Ramadhan 2023
Orang yang Wajib Meng-qadha Puasa dan Membayar Fidyah untuk Mengganti Utang Puasa Ramadhan
Orang yang wajib meng-qadha puasa dan membayar fidyah untuk mengganti utang puasa Ramadhan.
TRIBUNKALTIM.CO - Orang yang wajib meng-qadha puasa dan membayar fidyah untuk mengganti utang puasa Ramadhan.
Bulan suci Ramadhan 1444 H akan segera datang.
Hanya tinggal hitungan hari, umat muslim akan kembali bertemu dengan bulan yang dinantikan ini.
Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi umat Islam yang memenuhi syarat untuk menjalankannya.
Namun, ada beberapa golongan yang dibebaskan dari kewajiban ini karena beberapa sebab.
Baca juga: Jadwal Imsakiyah Kota Balikpapan Ramadhan 2023, Lengkap dengan Niat Puasa dan Doa Buka Puasa
Setidaknya ada sembilan orang yang diporbolehkan tidak berpuasa seperti orang gila, anak kecil, orang sakit, orang tua, orang berpergian, hamil, menyusui, haid, hingga wanita yang sedang nifas.
Sebagai gantinya, orang yang tidak berpuasa karena sejumlah sebab tertentu itu diharuskan untuk mengganti atau qadha puasa di luar Ramadhan.
Selain dengan qadha, puasa pada bulan Ramadan pun bisa diganti dengan membayar fidyah.
Namun ada juga orang yang harus meng-qadha dan juga membayar fidyah.
Orang yang harus melakukan keduanya adalah orang yang punya utang puasa namun tak dibayar.
Misalnya, di tahun 2022 si Fulan punya utang puasa 5 hari, namun sampai di Ramadhan 2023 yang ia bayar kurang dari 5 hari. Sehingga ia masih punya utang puasa di tahun 2022.
Sehingga setelah Ramadhan 2023, si Fulan harus meng-qadha utang puasanya dan membayar fidyah.
Lantas siapa saja kriteria orang yang wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk mengganti puasa Ramadhan?
Dikutip Serambinews.com dari e-book Buya Yahya berjudul Fiqih Praktis Puasa, berikut penjelasan Buya Yahya.
Baca juga: Jadwal Imsak Samarinda Ramadhan 2023, Lengkap Niat Puasa dan Doa Buka Puasa serta Jadwal Sholat
1. Anak kecil
Anak kecil jika sudah baligh maka ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkannya
2. Orang Gila
Gila yang disengaja wajib mengqodho’ saja dan tidak wajib membayar fidyah.
Gila yang tidak disengaja tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah
3. Orang sakit
Sakit yang masih ada harapan sembuh wajib mengqodho’ jika sembuh dan tidak wajib membayar fidyah.
Sakit yang menurut keterangan dokter sudah tidak ada harapan sembuh maka ia tidak wajib mengqodho, akan tetapi hanya wajib membayar fidyah setiap hari yang ia tinggalkan dengan makanan (seperti : beras) sebanyak 1 mud (yaitu 6,7 ons) diberikan kepada fakir miskin.
4. Orang tua
Orang tua disamakan dengan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Karena orang tua tidak akan kembali muda.
Maka baginya tidak wajib mengqodho’ dan hanya wajib membayar fidyah 1 mud (yaitu 6,7 ons) diberikan kepada fakir miskin.
5. Orang musafir
Orang yang bepergian hanya wajib mengqodho saja dan tidak wajib membayar fidyah.
6. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui ada 3 (tiga) macam :
Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri
Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri sekaligus khawatir keadaan anaknya
Wajib mengqodho’ dan membayar fidyah jika dia khawatir akan keselamatan bayinya dan tidak
khawatir akan dirinya sendiri.
7. Wanita Haid
Wanita haid hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.
8. Wanita Nifas
Wanita Nifas hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.
Ini 9 Orang yang Boleh Tidak Berpuasa, Siapa Saja? Simak Penjelasan Buya Yahya
Sembilan orang ini diperbolehkan tidak berpuasa, siapa saja? Simak penjelasan Buya Yahya berikut.
Pada bulan Ramadhan, berpuasa adalah kewajiban bagi umat Islam selama satu bulan penuh.
Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya.
Namun ternyata, ada sembilan kategori orang yang tidak diwajibkan berpuasa lho.
Dilansir Serambinews.com dari laman resmi buyayahya.org, Selasa (15/3/2022), menurut Buya Yahya setidaknya ada sembilan kategori orang yang diperbolehkan tidak berpuasa, siapa saja?
1. Orang Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa. Seandainya berpuasa maka puasanya pun tidak sah.
Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, orang gila dengan disengaja. Orang gila yang disengaja, jika berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.
Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila.
Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib meng qadha puasanya setelah sehat akalnya.
Kedua, orang gila yang tidak disengaja.
Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib berpuasa.
Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.
2. Anak kecil
Maksudnya, di antara orang yang boleh tidak berpuasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:
Pertama yang keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.
Kedua, keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).
Ketiga, jika tidak keluar mani dan tidak haid, maka ditunggu hingga umur 15 tahun.
Jika sudah genap 15 tahun, maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriah.
3. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa.
Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:
Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.
Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.
Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.
Akan tetapi, siapa pun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.
Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa.
Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.
4. Orang Tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.
Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.
Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.
5. Bepergian (Musafir)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:
Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).
Misalnya kata Buya Yahya :
Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).
Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.
Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.
Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.
Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.
Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.
Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.
Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.
Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.
Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.
Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.
Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.
Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.
6. Hamil
Orang hamil diperbolehkan tidak berpuasa.
Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).
7. Menyusui
Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak berpuasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.
Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.
8. Haid
Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
9. Nifas
Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib berpuasa.
Jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya. (*)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Siapa Saja yang Wajib Mengqadha & Bayar Fidyah untuk Ganti Puasa Ramadhan? Begini Kata Buya Yahya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.