Tribun Kaltim Hari Ini

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tutut dan Titiek Minta Bapaknya Dimaafkan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Tribun Kaltim
Tribun Kaltim Hari Ini. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. 

TRIBUNKALTIM.CO - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Usulan itu disampaikan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, seiring dihapusnya nama Soeharto dalam Ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor 11 tahun 1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

"Rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, selaras dengan mendapatkan martabat kemanusiaan dengan peraturan perundangan," kata Bambang Soesatyo alias Bamsoet saat acara silaturahmi kebangsaan pimpinan MPR dengan keluarga Soeharto di di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9).

Bamsoet mengatakan pemberian anugerah pahlawan nasional untuk Soeharto itu juga demi menghargai jasa Presiden ke-2 RI itu dalam memimpin Indonesia selama 32 tahun.

Baca juga: Status Pernikahan Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto Ramai Disorot Lagi, Bakal Jadi Ibu Negara?

Baca juga: Titiek Soeharto Tersipu ketika Ditanya Soal Jadi Ibu Negara, Ini Status Pernikahannya dengan Prabowo

Di antaranya, Soeharto disebut mampu membawa Indonesia melewati masa sulit pada 1963.

Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia kontraksi minus 2,25 persen dan tiga tahun setelahnya atau 1966 inflasi melonjak hingga 635,3 persen.

Pada 1967, Indonesia tercatat sebagai negara miskin dengan catatan hutang sebesar 700 juta dolar US.

Menurut Bamsoet, Soeharto yang dibantu Soemitro Djojohadikusumo yang juga ayah Prabowo mampu membalikkan keadaan itu.

"Pada tahun 1969 atau setahun setelah menjabat Presiden, pertumbuhan ekonomi melonjak tajam menjadi 12 persen. Dan inflasi berhasil ditekan pada kisaran 9,9 persen," jelasnya.

Karena itu, Bamsoet menuturkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto juga untuk membangkitkan semangat rekonsiliasi di Indonesia.

"Karena pada hakikatnya dalam konsepsi kehidupan berbangsa-bernegara, setiap konsultasi tidak pernah dimaksudkan untuk menanam benih-benih konflik, melainkan upaya kita bersama untuk mencapai titik temu," ungkapnya.

"Mari kita bersama sebagai sebuah keluarga bangsa mengambil hikmah atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau, untuk kita jadikan pelajaran berharga bagi pembangunan karakter nasional bangsa Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang," sambungnya.

Ia pun berharap tidak ada lagi ada dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa.

Apalagi, mereka tidak pernah terlihat dalam peristiwa kelam masa lalu tersebut.

Baca juga: Momen Prabowo Nyanyikan Lagu Pertemuan di Hadapan Titiek Soeharto, Sang Mantan Istri Tersipu Malu

"Jangan ada lagi dendam sejarah yang diwariskan pada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu apalagi terlibat pada berbagai peristiwa
kelam di masa lalu," ujarnya.

MPR RI sebelumnya memutuskan menghapus nama Soeharto dalam di Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998 dengan alasan Presiden ke-2 RI itu sudah meninggal pada 27 Januari 2008.

Nama resmi Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 itu sebenarnya adalah: "Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)". Namun, Tap itu dikenal juga sebagai Tap tentang Soeharto karena Pasal 4 menyebut secara eksplisit nama penguasa Orde Baru yang diturunkan lewat people power pada 1998 itu.

"(Tap MPR) tidak dicabut. Jadi (nama Soeharto) dinyatakan tidak berlaku karena dianggap sudah dilaksanakan. Yang bersangkutan (Soeharto) sudah meninggal," kata Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9).

Muzani mengatakan, putusan dalam sidang MPR itu yang juga merupakan sidang MPR terakhir periode 2019-2024 itu bukan berarti mencabut Tap MPR tentang Soeharto itu. Tapi, Tap MPR itu kata dia sudah tidak berlaku lagi.

"Tidak (dicabut), tapi dinyatakan tidak berlaku. Diktum itu penting untuk pemulihan nama baik. Sebagaimana Bung Karno kan juga sama, Tap MPR tetap, tapi dinyatakan tidak berlaku," tambah politikus Gerindra ini.

