Berita Mahulu Terkini
Cerita Gendongan Bayi dan Fakta Dibalik Asal-usulnya di Mahakam Ulu Kaltim
Gendongan bayi adalah salah satu perlengkapan penting yang dirancang khusus untuk membawa bayi dengan cara yang nyaman dan aman
Penulis: Kristiani Tandi Rani | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, UJOH BILANG - Gendongan bayi adalah salah satu perlengkapan penting yang dirancang khusus untuk membawa bayi dengan cara yang nyaman dan aman.
Dengan berbagai jenis dan model, gendongan bayi menjadi solusi praktis bagi para orangtua yang ingin tetap aktif sambil menjaga keintiman dengan sang buah hati.
Setiap suku maupun daerah yang ada di Indonesia memiliki gendongan bayi dengan ciri khas tertentu.
Misalnya saja suku Dayak Kenyah di Kalimantan.
Menurut periset Sari Wulandari, gendongan bayi dari Suku Dayak Kenyah punya banyak simbol dengan beragam manik-manik yang diciptakan oleh perempuan yang ada di dalam suku tersebut.
Baca juga: Orangtua Jalan Kaki 10 Km dalam Gelap Antar Anak Berobat, Balita 4,5 Tahun Meninggal dalam Gendongan
Gendongan bayi dalam bahasa Dayak Kenyah sering disebut Baq Aban.
Menariknya, dibalik gendongan bayi ini ada kisah unik dibaliknya. Masyarakat Dayak Kenyah percaya, pada zaman dahulu terdapat suatu kerajaan yang sangat terpencil di daerah apau kayan.
Masyarakat, Herlin mengatakan didalam kerajaan itu terdapat satu keluarga yang memiliki sebelas orang anak sepuluh diantaranya adalah laki-laki dan yang paling bungsu adalah perempuan.
Nama ayahnya Lenjau Belareq dan nama ibunya Bungan Dapung.
Keluarga ini adalah keturunan bangsawan Dayak Kenya yang ada di Apau Kayan pada zaman itu.
Putra-putri mereka tumbuh dengan baik dan menjadi orang dewasa yang sangat gagah dan cantik.
Anak laki-laki mereka sudah memiliki keluarga masing-masing namun yang bungsu belum juga memiliki pasangan, karena tidak mau menerima lamaran dari siapapun.
Baca juga: Mengenal Semboyan 10 Suku Dayak di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur
Pada suatu hari ayah dan ibunya berniat mengadakan sayembara besar-besaran di kerajaan yang di pimpinnya, guna untuk mencari jodoh buat anak gadisnya.
Lenjau Belareq memberikan titah kepada banyak sida-sidanya untuk membuat sayembara.
Tidak lama kemudian datanglah raja-raja dari berbagai suku Dayak Kenya yang lain dengan membawa putra/pangeran mereka untuk ikut serta dalam sayembara tersebut.
Dalam sayembara itu terdapat tujuh pangeran yang gagah perkasa yang siap untuk mengikuti sayembara.
Raja meminta kepada peserta untuk mengeluarkan segala kemampuan dan kehebatan mereka untuk merebut putri tersebut.
Tidak lama kemudian sayembara pun dimulai, satu per satu pangeran yang dari kerajaan lain itu gugur dan hanya satu pangeran yang tersisa dari ketujuh pangeran tersebut.
Sang raja langsung mengumumkan kepada seluru rakyat kerajaan yang menyaksikan sayambara tersebut bahwa sang pemenang sayembara langsung malamar putri tersebut.
Semua rakyat memberikan penghargaan kepada raja atas pengumuman itu.
Tapi sang putri tidak mau di jodohkan oleh orang tuanya walau pun perjodohan itu dalam kelas terpandang.
Dia terus menolak perjodohan itu pada akhirnya sang ibu kesal dengan putri nya yang tidak mau ikut dengan perjodohan itu.
Baca juga: Mengenal 13 Macam Satuan Ukuran dalam Bahasa Dayak Bahau Busang di Mahakam Ulu Kaltim
Pada suatu hari sang ibu sangat marah sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak harus dia ucapkan.
Ibunya berkata jika kamu menolak perjodohan ini ibu tidak akan mengakui kamu lagi sebagai putri ibu, lebih baik kamu menikah dengan Iban Lakai atau raja hantu air
Iban Lakai adalah penjaga Jiram tiga titik atau Jiram Ben yang ada di sungai Kayan tepatnya di Long Uroq yang masih sangat aktif sampai saat ini.
Pada waktu ibunya mengucapkan kata-kata itu tidak diketahui oleh ibunya bahwa di belakang rumah ada genangan air kecil yang ada penungguhnya.
Sehingga penungguh air kecil itu yang menyampaikannya kepada Iban Lakai bahwa sang Ibu mengijinkan anaknya dilamar oleh hantu air.
Dengan senang hati raja air itu menerima kabar itu dan ia pun bersiap-siap mengatur strategi untuk melamar sang putri raja daratan Apau Kayan.
Dengan cara gaib raja Iban Lakai melamar sang putri raja daratan untuk putranya tanpa di ketahui oleh orang tuanya dan kakak-kakaknya.
Sang putri dilamar diam-diam tidak lama kemudian rakyat Iban Lakai pun datang menjemput sang putri raja daratan Apau Kayan.
Sang putri bertingkah aneh saat sang pangeran hantu air datang, dia mengajak semua teman-teman sebayanya untuk mendekorasi dan ada juga yang memasak.
Melihat tingkah sang putri itu semua keluarga kerajaan pun bingung karena mereka tidak melihat apa-apa dan siapa-siapa.
Tidak ada tanda-tanda akan ada acara pernikahan dirumah itu secara kasat mata, namun sang putri tetap ngotot bahwa akan ada pernikahan hari itu juga.
Tiba-tiba putri itu berbicara seolah-olah menyambut kedatangan orang banyak namun seisi kerajaan tidak ada yang melihat siapa-siapa yang datang.
Ia pun bertingkah aneh, dia duduk bersama dayangnya seolah-olah ada yang berbicara tentang lamaran itu.
Namun sampai saat itu seisi kerajaan tidak ada yang melihat siapa-siapa.
Sang putri mengambil jarum dan menjahit bajunya yang agak sobek dikit, dan jari telunjuknya ketusuk jarum akhirnya meninggal pada hari itu juga.
Kerajaan mengira bahwa ketusuk jarum hanya sebagai penyebab kematiannya secara fisik saja.
Ayah ibunya tidak puas akan kematian putri mereka yang meninggal dengan tidak wajar itu.
Tidak lama kemudian kira-kira tujuh hari setelah kematian gadis itu, ayahnya pergi ke sungai untuk menimbah air.
Tiba-tiba ia melihat anaknya muncul dari dalam air dengan membawa dua orang anak yang masih kecil yang masih di gendong dibelakan dan didepan lalu duduk di atas batu yang letaknya berada ditengah sungai Kayan nama batu itu adalah Batu Butoi yang masih ada sampai saat ini.
Sang Ayah pun lari ketengah untuk mendapati anak gadisnya itu, dengan kedalaman air setinggi lutut orang dewasa.
Tiba-tiba sang ayah sudah berada di pokok tangga rumah tempat tinggal sang anak, lalu di bawanya lah dia ketempat di mana gadis itu tinggal.
Ternyata suami sang anak juga adalah seorang pangeran dalam air putranya raja Iban Lakai hantu air.
Melihat anaknya berada disitu ayahnya tidak mau pulang kedaratan karena tetap mau berada didekat putrinya.
Ia melihat di dalam rumah itu sangat banyak harta benda yang ada didalam rumah itu yang tidak dimiliki orang darat satu diantaranya adalah Baq Aban.
Tidak lama kemudian mertua dari putri itu menyuruh sang ayah pulang dengan membawa Baq Aban dan manik-Manik sehingga Ia harus pulang kedarat.
Tapi dengan rasa tidak puas Ia tetap marah dan kesal karna anak perempuan satu-satunya harus menikahi hantu air tersebut.
Ayahnya tidak kehabisan akal, Ia memerintahkan semua penduduk yang ada di daerah Apau Kayan untuk meracuni sengai Kayan dari hulu sampai hilir mulai dari sungai sengit sampai ke jelarai sehingga semua penduduk yang hidup di aliran sengai Kayan bergabung untuk mengambil ikan yang timbul akibat terkena racun (TUBA) tetapi Ia tidak berminat dengan ikan-ikan yang timbul pada saat itu.
Ia duduk-duduk dipinggiran sungai tiba-tiba muncullah gadis itu beserta anak-anaknya dengan memohon kepada ayahnya supaya jangan meracuni sungai itu lagi sambil menangis.
Tetapi ayahnya tetap pada prinsipnya dengan nada pasrah gadis itu memberitahukan kepada ayahnya bahwa sang suami telah mengungsi ke salah satu anak sungai yang ada di jemahang.
Dengan rasa marah sang ayah memerintahkan seluruh warga kerajaannya pergi mencari keberadaan sang suami dari gadis tersebut `tetapi tidak ketinggalan juga saudara-saudaranya pergi mencari keberadaanya.
Tidak lama kemudian kakak tertua mereka menemukan sekor ikan belut raksasa (lembu) yang berdembunyi di salah satu muara anak sungai dan ia memanggil seluruh warga untuk berkumpul dan menyaksikan keberadaan belut tersebut.
Ayahnya yang mendengar kabar itu pun segera pergi untuk mendapatkan belut tersebut, dan ia meminta supaya belut itu dibunuh.
Semua prajurit tidak ada yang berani mendekati mahluk itu akhirnya mereka mengambil apa yang ada didekat situ untuk melemparinya.
Mereka mengambil temadau atau tebuh hutan yang ada dekat situ dan melacipkannya setajam mungkin dan melemparinya sampai belut itu mati.
Setelah mati mereka mengukurnya, ukurannya adalah sepanjang satu depa orang dewasa dan panjangnya 15 depa orang dewasa.
Lalu mereka angkat mahluk itu dengan muksud untuk memakannya guna untuk menambah kekuatan pasukan mereka.
Tapi, tiba-tiba sang gadis datang tergesa-gesa dan sambil berteriak "Ayah jangan ayah! jangan! dia suamiku,"
Ayahnya menjawab "Suami? Dia suami mu?" Ayahnya dengan tegas berkata "Saya tidak punya menantu seperti itu dia adalah musuh ku!"
Tapi gadis itu terus memohon dan berjanji akan memberikan apa yang ia punya kepada sepuluh saudaranya asalkan belut itu tidak dimakan oleh mereka.
Ayahnya menerima tawaran itu dan merekapun pulang ke kerajaan di mana sang ayah duduk sebagai baginda raja.
Tidak lama kemudian air pun naik, terjadilah air besar yang sangat dasyat yang tidak pernah terjadi sebelumnya sampai menutup lubang angin rumah pada saat itu, hingga sore hari air pun surut.
Didapati oleh sang ayah bahwa didalam rumah ada sepuluh tempayan yang berukiran naga timbul, warna tempayannya kecoklatan dan warna naga timbulnya kebiru-biruan yang mengkilat.
Didalam tempayan itu terisi penuh manik bermacam-macam bentuk dan jenis yang terisi penuh dalam sepuluh tempayan tersebut.
Sang Ayah langsung memanggil seisi rumah untuk melihat tempayan-tempayan itu dan berdiri tegak diruang tamu, Ia berjejer rapi, bukan hanya sepuluh saudaranya saja yang datang melainkan seluruh yang mendengar teriakannya.
"Mereka terkejut melihat barang berharga sebanyak itu karena tidak pernah mereka melihat sebelumnya. Setelah mereka melihat dan mendapati manik-manik seperti itu, dibuatnya lah oleh mereka Baq Aban seperti yang di bawa pulang oleh ayahnya sebanyak yang bisa mereka buat," kisah Herlin pada TribunKaltim.co.
Mulai pada zaman itu keturunan dari ke sepuluh saudaranya itu, ketika mempunyai anak bayi haruslah membuat Baq Aban untuk menggendong bayi mereka.
Dengan seiringnya waktu, mulai saat itu suku Dayak Kenyah Apau Kayan melakukan perkawinan silang.
Sehingga mayoritas suku Dayak yang berasal dari Apau Kayan boleh menggendong bayi mereka. "Dengan Baq Aban," tuturnya.
Pasalnya, masyarakat Dayak Kenyah percaya tidak semua orang bisa memakai gendongan bayi Baq Aban.
Baq Aban hanya dapat digunakan oleh kaum golongan bangsawan.
(*)
Dishub Mahakam Ulu Pertimbangkan Pengadaan Bus Sekolah untuk Kebutuhan Transportasi Pelajar |
![]() |
---|
Dishub Mahakam Ulu Bentuk Kesadaran Tertib Lalu Lintas Sejak Dini dengan Sosialisasi Bersama Pelajar |
![]() |
---|
Gelar Razia dan Bagikan Helm Gratis, Dishub Mahakam Ulu Tekankan Keselamatan Berlalu Lintas |
![]() |
---|
Damkar Mahulu Tambah Armada Baru, Tingkatkan Respons Cepat Kebakaran |
![]() |
---|
Damkar Mahakam Ulu Perkuat Relawan Kebakaran, Personel Masih Minim |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.