Tribun Kaltim Hari Ini

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tutut dan Titiek Minta Bapaknya Dimaafkan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Tribun Kaltim
Tribun Kaltim Hari Ini. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. 

"Jadi untuk ke depan tidak perlu buang-buang waktu untuk untuk trial and error peraturan-peraturan atau bikin program baru. Yang lama saja kita contek, kita lihat dengan keinginannya kita perbaiki sesuai dengan apa yang diperlukan sekarang," ujarnya.

Hargai Pemimpin di Masa Lalu

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pencabutan nama Presiden ke-2 Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), merupakan keputusan yang sangat penting. 

Yusril menekankan pentingnya menghargai pemimpin di masa lalu.

"Memang ini suatu keputusan penting untuk bangsa dan negara kita. Sebab kita ini menghargai para pemimpin kita di masa lalu. Karena pemimpin itu harus kita tempatkan pada konteks zamannya. Kita tidak bisa menilai masa yang lalu dengan masa kini," ujarnya di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (27/9).

Yusril juga menjelaskan pimpinan MPR akan bersilaturahmi dengan keluarga Soeharto.

Ia mengaku diundang untuk menghadiri silaturahmi tersebut sebagai sosok yang pernah membantu Soeharto.

Namun, Yusril menyatakan permohonan maaf karena tidak dapat hadir.

"Karena saya ada kegiatan yang sudah dijadwalkan. Tapi saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan MPR," ungkapnya.

Baca juga: Sejarah 27 Maret: Hari Pelantikan Soeharto Sebagai Presiden Indonesia yang Kedua, 56 Tahun Silam

Menurut Yusril, keputusan ini membuka peluang bagi Presiden untuk memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

Ia juga menyarankan agar gelar serupa diberikan kepada Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang namanya juga dicabut dari TAP MPR.

"MPR itu hanya menyatakan bahwa TAP terkait dengan Gus Dur itu sudah selesai. TAP terkait dengan Pak Harto malah sudah dilaksanakan. Bahkan disebutkan secara tegas Pak Harto kan, dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, disebutkan itu mengambil suatu langkah hukum terhadap Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya itu yang disebut. Terhadap Pak Harto-nya sendiri itu sudah selesai," jelas Yusril.

"Dan saya merupakan saksi sejarah tentang hal itu. Karena pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, hakim-hakim itu masih di bawah saya pada waktu itu. Pak Harto tapi tidak bisa diadili. Dan ketika saya jadi Mensesneg saya bertemu Pak Harto di RS Pertamina pada waktu itu. Dan Pak Harto berbicara pribadi dengan saya, mengenai status beliau yang sampai saat itu masih terdakwa," sambungnya.

Usai mendengar curhatan Soeharto, Yusril pun mengambil langkah sebagai Mensesneg di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dia menyebut keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Soeharto juga sudah disetujui SBY.

"Pemerintah ambil keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Pak Harto karena beliau memang tidak bisa diadili," kata Yusril.

"Jadi sebenarnya TAP MPR itu sendiri memang betul sudah dilaksanakan. Apalagi beliau sudah berpulang, sudah tidak ada lagi. Secara pidana kan tidak mungkin menuntut orang yang sudah meninggal," imbuhnya. (*)

Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved