Tahun Baru Islam

Sejarah Bubur Suro yang Identik dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram, Sudah Ada sejak Nabi Nuh

Sejarah bubur suro yang identik dengan perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram, ternyata sudah ada sejak Nabi Nuh.

Editor: Diah Anggraeni
disbudpar.cirebonkota.go.id
Sejarah bubur suro yang identik dengan perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram, ternyata sudah ada sejak Nabi Nuh. 

TRIBUNKALTIM.CO - Sejarah bubur suro yang identik dengan perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram, ternyata sudah ada sejak Nabi Nuh.

Nama bubur suro tentu sudah tidak asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di Jawa.

Bubur suro sangat identik dengan perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram.

Sebagai informasi, Tahun Baru Islam 1 Muharram selalu dibarengi dengan peringatan 1 Suro pada kalender penanggalan Jawa.

Tahun ini, Tahun Baru Islam 1 Muharram akan jatuh pada tanggal 19 Juli mendatang.

Sebagai informasi, bubur suro merupakan salah satu alat atau uba rampe dalam bahasa Jawa.

Bubur suro ini bagi masyarakat Jawa digunakan sebagai sesajen yang khusus dibuat saat momen perayaan 1 suro.

Namun yang perlu diingat, bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik.

Lantas, bagaimana sejarah bubur suro? Kapan waktu yang tepat untuk menyajikannya?

Baca juga: Filosofi Bubur Suro yang Identik dengan Perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram, Cek Cara Penyajiannya

Asal-usul Bubur Suro

Nama bubur suro diambil dari kata asyuro.

Asyuro sendiri memiliki arti bubur yang komposisinya dari berbagai macam biji-bijian.

Biji-bijian ini mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan beberapa lagi jenis biji-bijian kemudian dimasak menjadi bubur.

Setelah masak, kemudian dimakan bersama keluarga.

Bubur suro juga dibagikan kepada anak-anak yatim, orang tak mampu, mereka yang sedang tidak melaksanakan puasa, atau dimakan saat berbuka puasa.

Mengutip dari jatim.nu.or.id, tradisi membuat bubur suro bila ditelusuri dalam sejumlah kitab klasik memiliki kemiripan dengan yang pernah dilakukan Nabi Nuh dan kaumnya.

Keterangan ini bisa dilihat dalam kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267 disebutkan:

قَوْلُهُ: وَأَخْرَجَ نُوْحًا مِنَ السَّفِيْنَةِ وَذَلِكَ أَنَّ نُوْحًا - عَلَيْهِ السَّلَامُ - لَمَّا نَزَلَ مِنَ السَّفِيْنَةِ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ: شَكَوْا اَلْجُوْعَ، وَقَدْ فَرَغَتْ أَزْوَادُهُمْ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَأْتُوْا بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ، فَجَاءَ هَذَا بِكَفِّ حِنْطَةٍ، وَهَذَا بِكَفِّ عَدَسٍ، وَهَذَا بِكَفِّ فُوْلٍ، وَهَذَا بِكَفِّ حِمَّصٍ إِلَى أَنْ بَلَغَتْ سَبْعَ حُبُوْبٍ - وَكَانَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ - فَسَمَّى نُوْحٌ عَلَيْهَا وَطَبَخَهَا لَهُمْ، فَأَكَلُوْا جَمِيْعًا وَشَبِعُوْا، بِبَرَكَاتِ نُوْحٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Artinya: Allah mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu. Kisahnya sebagai berikut: sesungguhnya Nabi Nuh ketika berlabuh dan turun dari kapal, beliau bersama orang-orang yang menyertainya, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah habis. Lalu Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful, ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh.

Ya, bubur asyura sudah ada sejak masa Nabi Nuh kala bersama kaumnya yang beriman selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu.

Baca juga: Makna Bubur Suro, Tradisi Turun Temurun Masyarakat Jawa saat Perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram

Mengutip BangkaPos.com dari laman PISS-KTB, dihikayatkan bahwa tatkala perahu Nabi Nuh as sudah berlabuh (siap digunakan) pada hari ‘asyuro, beliau berkata kepada kaumnya 'kumpulkanlah semua perbekalan yang ada pada diri kalian'.

Lalu beliau menghampiri (mereka) dan berkata '(ambillah) kacang fuul (semacam kedelai) ini sekepal, dan ‘adas (biji-bijian) ini sekepal, dan ini dengan beras, dan ini dengan gandum, dan ini dengan jelai (sejenis tumbuhan yang bijinya/buahnya keras dibuat tasbih)'.

Kemudian Nabi Nuh berkata 'pasaklah semua itu oleh kalian!, niscaya kalian akan senang dalam keadaan selamat'.

Dari peristiwa ini, kaum muslimin (terbiasa) memasak biji-bijian.

Kejadian di atas juga merupakan bentuk praktik memasak yang pertama kali terjadi di atas muka bumi setelah kejadian topan.

Peristiwa ini kemudian dijadikan (inspirasi) sebagai kebiasan setiap hari ‘asyuro.

Sementara itu, mengutip dari Kompas.com, konon katanya tradisi bubur suro berkaitan dengan kisah ketika Nabi Muhammad masih hidup.

Saat itu Perang Badar sedang berlangsung.

Usai perang, jumlah prajurit Islam menjadi lebih banyak.

Saat itu seorang sahabat Nabi Muhammad saw memasak bubur.

Namun jumlah bubur yang ia buat tidak mencukupi karena jumlah prajurit yang begitu banyak.

Akhirnya Nabi Muhammad memerintahkan para sahabatnya mengumpulkan bahan apa saja yang tersedia untuk kemudian dicampurkan ke bubur tersebut.

Tujuannya agar bubur yang dibuat menjadi lebih banyak dan bisa didistribusikan kepada semua prajurit.

Baca juga: Cara Mudah Membuat Bubur Suro, Makanan Khas Tahun Baru Islam 1 Muharram yang Sarat Makna

Kapan Bubur Suro Disajikan?

Bubur suro ditafsirkan sebagai alat atau uba rampe untuk memaknai perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram.

Mengutip kompas.com dari buku "Perayaan 1 Suro di Pulau Jawa" (2009) oleh Julie Indah Rini, keluarga Jawa umumnya menghidangkan bubur suro pada malam menjelang tahun baru.

Tepatnya malam satu suro atau satu Muharam.

Hal ini merujuk pada konsep Jawa, di mana setelah pukul empat dianggap sudah memasuki hari baru.

Dalam penyajiannya, bubur suro dihidangkan dengan berbagai lauk pelengkap.

Di Jawa sendiri, bubur suro disajikan bersama kacang kedelai, serundeng kelapa, rujak degan, dan telur dadar ayam kampung.

Namun lauk tersebut bisa jadi berbeda di tiap daerahnya.

Bubur suro tak dihidangkan secara cuma-cuma.

Sajian ini memiliki makna filosofis yang dipercaya oleh masyarakat di masing-masing daerahnya.

Masih dalam buku yang sama, Julie Indah Rini menyebutkan bahwa tradisi makan bubur bersama-sama merupakan wujud dari kerukunan berkeluarga.

Saat menyantapnya, semua orang akan diliputi rasa syukur dan bahagia karena dapat berkumpul walau hanya menikmati sajian sederhana.

Baca juga: Mengenal Bubur Suro, Hidangan Khas Tahun Baru Islam yang Tiap Lauknya Bermakna, Cek Sejarahnya

Makna Bubur Suro

Bubur suro, makanan khas Tahun Baru Islam 1 Muharram, sederhana dan mudah dibuat. (Pinterest/Sae Galeri)

Menu pelengkap dalam bubur suro masing-masing memiliki makna yang berbeda.

Mengutip buku "Perayaan 1 Suro Pulau Jawa" (2010) oleh Julie Indah Rini, bubur putih sendiri merupakan lambang kesucian jalan hidup.

Sementara kedelai hitam yang digoreng menunjukkan watak yang mituhu atau senantiasa setia dan berbuat baik dengan menaati anjuran sesepuh.

Telur ayam kampung yang diiris pun melambangkan suatu hal yang berbeda.

Lauk pelengkap ini merupakan simbol dari hidup yang kesinambungan dan bermasyarakat.  

Serundeng kelapa sendiri merupakan petunjuk jelas agar kita semua mengikuti filosofi pohon kelapa.

Maksudnya adalah pandai beradaptasi dan berguna untuk masyarakat.

Bubur Suro juga kerap dikenal dengan nama bubur Suran dan biasa disajikan pada malam menjelang datangnya tanggal 1 Suro.
Bubur Suro juga kerap dikenal dengan nama bubur Suran dan biasa disajikan pada malam menjelang datangnya tanggal 1 Suro. (sholawatnariyah.com)

Tak lupa ada pula rujak degan yang merupaka simbol bahwa manusia wajib menjalani hidup dengan antusias dan sungguh-sungguh.

Sementara itu, tujuh macam kacang melambangkan jumlah hari dalam seminggu.

Sebagai tambahan, bubur suro ini juga dihidangkan dengan uba rampe atau pelengkap sesaji.

Beberapa bahan yang digunakan yakni daun sirih, bunga, janur kuning, dan sekerajang buah

Masing-masing uba rampe tersebut pun memiliki makna yang berbeda.

Walau demikian, semua uba rampe ini mengarah pada makna hidup yang lebih baik. (*)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved