan lahan yang betul-betul diusahakan oleh warga sekitar, sejak beberapa tahun.

Namun, untuk mendapatkan status pemutihan diakui Tohar, semuanya merupakan wewenang dari pihak Pemerintah pusat.

Terkahir kali, pemutihan beberapa lahan disebutkan Tohar ada sebagian di daerah kelurahan Sepaku, dan daerah Riko.

Namun untuk luasan lahan serta waktu pemutihan, Tohar mengaku tidak mengetahui pasti.

"Tidak bisa dilegalkan secara keperdataan, karena status kawasan, tetapi dulu pernah sekali ada pemutihan, artinya dilepaskan dari status KBK, tapi sampai saat ini belum ada lagi setelah itu, terakhir, itu saja karena harus ada kondisi faktual untuk dijadikan pertimbangan oleh Kementerian, saya kurang ingat tahun berapa pemutihan itu, ada di Kelurahan Sepaku dan Riko," pungkasnya. (Nita Rahayu, Mohammad Fairoussaniy, Bella Evangelista)

 

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved