Memilih Damai
Ray Rangkuti Sebut Masyarakat Pilih Capres karena Kedekatan dan Programnya, bukan Pertimbangan Suku
Dalam talkshow Memilih Damai, Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengatakan masyarakat memilih capres karena kedekatan dan programnya. Bukan suku
TRIBUNKALTIM.CO - Indonesia akan menggelar Pemilihan Presiden (PIlpres 2024), kini sejumlah nama calon presiden (capres) sudah mulai beredar.
Dalam Talkshow Series Memilih Damai, Kamis (8/12/2022), Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, masyarakat memilih capres berdasarkan kedekatan dan program-programnya yang jelas.
Menurutnya, sedikit masyarakat yang memilih capres dengan pertimbangan suku atau agama.
Tribunnews menggelar Talkshow Series Memilih Damai, untuk chapter Jakarta digelar di Universitas Al-Azhar, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/2022).
Tema Talkshow Memilih Damai chapter Jakarta adalah "Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa" dengan menghadirkan sejumlah narasumber yakni Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, Dekan FISIP Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto, Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Heri Herdianto, Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu dan Meutia Hatta yaitu Putri dari Muhammad Hatta.
Dan Pembawa Acara dibawakan oleh Paramitha Soemantri dan Pemimpin Redaksi Warta Kota Domu Ambarita sebagai Moderator.
Fakta yang ada hingga saat ini yang tidak dapat dipungkiri adalah sejak Indonesia merdeka, tujuh Presiden RI selalu beririsan dengan suku Jawa.
Fakta inilah yang kemudian membentuk stigma masyarakat bahwa tokoh yang akan menjadi presiden Indonesia harus yang berasal dari suku Jawa.
Baca juga: Suku tak Muncul dalam Survei Kompas untuk Pilpres 2024, Publik tak Jadikan Pertimbangan Berpolitik
Namun menurut Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima Indonesia) Ray Rangkuti, fakta ini tidak akan berarti dalam Pemilu 2024 termasuk Pilpres 2024.
Fakta tersebut menurut Ray Rangkuti sudah tidak relevan bagi masyarakat.
Ray Rangkuti mengatakan, "Berdasarkan Survei Kedai Kopi 2021 lalu, dinyatakan sebesar 67 persen, sudah tidak peduli terhadap asal sukunya kok.
Kalau diurut belakang lagi, berdasarkan lembaga survei Parameter Politik Indonesia, yang milih agama dan suku itu kecil."
Ray Rangkuti mengatakan berdasarkan lembaga survei yang disebutkanya, bahwa nantinya pemilih akan memilih pemimpin jika memiliki kedekatan dengan masyarakat, dan jelas program kedepannya.
Ray Rangkuti memberikan contoh saat ini, capres 2024 yang sedang digadang-gadang oleh Partai politik seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
"Waktu itu saya di Solo Jawa Tengah, bertanya kepada teman, Ganjar bisa menang suara 80-100 persen, alasannya karena kemana mana nyapa masyarakat, jadinya tinggi," kata Ray Rangkuti seperti dikutip TribunKaltim.co dari WartaKota.Tribunnuews.com di artikel berjudul Talkshow Memilih Damai, Ray Rangkuti: Masyarakat Pilih Capres Berdasar Kedekatan, Bukan Lagi Suku.
Kemudian, Anies Baswedan yang sudah lalukan safari politik di sejumlah daerah di Indonesia.
Baca juga: Hasil Survei Capres 2024, Prabowo Paling Populer, Ridwan Kamil Paling Disukai, Moeldoko Kuda Hitam
"Anies sudah kemana mana, sudah melonjak persenmya ya dibanding Prabowo Subianto," ujar Ray.
Selanjutnya, Prabowo Subianto yang belum lakukan safari poltliknya, membuat elektabilitasnya tidak naik.
"Karena belum jalan jalan, tapi kalau Januari 2023 ia sudah safari politik, nantinya elektabilitas akan naik, karena kita liat di lapangannya," tutur Ray.
Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu menegaskan bahwa pemilihan pemimpin di Indonesia bukan berdasarkan kedekatan identitas.
Kedekatan identitas yang dimaksud Yohan adalah agama, suku, atau hal-hal yang lainnya.
"Terkait dengan hasil survei kepemimpinan nasional, masih didominasi dengan nama-nama yang selama ini juga beredar di lembaga survei yang lain ya," ujar Yohan dalam pemaparannya seperti dikutip TribunKaltim.co dari WartaKota.Tribunnews.com di artikel berjudul Bukan soal Identitas, Anies Disenangi karena Prestasinya, Ganjar Merakyat, Prabowo Dianggap Tegas.
Yohan menyebutkan nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan memang menjadi tiga nama yang menguasai 60 persen lebih total suara responden.
Artinya di bawah tiga nama tersebut, memang banyak nama-nama yang bermunculan.
"Bahkan survei Kompas menyebutkan kenapa milih Prabowo, Ganjar, atau Anies, itu tidak ada yang menjawab karena sama agamanya atau karena sama sukunya," ucap Yohan.
Ia mencontohkan, Ganjar dipilih karena merakyat. Prabowo dipilih karena tegas.
Baca juga: Pemilih Pilpres 2024 Tertarik Apa yang Mereka Bisa Akses, Titi Anggraini Beberkan Tantangan Media
Lalu, Anies dipilih karena kinerjanya, dan mungkin karena asosiasi Gubernur DKI saat itu.
Yohan menegaskan apabila dilihat dari tren kepemimpinan dari tahun ke tahun, memang tidak ada dimensi sosiologis yang begitu menguat.
Namun demikian, ia menyadari ke depan di masa mendatang, perilaku pemilih di Indonesia memang lebih banyak digerakkan oleh sentimen sosiologi.
"Jadi kalau ditanya suka atau enggak sama pemimpin itu, ya suka saja. Kalau ditanya alasannya apa, kadang bingung juga," jelas Yohan.
Hal tersebut menandakan dimensi psikologi akan banyak bermain ketika pemilih menentukan pilihannya dengan program kerja.
Lama kelamaan, alasan-alasan psikologis itu akan makin kuat apabila calon-calon elit politik juga menyuguhkan alasan yang sifatnya rasional.
Yohan kembali menegaskan, tidak ada pertimbangan sosiologi dalam menentukan pilihan.
"Tapi memang masih ada beberapa, namun sedikit. Jadi kalau ditanya tanpa menyebutkan nama, apakah agama atau suku menjadi pertimbangan pemilih, pasti akan ada yang menjawab iya," pungkas Yohan.
Jadi memang Yohan menyadari identitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan.
Tapi ketika memilih, Yohan yakin seseorang akan menjadi obyektif.
Dalam artian pasti lebih mengedepankan dengan melihat program kerja yang dibawa oleh elit politik itu.
Baca juga: Erick Thohir Disebut Lebih Unggul dari Ridwan Kamil sebagai Cawapres, bisa Melengkapi Figur Capres
(*)
Berita Memilih Damai Lainnya
Berita Mata Lokal Memilih Lainnya