Seiring dengan penghapusan nama Soeharto dalam Tap MPR itu, kemarin pimpinan MPR RI menyerahkan dokumen penghapusan nama Presiden ke-2 RI dalam Ketetapan MPR Nomor 11 tahun 1998 itu kepada keluarga Soeharto.

Dalam acara itu keluarga Soeharto diwakili oleh kedua putri Soeharto, yakni Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, dan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto.

"Kami pimpinan MPR akan menyerahkan sebuah dokumen kepada perwakilan keluarga besar mantan Presiden Soeharto sebagai bentuk pelaksanaan tugas konstitusional kami untuk merespons dan menindaklanjuti surat dari Fraksi Partai Golkar Nomor 2 Tahun 2024 yang diajukan kepada kami pimpinan MPR," kata Bamsoet.

Dalam dokumen itu, kata Bamsoet, ketetapan MPR yang menyebutkan secara eksplisit nama Soeharto dinyatakan sudah dilaksanakan tanpa mencabut Ketetapan MPR nomor 11 tahun 1998. Dengan begitu, ada kepastian hukum kepada Soeharto.

Baca juga: Tersipu, Begini Jawaban Singkat Titiek Soeharto Ditanya Kemungkinan Dampingi Prabowo jadi Ibu Negara

"Dalam prosesnya dari serangkaian fakta hukum yang mengemuka, pada akhirnya bermuara pada hadirnya kepastian hukum bagi mantan Presiden Soeharto," katanya.

Apalagi, Bamsoet mengungkapkan saat ini sudah adanya penerbitan surat ketetapan perintah penghentian penuntutan atau SKP3 pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung RI.

Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 140 Ayat 1 KUHP dan terbitnya Mahkamah Agung Nomor 140 PK/PDT.2015. Selain itu, Soeharto kini
juga sudah berpulang pada 27 Januari 2008.

"Jadi sudah dilaksanakan, dendam apalagi harus kita pertahankan. Kita adalah bukan bangsa pendendam," jelasnya.

"Dengan mempertimbangkan berbagai fakta hukum diatas maka kami bersepakat terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998, secara diri pribadi Bapak Haji Muhammad Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan," sambungnya.

Sedangkan dua putri Soeharto, Tutut dan Titiek mengapresiasi langkah MPR RI menghapus nama bapaknya mereka dalam Ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor 11 tahun 1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Tutut juga meminta maaf apabila ada kesalahan yang dilakukan Soeharto selama menjabat sebagai presiden.

"Semua itu terjadi karena kesadaran dan juga rasa menghargai kepada bapak yang selama ini telah memimpin bangsa dan negara ini
selama 32 tahun. Memang manusia tidak ada yang betul selalu ya, pasti ada salahnya. Kami juga mohon maaf kalau selama ini bapak ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan saat memimpin," ujar Tutut.

Ia pun mengklaim semua yang dilakukan Soeharto saat itu hanya demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

"Kami keluarga, bahwa setelah sekian tahun lamanya akhirnya ada yang menyadari dan mengatakan sesuatu yang benar, bahwa yang benar itu benar, yang salah itu salah dan persatuan itu lebih penting daripada dendam kesumat," kata Tutut.

Baca juga: Doa Rujuk Makin Kencang Usai Titiek Soeharto Terekam Main Bareng Kucing Kesayangan Prabowo

Senada dengan kakaknya, Titiek juga meminta bapaknya dimaafkan jika ada kesalahan selama 32 tahun berkuasa.

"Kami mewakili keluarga besar Pak Harto menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya dan setinggi-tingginya kepada pimpinan MPR dan seluruh anggota MPR yang telah secara bulat berkecepatan untuk mencabut nama Pak Harto mantan presiden RI kedua dari ketetapan MPR," kata Titiek dalam sambutannya.

Titiek mengakui Soeharto bukanlah manusia yang sempurna.

 Dia pun memahami jika ada sebagian masyarakat yang tidak puas dengan dengan kepemimpinan bapaknya tersebut.

"Tidak ada manusia yang sempurna. Pasti yang sempurna hanya Allah semata. Jadi pasti bapak dalam perjalanan beliau memimpin bangsa ini ada hal-hal yang tidak berkenan di hati masyarakat. Untuk itu kami maaf yang sebesar-besarnya," jelasnya.

Lebih lanjut, Politikus Gerindra itu pun meminta masyarakat tidak bisa melupakan begitu saja apa yang sudah dilakukan Soeharto dalam 32 tahun memimpin bangsa.

