Tahun Baru Imlek 2025

30 Ucapan Tahun Baru Imlek 2025 Singkat dan Unik, Cocok Jadi Caption di Media Sosial Instagram

Berikut ini 30 ucapan Tahun Baru Imlek 2025 yang singkat dan unik, cocok dijadikan caption di media sosial Instagram.

Penulis: Tribun Kaltim | Editor: Nisa Zakiyah
Tribunnews.com
TAHUN BARU IMLEK 2025 - Ilustrasi. Berikut ini 30 ucapan Tahun Baru Imlek 2025 yang singkat dan unik, cocok dijadikan caption di media sosial Instagram. 

Imlek juga disebut ‘chunjie’, yang artinya ‘Festival Musim Semi’.

Tahun ini hari pertama bulan pertama dari tahun yang baru pada sistem kalender Tionghoa jatuh pada 5 Februari 2019.

Merujuk pada sistem kalendar Tionghoa, tahun ini ialah tahun 2576. Shio yang menaungi tahun ini ialah ular kayu.

Bicara budaya etnis Tionghoa, boleh dikata hidup dan berkembang seirama dengan perkembangan politik di tanah air.

Tradisi merayakan Imlek saat ini adalah berkah gerakan reformasi 1998.

Di zaman Orde Baru, budaya Tionghoa tidak boleh hidup dan berkembang.

Perayaan Tahun Baru Imlek tidak boleh diperingati secara terbuka di ruang publik.

Secara historis tentu susah dipastikan sejak kapan perayaan Imlek telah dilakukan di Indonesia.

Namun ditengarai seiring migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara sejak permulaan Masehi, sejak itulah perayaan Imlek telah dilakukan.

Dugaan ini semata didasarkan pada bagaimana kukuhnya etnis Tionghoa menjaga tradisi nenek moyang mereka.

Sekalipun Denys Lombard mencatat sejak abad ke-3 Asia Tenggara telah ditulis dalam teks-teks China, catatan awal sejarah Nusantara barulah muncul di abad ke-5.

Fa Hsien (Faxian), seorang pendeta Budhis, sering berlayar dari China ke India dan India ke China.

Diceritakan pada 412, Fa Hsien berlayar dari Srilangka tetapi celakanya kapal yang dinaikinya diamuk badai.

Saat itu Fa Hsein harus mendarat di ‘Ye-Po-Ti’ atau ‘Yawadwi’, yang adalah nama Pulau Jawa dalam bahasa Sansekerta.

Pada fase-fase sejarah kemudian, sumber-sumber berita China juga sering mencatat nama Jawa dengan istilah ‘She-Po’.

Dalam karyanya Nusa Jawa: Silang Budaya Lombard memperlihatkan pentingnya pengaruh budaya Tionghoa ini.

Bukan saja bagi masyarakat Asia Tenggara tetapi juga masyarakat Jawa.

Besarnya pengaruh ini tak saja mewarnai pembentukan aspek kebudayaan, melainkan juga kehidupan sehari-hari.

Budaya China tidak saja telah mempengaruhi perkembangan teknik produksi dan budi daya berbagai komoditas seperti gula, padi, arak, tiram, udang, garam, dan lain-lain, juga membawa pengaruh besar pada perkembangan sistem kongsi, teknik kemaritiman, perdagangan, dan sistem moneter di Jawa.

Melihat besarnya pengaruh itu membuat Lombard tiba pada kesimpulan, bahwa laiknya pengaruh India terhadap kebudayaan Asia Tenggara, ia menyebut adanya kontinum budaya Tionghoa meresapi mentalitas orang Jawa.

Athony Reid dalam karyanya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 memberi catatan yang tak kalah menarik.

Kurun niaga saat itu, menurut Reid telah mengubah Asia Tenggara dan memungkinnya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia.

Ketika itu cengkih, pala, lada, dan kayu cendana, merupakan komoditas utama dalam perdagangan antarbenua.

Menariknya, sejak awal 1400-an, karena lonjakan permintaan rempah-rempah dari Maluku di Laut Tengah, membuat sangat banyak armada China dikirim ke Asia Tenggara.

Puncak perdagangan yang sangat menguntungkan itu berlangsung sekitar 1570-1630, dan setelah itu mulai terjadi penurunan hingga mencapai titik bawahnya di tahun 1680.

Diduga datangnya bangsa Barat yaitu Portugis di Malaka di tahun 1511, dan kemudian disambung oleh kemenangan militer dan ekonomi VOC (Belanda) di abad ke-17, serta munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tak menaruh minat pada perdagangan seperti Kerajaan Mataram-Islam di Jawa, misalnya, disebut oleh banyak sejarawan, termasuk oleh Reid, sebagai faktor utama penyebab kemunduran kurun niaga di Asia Tenggara.

Sumber lain patut disebutkan ialah hipotesa sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana.

Disertasinya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara itu membangun sebuah hipotesa, bahwa agama Islam secara historis dibawa masuk ke tanah Jawa oleh para ulama etnis Tionghoa.

Para ulama ini, yang di Jawa populer disebut “Wali Songo”, diyakini berasal dari Champa (Kaboja atau Vietnam).

Menurutnya, awalnya didahului oleh kedatangan Laksamana Cheng Ho, kemudian masuklah para pemuka agama ini membawa Islam aliran Hanafi.

Aliran ini kemudian nisbi tersebar luas di kota-kota yang di daerahnya bermukim masyarakat etnis Tionghoa Islam.

Sebutlah Sunan Bonang, misalnya, yang memiliki nama alias ‘Bong Ang’; Sunan Kalijaga, ‘Gan Si Cang’; Sunan Ngampel, ‘Bong Swi Hoo’; dan Sunan Gunung Jati, ‘Toh A Bo’.

Demikian juga Raden Patah, al Fatah, yang memiliki nama alias Jimbun (Cek Ko Po).

Sultan pertama kerajaan Islam yang pertama di Pulau Jawa ini ialah putera Raja Majapahit, yang menikah dengan puteri Campa, anak pedagang Tionghoa yang bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Tak salah jikalau mantan Presiden ke-4 BJ Habibie bahkan pernah mengatakan: “Hadiah terbesar bangsa Tionghoa kepada Indonesia adalah agama Islam".

Pernyataan ini dikatakan saat Habibie memberikan ceramah di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, pada Jumat 29 Agustus 2013. (*)

Ikuti berita populer lainnya di Google NewsChannel WA, dan Telegram.

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved