Berita Nasional Terkini
Viral Petisi Tolak PPN 12 Persen, Sudah Ditandatangani Lebih dari 80 Ribu Orang
Beredar viral petisi tolak PPN 12 persen yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto agar kenaikan pajak pertambahan nilai dibatalkan.
TRIBUNKALTIM.CO - Beredar viral petisi tolak PPN 12 persen yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto agar kenaikan pajak pertambahan nilai dibatalkan.
Sebagaimana diketahui, PPN 12 persen akan berlaku pada 1 Januari 2025.
Dikutip dari laman Change.org, petisi tersebut dibuat oleh akun Bareng Warga pada 19 November 2024.
Berdasarkan pengamatan Kompas.com, hingga Rabu (18/12/2024) pukul 23.00 WIB, petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" itu sudah ditandatangani 84.051 orang.
Baca juga: Tak Sebanding dengan UMP 2025, Daftar 5 Dampak Kenaikan PPN 12 Persen yang akan Dirasakan Masyarakat
Dalam alasannya, akun tersebut menyebut bahwa kenaikan PPN bakal semakin menyulitkan hidup masyarakat karena harga berbagai kebutuhan akan naik.
Padahal, keadaan ekonomi belum membaik sejak dihantam pandemi Covid-19.
Data Ekonomi yang Memburuk

Ditambah lagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, pengangguran terbuka masih sekitar 4,91 juta orang.
Dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor informal.
Masih berdasarkan data BPS, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mendekati rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Meskipun sempat naik pada 2022, tren ini kembali menurun pada 2023.
Berdasarkan perhitungan BPS tahun 2022, dibutuhkan uang sekitar Rp 14 juta setiap bulannya untuk hidup di Jakarta.
Namun, UMP Jakarta di tahun 2024 hanya Rp 5,06 juta. Oleh karena itu, kenaikan PPN dinilai bisa menambah beban masyarakat di tengah daya beli yang menurun sejak Mei 2024.
"Atas dasar itu, rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga.
Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana," demikian tertulis dalam petisi tersebut.
Kebijakan PPN dan Insentif
Sebagaimana diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kebijakan PPN 12 persen bukanlah keinginan pemerintah.
Menurut dia, pemerintah hanya mengikuti amanah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pada Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
"PPN tahun depan (2025) yang menentukan adalah undang-undang, dan undang-undang itu adalah hampir seluruh fraksi (DPR), kecuali PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Jadi yang menentukan bukan pemerintah," kata Airlangga di Pangkalan TNI AU (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada 17 Desember 2024.
Meski begitu, Pemerintah akan menyediakan berbagai paket insentif untuk menjaga daya beli masyarakat, seperti:
Bantuan pangan: 16 juta keluarga menerima 10 kg beras per bulan, dengan anggaran Rp 4,6 triliun.
Diskon tarif listrik 50 persen: Berlaku untuk pelanggan PLN dengan daya terpasang 2.200 VA atau lebih rendah, selama Januari-Februari 2025.
Diskon ini diberikan kepada 81,1 juta pelanggan, baik subsidi maupun non-subsidi.
Pembebasan tarif PPN 12 persen untuk kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, daging, telur ayam, dan ikan.
Selain itu, pemerintah mempertahankan tarif PPN 11 persen untuk tiga komoditas pokok penting, yakni minyakita, tepung terigu, dan gula industri, dengan kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), di mana pemerintah menanggung 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen tersebut.
Definisi Barang Kena PPN 12 Persen Tak Jelas, Ekonom: Kebutuhan Pokok yang Tadinya Dikecualikan, Bisa Kena PPN
Pemerintah telah mengumumkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Namun, hal ini justru menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan definisi barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN masih kabur.
Pasalnya, dalam pengenaan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025, terdapat perbedaan dengan kebijakan yang diterapkan selama ini.
Pemerintah memberikan PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1 persen untuk sejumlah barang seperti MinyaKita, tepung terigu, dan gula industri.
Namun, pemerintah juga mengenakan PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah.
"Jadi PPN ini awalnya kan untuk barang mewah. Terus direvisi lagi, sekarang justru barang-barang yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, tapi didefinisikan premium dan definisinya juga tidak jelas. Akhirnya, barang kebutuhan pokok yang tadinya dikecualikan bisa kena PPN 12 persen," ujarnya dalam Obrolan Newsroom Kompas.com, dikutip Kamis (19/12/2024).
Barang Kebutuhan Pokok Kena PPN
Bahkan, dari pernyataan pemerintah sebelumnya, barang-barang kebutuhan pokok yang sebelumnya dikecualikan dari pungutan PPN justru menjadi dikenakan tarif PPN 12 persen.
Misalnya, barang dan jasa yang masuk dalam kategori barang dan jasa mewah seperti beras premium.
Bhima menyoroti bahwa banyak masyarakat kelas menengah ke bawah juga mengonsumsi beras premium atau beras bermerek.
Hal serupa terjadi pada komoditas minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat luas. Meski produk minyak goreng MinyaKita diberikan fasilitas PPN DTP 1 persen, produk ini tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11 persen.
"Kemudian minyak goreng yang disebut premium itu apa? Jadi minyak goreng di luar dari subsidi MinyaKita. Ya masyarakat kelas menengah yang mengonsumsi minyak goreng bermerek itu kena PPN 12 persen, yang tadinya tidak kena PPN," ucap Bhima.
Layanan Kesehatan Premium
Jasa layanan kesehatan premium juga termasuk dalam kategori barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen.
Bhima menyoroti bahwa seluruh lapisan masyarakat berhak menggunakan layanan kesehatan premium jika dibutuhkan.
"Jasa kesehatan, pelayanan premium itu seperti apa? Misalnya, penyakit jantung. Orang miskin sekalipun, kalau alat untuk jantungnya mahal, itu disebut sebagai pelayanan kesehatan premium. Ini membingungkan, baik bagi rumah sakit maupun masyarakat," tambahnya.
Menurut Bhima, banyak jasa dan barang yang akhirnya membuat administrasi perpajakan menjadi lebih kompleks dan rumit.
Alternatif Pajak Barang Mewah
Bhima menyarankan agar pemerintah tidak menerapkan tarif PPN 12 persen pada barang mewah dengan definisi yang tidak jelas. Sebagai gantinya, pajak sebaiknya dipungut melalui Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
PPnBM dikenakan satu kali pada saat penyerahan barang ke produsen. Kategori barang yang kena PPnBM jelas, seperti barang yang bukan kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi, dan barang untuk menunjukkan status.
"Barang mewah kalau ingin diatur dengan asas keadilan pajak, jangan pakai PPN, pakai PPnBM. Karena instrumennya adalah pajak penjualan barang mewah. Jadi, kebijakannya kurang pas," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul:
"Definisi Barang Kena PPN 12 Persen Tak Jelas, Ekonom: Kebutuhan Pokok yang Tadinya Dikecualikan, Bisa Kena PPN..."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul:
"Muncul Petisi Desak Prabowo Batalkan PPN 12 Persen, Lebih dari 80.000 Orang Sudah Tanda Tangan"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.