Berita Nasional Terkini

Buka-Bukaan, Jimly Bongkar 9 Dugaan Pelanggaran Etik Sekaligus di Putusan MK, Nasib Anwar Usman?

Buka-Bukaan, Jimly Asshiddiqie bongkar 9 dugaan pelanggaran etik sekaligus di putusan Mahkamah Konstitusi, nasib Anwar Usman?

Editor: Rafan Arif Dwinanto
Tribunnews/Naufal Lanten
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Buka-Bukaan, Jimly Asshiddiqie bongkar 9 dugaan pelanggaran etik sekaligus di putusan Mahkamah Konstitusi, nasib Anwar Usman? 

TRIBUNKALTIM.CO - Isu dugaan pelanggaran etik oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) masih bergulir.

Terbaru, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie buka-bukaan soal adanya dugaan 9 pelanggaran etik sekaligus di tubuh MK.

Diketahui, MK, terutama ketuanya, Anwar Usman jadi sorotan usai putusannya menjadi golden tiket buat Gibran Rakabuming melaju ke Pilpres 2024.

Putra Presiden Jokowi ini menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Anwar Usman diketahui merupakan adik ipar Presiden Jokowi.

Baca juga: Analisa Survei Terbaru, Faktor Jokowi Belum Berefek ke Elektabilitas Prabowo Meski Gandeng Gibran

Terbaru, Jimly membongkar, isu pelanggaran etik pertama yang sedang ditangani adalah soal Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang tidak mengundurkan diri dalam menangani uji materi terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden.

Padahal, pemohon uji materi itu secara jelas mengaku sebagai pengagum Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo yang juga keponakan Anwar Usman.

"Utamanya itu soal hakim tidak mengundurkan diri padahal dalam perkara yang dia punya kepentingan.

Perkara yang dia punya hubungan keluarga," kata Jimly dalam sidang pemeriksaan pelapor di Gedung MK, Jakarta, Rabu (1/11/2023).

Isu kedua, dugaan pelanggaran etik mengenai hakim yang membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa di muka publik.

Ketiga, terkait hakim menyampaikan dissenting opinion yang tidak mengenai substansi, tetapi malah mengungkap masalah yang terjadi di internal MK saat hendak pengambilan keputusan.

"Jadi dissenting opinion itu bukan perbedaan pendapat tentang substansi.

Tapi di dalamnya ada juga ada keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan, padahal itu masalah internal," kata Jimly.

Isu keempat masih serupa dengan isu di atas, yakni hakim yang berbicara soal masalah di internal MK di muka publik sehingga dianggap menimbulkan ketidakpercayaan.

Isu kelima adalah pelanggaran prosedur, registrasi, dan persidangan yang diduga atas perintah ketua MK atau hakim MK.

"Ini (permohonan uji materi) sudah ditarik, dicabut, didaftarin lagi hari Sabtu atau ya pokoknya itu kita periksa.

Makanya kami nanti sesudah semua hakim kuta panggil, panitera juga akan kita panggil," kata dia.

Menurut Jimly, pelanggaran pada proses registrasi itu seharusnya tidak boleh terjadi karena bakal berimbas ke masalah etika, profesionalisme dan mempengaruhi putusan.

Baca juga: Survei Terbaru, Terjawab Siapa Pemilik Suara di Jabar-Jatim, PDIP vs Gerindra Rebutan Khofifah-RK

Jimly melanjutkan, ada juga aduan mengenai pembentukan MKMK yang dianggap lama, padahal merupakan amanat dari revisi Undang-Undang MK pada tahun 2020 untuk menggantikan Dewan Etik MK.

Persoalan ketujuh, kata Jimly, terkait mekanisme pengambilan keputusan yang dianggap kacau.

Adapun isu kedelapan adalah terkait MK yang dianggap dijadikan alat politik praktis.

"Memberi kesempatan kekuatan dari luar mengintervensi ke dalam dengan ada kesengajaan, itu ada juga yang mempersoalkan kayak gitu," ujar Jimly.

Isu terakhir yang dipersoalkan adalah mengenai kebocoran masalah internal di MK yang akhirnya dimuat di sejumlah media massa.

"Artinya ada masalah serius di dalam. Ya kan enggak boleh, yang rahasia kok ketahuan kaya CCTV.

Ini kayak Pak Petrus ini punya CCTV nonton bagaimana berdebatnya hakim," kata dia.

Jimly menyatakan, MKMK akan menuntaskan pemeriksaan terhadap laporan-laporan yang masuk dengan memberi kesempatan bagi semua pelapor untuk menyampaikan aduannya.

"Siapa tahu ada lagi nih selain sembilan isu ini tadi," ujar mantan ketua MK tersebut.

Dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.

Baca juga: 60 Persen Kegiatan Gibran Fokus di Jateng, Rebut Suara Ganjar di Jawa Tengah, Cek Survei Terbaru

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Putusan ini pun menjadi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya tiga tahun.

Tak lama setelah putusan itu, Gibran secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) maju sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Prabowo-Gibran pun telah mendaftar sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).

Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju putusan itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.

Mengapa Gibran Terancam Gagal Cawapres?

Pelapor kasus etik hakim konstitusi, Denny Indrayana, membeberkan argumentasi hukum bahwa Putusan Mahkamah Agung (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diduga direkayasa oleh konflik kepentingan keluarga Presiden Jokowi seharusnya tidak sah.

Denny menuturkan bagaimana prosedur hukum yang dibayangkannya dapat membuat Putusan 90 itu tidak sah.

Pertama, jika Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etika berat, yang bersangkutan dapat dijatuhi pemberhentian tidak dengan hormat.

Kedua, dengan komposisi hakim berbeda tanpa Anwar Usman maka MK menetapkan Putusan 90 tidak sah karena ikut diputus oleh Anwar yang seharusnya mengundurkan diri karena mempunyai benturan kepentingan.

Baca juga: Siapa Capres 2024 Terkuat? Ini Hasil Survei Capres Cawapres 2024 Terbaru dan Visi Misi Capres 2024

Ketiga, dengan komposisi hakim yang berbeda tanpa Anwar Usman, MK memeriksa dan memutus ulang perkara nomor 90 itu.

"Pernyataan 'tidak sah' itu lebih tepat dilakukan oleh MK sendiri melalui pemeriksaan kembali perkara yang sama. Pemeriksaan kembali demikian tidak boleh dinyatakan melanggar prinsip nebis in idem," kata dia.

Pada sidang sebelumnya, Denny Indrayana mengatakan berdasarkan tahapan Pilpres, jadwal yang paling terkait adalah “Pengusulan Bakal Pasangan Calon Pengganti” yang dimulai pada tanggal 29 Oktober dan berakhir pada 8 November 2023.

Karena itu dia menilai penting untuk putusan MKMK diterbitkan sebelum batas akhir pendaftaran di tanggal 8 November 2023.

Kata Denny jika putusan MK untuk perkara nomor 90 tidak sah karena pelanggaran etika Hakim Konstitusi Anwar Usman maka konsekuensinya Gibran Rakabuming Raka tidak bisa ditetapkan KPU sebagai paslon Cawapres dari Capres Prabowo Subianto.

Sehingga Gibran bisa diganti sebagai cawapres Prabowo. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jimly Beberkan 9 Isu Pelanggaran Etik yang Sedang Ditangani MKMK"

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved