Berita Bontang Terkini
Wali Kota Bontang dan 10 Kepada Daerah Ajukan Judicial Review UU Pilkada, Pengertian Judicial Review
Wali Kota Bontang Basri Rase dan 10 kepala daerah lainnya mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Penulis: Ata | Editor: Nur Pratama
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Tidak semua orang tahu apa itu judicial review, Ini penjelasannya.
Wali Kota Bontang Basri Rase dan 10 kepala daerah lainnya mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kepada Tribunkaltim.co, saat ditemui usai mengikuti kegiatan simulasi Pemilu 2024, di Kelurahan Bontang Bontang, Rabu (31/1). Basri Rase mengatakan ikut terlibat dalam gugatan tersebut.
Ia menilai Pilkada serentak 2024, di November mendatang bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
Contohnya ia dan wakilnya Najirah termasuk yang dirugikan. Pasangan ini mengikuti Pilkada pada 2020 dan dilantik 2021. Jika diasumsikan masa jabatannya semestinya berakhir di 2026.
Tetapi, dengan Pilkada serentak ini masa jabatannya terpangkas 2 tahun 6 bulan dan akan digantikan dengan Penanggung Jawab (Pj) kepala daerah.
Baca juga: Aksi Kejar-kejaran Berlangsung Dramatis, Ini Kronologi Tabrak Lari di Bontang Sopir dan Mobil Hancur
"Ini untuk rasa keadilan kami yang masa bakti harusnya sampai 2026, bukan 2025 . Makanya bersama 10 Kepala Daerah lain, mewakili 270 kepala daerah yang dirugikan, melayangkan gugatan ke MK," kata Basri.
Basri menjelaskan UU Pilkada yang digugat yakni ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8) dan (9) dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur perihal Pilkada serentak.
11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon terdiri dari Walikota Bontang, Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bukittinggi.
Menurutnya, inti dari gugatan tersebut meminta negara berlaku adil dengan mengundur jadwal Pilkada, untuk kepala daerah yang terpilih 2020 bisa melangsungkan Pilkada di 2025 mendatang.
"Gugatan sudah masuk. Jadi memang kita tawarkan solusi. Kalau kita di 2020 terpilih harusnya Pilkada berlangsung di 2025," pungkasnya.
Pengertian Judicial review
Dilansir dari https://www.hukumonline.com/ Judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma, demikian pemaparan Jimly Asshiddiqie dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2),
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa dalam teori pengujian (toetsing) dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal).
Kedua bentuk pengujian tersebut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58).
Jadi, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya uji materiil merupakan salah satu jenis judicial review.
Perbedaan Judicial Review MA dan MK
Di Indonesia, judicial review dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan Mahkamah Agung (“MA”). Meski sama-sama berwenang melakukan judicial review, namun kedua lembaga ini memiliki lingkup kewenangan yang berbeda.
Dalam hal ini, MK berwenang melakukan judicial review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”).[1] Sedangkan MA berwenang melakukan judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.[2]
Pihak yang Berhak Mengajukan Judicial Review
Secara hukum, hak atas uji materiil maupun uji formil atas undang-undang terhadap UUD 1945 diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:[3]
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara.
Sedangkan pihak yang berhak mengajukan judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah pihak yang merasa haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:[4]
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
badan hukum publik atau privat.
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil).
Dalam hal yang hendak diuji adalah materi muatan undang-undang terhadap UUD 1945, maka permohonan judicial review diajukan ke MK. Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan yang hendak diuji adalah materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka permohonan judicial review diajukan ke MA.
Paket Seragam Gratis Belum 100 Persen Tersalurkan, Ini Penjelasan Kepala Disdikbud Bontang |
![]() |
---|
Program Makanan Bergizi Gratis di Bontang Jangkau 11.271 Penerima Manfaat |
![]() |
---|
Pemkot Bontang Ancang-ancang Bentuk Klub Sepak Bola Profesional Baru |
![]() |
---|
Pemuda Diamankan Polisi dengan Barang Bukti Sabu di Parkiran RSUD Taman Husada Bontang |
![]() |
---|
Nelayan di Guntung Bontang Diduga Edarkan Sabu Diamankan Polisi, 32 Poket Jadi Barang Bukti |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.