Ia pun mengungkit bahwa Soeharto diklaim mampu menurunkan inflasi yang mencapai ratusan persen saat kepemimpinannya menjadi Presiden RI.

Bahkan dalam beberapa tahun, inflasi itu terjaga menjadi satu digit saja. 

"Kemudian penghargaan-penghargaan yang diterima oleh beliau, oleh bangsa ini dari lembaga-lembaga internasional kita bisa dari negeri impor beras terbesar menjadi swasembada. Semua itu diakui oleh internasional. Untuk itu dan banyak lagi hal hal yang lainnya, mohon itu juga tidak dilupakan oleh para pimpinan pendiri bangsa dan juga masyarakat Indonesia," ungkapnya.

Titiek pun berharap kebijakan-kebijakan yang baik dalam era Soeharto juga dapat dilanjutkan oleh pemerintah.

Baca juga: Di Depan Pendemo, Adian Napitupulu Singgung Pemilu Bisa Diulang, Soeharto Dijatuhkan Usai Terpilih

Di antaranya, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), posyandu, posdaya, SD Inpres hingga pembangunan 999 masjid di seluruh Indonesia.

"Jadi untuk ke depan tidak perlu buang-buang waktu untuk untuk trial and error peraturan-peraturan atau bikin program baru. Yang lama saja kita contek, kita lihat dengan keinginannya kita perbaiki sesuai dengan apa yang diperlukan sekarang," ujarnya.

Hargai Pemimpin di Masa Lalu

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pencabutan nama Presiden ke-2 Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), merupakan keputusan yang sangat penting. 

Yusril menekankan pentingnya menghargai pemimpin di masa lalu.

"Memang ini suatu keputusan penting untuk bangsa dan negara kita. Sebab kita ini menghargai para pemimpin kita di masa lalu. Karena pemimpin itu harus kita tempatkan pada konteks zamannya. Kita tidak bisa menilai masa yang lalu dengan masa kini," ujarnya di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (27/9).

Yusril juga menjelaskan pimpinan MPR akan bersilaturahmi dengan keluarga Soeharto.

Ia mengaku diundang untuk menghadiri silaturahmi tersebut sebagai sosok yang pernah membantu Soeharto.

Namun, Yusril menyatakan permohonan maaf karena tidak dapat hadir.

"Karena saya ada kegiatan yang sudah dijadwalkan. Tapi saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan MPR," ungkapnya.

Baca juga: Sejarah 27 Maret: Hari Pelantikan Soeharto Sebagai Presiden Indonesia yang Kedua, 56 Tahun Silam

Menurut Yusril, keputusan ini membuka peluang bagi Presiden untuk memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

Ia juga menyarankan agar gelar serupa diberikan kepada Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang namanya juga dicabut dari TAP MPR.

"MPR itu hanya menyatakan bahwa TAP terkait dengan Gus Dur itu sudah selesai. TAP terkait dengan Pak Harto malah sudah dilaksanakan. Bahkan disebutkan secara tegas Pak Harto kan, dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, disebutkan itu mengambil suatu langkah hukum terhadap Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya itu yang disebut. Terhadap Pak Harto-nya sendiri itu sudah selesai," jelas Yusril.

"Dan saya merupakan saksi sejarah tentang hal itu. Karena pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, hakim-hakim itu masih di bawah saya pada waktu itu. Pak Harto tapi tidak bisa diadili. Dan ketika saya jadi Mensesneg saya bertemu Pak Harto di RS Pertamina pada waktu itu. Dan Pak Harto berbicara pribadi dengan saya, mengenai status beliau yang sampai saat itu masih terdakwa," sambungnya.

Usai mendengar curhatan Soeharto, Yusril pun mengambil langkah sebagai Mensesneg di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dia menyebut keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Soeharto juga sudah disetujui SBY.

"Pemerintah ambil keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Pak Harto karena beliau memang tidak bisa diadili," kata Yusril.

"Jadi sebenarnya TAP MPR itu sendiri memang betul sudah dilaksanakan. Apalagi beliau sudah berpulang, sudah tidak ada lagi. Secara pidana kan tidak mungkin menuntut orang yang sudah meninggal," imbuhnya. (*)

Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved