Berita Nasional Terkini

PPN 12 Persen Tuai Protes, Dua Skenario Ini Bisa Batalkan PPN 12 Persen

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai tahun depan, menuai kritik publik. Apakah bisa dibatalkan?

Freepik
PPN 12 PERSEN - Ilustrasi. PPN 12 persen tuai protes, dua skenario ini bisa batalkan PPN 12 persen. 

TRIBUNKALTIM.CO - PPN 12 persen tuai protes, dua skenario ini bisa batalkan PPN 12 persen.

PPN 12 persen apakah bisa dibatalkan? 

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai tahun depan, menuai kritik publik.

Baca juga: Trending Transaksi QRIS Kena PPN 12 Persen, Cek Simulasi dan Penjelasan DJP soal Transaksi e-Wallet

Pemerintah beralasan, kenaikan PPN 12 persen ini merupakan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

"Sesuai dengan amanat UU HPP, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). 

Penolakan kenaikan PPN 12 persen pun menggema di kalangan masyarakat.

Bahkan, sebuah petisi yang berisi seruan pembatalan kenaikan ini telah ditandatangani lebih dari 170.000 orang.

Lantas, apakah kenaikan PPN 12 persen sebenarnya bisa dibatalkan?

Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP)

Berlandaskan UU HPP, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. 

Kendati demikian, UU tersebut juga mengatur pembatalan perubahan PPN melalui Peraturan Pemerintah.

Baca juga: BEM Seluruh Indonesia Ancam Demo Serentak untuk Tolak Kenaikan PPN 12 Persen Mulai 1 Januari 2025

Dalam Pasal 7 ayat (3), disebutkan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah menjadi 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Prosedur pembatalan tarif PPN 12 persen telah diatur dalam Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi:

"Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," tulis ayat tersebut. 

Dengan kata lain, PPN 12 persen bisa dibatalkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Presiden Prabowo Subianto setelah disampaikan ke DPR untuk disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Apalagi, penyusunan target penerimaan pajak tahun depan masih berdasarkan PPN 11 persen, seperti yang sudah ditetapkan dalam APBN 2025.

Massa aksi penolakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024).
Massa aksi penolakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024). (KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY)

Judicial review MK

Selain penerbitan Peraturan Pemerintah (PP), PPN 12 persen juga bisa dibatalkan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dosen hukum administrasi negara Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Ilahi mengatakan, judicial review bisa diajukan ke MK jika suatu aturan dinilai bertentangan dengan konstitusi.

"Kalau dibatalkan tentu ada mekanisme yang harus dilakukan dan yang bisa membatalkan secara hukum adalah MK kalu diuji ya, tapi persoalannya belum ada masuk obyeknya," kata Beni, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Sabtu (21/12/2024).

Baca juga: Daftar Barang Kena dan Bebas PPN 12 Persen, Berlaku Mulai 1 Januari 2025

Menurutnya, langkah paling rasional yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan evaluasi sebelum 2025 atau menunda penerapan PPN 12 persen.

Meski Presiden dan Menteri Keuangan telah menyampaikan bahwa kenaikan pajak ini hanya dikenakan untuk barang mewah, tetapi parameter barang mewah belum dijelaskan secara rinci dalam peraturan turunannya.

Ia menjelaskan, kenaikan pajak bisa berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, sehingga harus diukur secara tepat. 

"Dalam hukum pajak ada yang namanya taxation without representation is robbery. Pajak yang tidak diikuti dengan representasi, sama saja disebut sebuah kejahatan, apalagi bertentangan dengan kedaulatan rakyat," ujarnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved