Wacana Buaya Riska Balik ke Bontang
BKSDA Kaltim Sarankan Konservasi Ex Situ untuk Buaya Riska
Menurut Deny, dua hal tersebut merupakan solusi yang disebut dengan Konservasi Ex Situ, yang telah diatur dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup
Penulis: Muhammad Ridwan | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberikan dua pilihan, jika Pemerintah Kota Bontang ingin membawa pulang Buaya Riska dari penangkaran Teritip, Balikpapan. Yaitu Penangkaran atau konservasi.
Opsi tersebut, kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Kaltim, Deny Mardiono juga telah disampaikan saat pihaknya diundang Pj Gubernur Kalimantan Timur Akmal Malik, untuk berdiskusi pada 27 Oktober lalu.
Menurut Deny, dua hal tersebut merupakan solusi yang disebut dengan Konservasi Ex Situ, yang telah diatur dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk penangkaran di aturan pada Peraturan Menteri KLHK P19 Tahun 2013.
Baca juga: Inilah Alasan Buaya Riska Akan Dikembalikan ke Habitatnya di Sungai Guntung Bontang
Kemudian untuk Konservasi, di aturan dalam Permen KLHK Nomor 22 tahun 2019.
"Silakan yang mana mau ditempuh," kata Denny dalam rapat dengar pendapat DPRD Bontang, Selasa (14/11/2023).
Ia menjelaskan, dari dua opsi itu yang paling berpeluang adalah pola konservasi.
Hal tersebut juga sudah menjadi kesimpulan dari hasil pertemuan dengan Akmal Malik.
Lantaran secara khusus, jika pilihannya adalah penangkaran tidak diperkenankan adanya peragaan.
Baca juga: 3 Lokasi Disurvei Pemkot untuk Rencana Habitat Buaya Riska di Bontang
"Jadi penangkaran ini murni pengembang biakan saja," bebernya.
Sementara jika bentuknya adalah lembaga konservasi diizinkan ada kegiatan yang sifatnya interaksi, tetapi dalam batas tertentu.
"Maksudnya peragaan sesuai standar. Tidak dibolehkan dicium (buaya) atau dielus-elus dan sebagainya,"bebernya.
Menurut Denny, hal tersebut diatur secara ketat atas dasar keamanan dan keselamatan manusia. Pasalnya, buaya adalah satwa liar yang memiliki sifat predator dan hal itu tidak akan hilang.
Kalau kita memberi peluang kepada pengelola lembaga konservasi untuk melakukan peragaan, seperti mencium itu sama saja menyerahkan nyawa orang.
"Siapa yang akan menjamin?, namanya satwa liar pasti punya sifat buas. Itu tidak akan hilang," bebernya.
Libatkan Badan Usaha
Lebih lanjut, Denny menjelaskan, dari dua opsi itu pemerintah daerah tidak diperkenankan untuk mengelola secara langsung, harus badan usaha atau pihak ketiga. Hal tersebut diatur dalam Permen KLHK.
Baca juga: BREAKING NEWS: DPRD, Pemkot Bontang dan BKSDA Kaltim Bahas Wacana Buaya Riska Balik ke Habitatnya
"Semua yang melakukan adalah badan usaha. Baik koperasi, CV, PT atau BUMD, jadi tidak boleh langsung pemerintah," ungkapnya.
Harus 40 Buaya
Selain itu, BKSDA juga menegaskan bahwa dalam upaya dilakukan Pemkot Bontang jangan hanya berpikir untuk memulangkan Buaya Riska.
Tetapi juga semua buaya yang sebelumnya di relokasi yang jumlahnya 40 ekor.
Jadi kalau mau buat penangkaran atau lembaga konservasi, teknis yang akan dibahas adalah 40 buaya, minimal.

"Jadi jangan hanya berpikir buaya Riska. Ada ompong dan buaya-buaya yang lain," tegasnya.
Menanggapi itu, Asisten II bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Bontang Lukman mengatakan apa yang disampaikan pihak BKSDA adalah, masukan penting untuk laporan yang akan diserahkan kepada Wali Kota Basri Rase.
"Ini akan kami masukan sebagai satu poin penting dalam laporan yang akan kami serahkan kepada pimpinan," pungkasnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.