Memilih Damai
Suku tak Muncul dalam Survei Kompas untuk Pilpres 2024, Publik tak Jadikan Pertimbangan Berpolitik
Peneliti Litbang Harian Kompas, Yohan Wahyu menegaskan bahwa selama ini Litbang Kompas tidak pernah memplot, maupun ada kepentingan sepihak.
Penulis: Ary Nindita Intan R S | Editor: Heriani AM
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Keberadaan Lembaga Survei dalam perhelatan Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 turut menjadi bahasan dalam Tribun Network Talkshow Series: Memilih, Damai dengan tema Membaca Suara dari Daerah: Kalimantan, pada 5 Desember 2022.
Hadir dalam talkshow beberapa narasumber, di antaranya Rektor Universitas Balikpapan, Isradi Zainal; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman Samarinda, Muhammad Noor; Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu; dan Aktivis Pengamat Pemilu dan Demokrasi Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.
Terungkap dalam perbincangan, ada penilaian Lembaga Survei yang mengaitkan antara suku dengan Pilpres 2024.
Baca juga: Potensi Capres dari Luar Jawa Tak Kalah di Pilpres 2024, Dekan FISIP Unmul: Yang Susah Kesempatan
Peneliti Litbang Harian Kompas, Yohan Wahyu, menegaskan bahwa selama ini Litbang Kompas tidak pernah memplot, maupun ada kepentingan sepihak.
“Kita survey berkala, itu tidak memenuhi order dari pihak luar, murni, tidak ada pesanan-pesanan," ujarnya dalam gelaran Talkshow.
"Memang bagian dari agenda setting Kompas. Sebagai lembaga media, yang salah satu fungsinya memberikan informasi, mengedukasi dan juga bagian dari kontrol terhadap publik,” imbuhnya.
Misalnya mendekati Pemilu, setiap 3 bulan akan dilakukan survey. Jadi hal itu, juga merupakan fungsi, daripada tugas media.
“Karena hal tersebut dapat memberikan informasi ke publik. Terkait bagaimana sih respon publik terhadap kebijakan Pemerintah, evaluasi terhadap kinerja Pemerintah,” tukas Yohan.
"Kemudian siapa sih, Presiden yang diinginkan publik Kompas. Sebagai amanat hati nurani Rakyat, bukan amanat hati nurani dari Partai," lanjutnya.
Baca juga: Pemilih Pilpres 2024 Tertarik Apa yang Mereka Bisa Akses, Titi Anggraini Beberkan Tantangan Media
Yohan menuturkan, bahwa memang Kompas bertanya kepada publik, terkait siapa calon Presiden yang diinginkan, sama halnya, siapa Partai yang diinginkan publik.
“Jadi memang dari sisi evaluasi kinerja Pemerintah, bagian dari kontrol sisi yang lain. Kita mencari figur-figur yang diinginkan publik, bagian dari cara menyajikan informasi. Ini loh yang sebenarnya figur-figur yang diinginkan publik,” ulasnya.

Menyambung perihal tersebut, kata Yohan, sebenarnya tidak ada jawaban publik yang terkait etnisitas. Ketika memilih, orang tidak peduli etnisitas.
“Jadi kita tanya, kenapa memilih Pak Ganjar, kenapa memilih Pak Anies, kenapa memilih Pak Prabowo. Alasannya tidak menyudutkan etnisitas, yang kebetulan tiga-tiganya bersuku Jawa,” paparnya.
“Memilih Pak Ganjar karena merakyat, memilih Pak Prabowo karena tegas, memilih Pak Anies karena kinerja. Jadi alasannya tidak ada yang memiliki kesamaan perihal etnis bahkan kesamaan agama," jelasnya.

Memang alasan tersebut yang menjadi pertimbangan, kata Yohan.
Sehingga, menurutnya pemilih di Indonesia, tidak menjadikan unsur suku dan etnis menjadi petimbangan dalam berpolitik.
(TribunKaltim.co/Ary Nindita)