Berita Nasional Terkini

BPS Jelaskan soal Bank Dunia Sebut 60 Persen Warga RI Miskin, Ada Beda Penghitungan Data Kemiskinan

Bank Dunia sebut 60 persen warga RI miskin, BPS ungkap ada perbedaan penghitungan data kemiskinan.

Istimewa
DATA MISKIN INDONESIA - Logo BPS. Berikut penjelasan BPS soal Bank Dunia sebut 60 persen wagrga RI miskin (Istimewa) 

TRIBUNKALTIM.CO - Bank Dunia sebut 60 persen warga RI miskin, BPS ungkap ada perbedaan penghitungan data kemiskinan.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menilai standar kemiskinan Indonesia berdasarkan laporan Bank Dunia hanya sebagai rujukan saja. 

Menurut dia, laporan Bank Dunia itu bukan suatu keharusan untuk diterapkan di Indonesia.

"Mari kita lebih bijak untuk memaknai dan memahami angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, karena itu bukanlah suatu keharusan kita menerapkan, tetapi memang itu hanya sebagai referensi saja," kata Amalia di Kompleks Istana, Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Baca juga: Data BPS Penduduk Balikpapan Capai 1 Juta Jiwa, Disdukcapil Fokus Data Warga Non Permanen

Adapun Bank Dunia mencatat ada 60,3 persen warga Indonesia yang masuk kategori miskin.

Amalia menjelaskan, standar yang dilakukan Bank Dunia adalah dengan standar upper middle class.

DATA MISKIN INDONESIA - Logo BPS. Berikut penjelasan BPS soal Bank Dunia sebut 60 persen wagrga RI miskin (Istimewa)
DATA MISKIN INDONESIA - Logo BPS. Berikut penjelasan BPS soal Bank Dunia sebut 60 persen wagrga RI miskin (Istimewa) (Istimewa)

Kedua, Bank Dunia sendiri juga menyampaikan global poverty line yang ditetapkan tidak harus diterapkan oleh masing-masing negara.

Sebab, masing-masing negara harus bisa memiliki national poverty line atau garis kemiskinan di negaranya masing-masing sesuai dengan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut.

"Sehingga dengan demikian, apabila Bapak Ibu perhatikan lebih detail, selain poverty line atau garis kemiskinan standar Bank Dunia, banyak negara yang memiliki garis kemiskinan di masing-masing wilayahnya yang dihitung sendiri berdasarkan keunikan dan standar hidupnya," ujarnya.

Selain itu, Amalia juga menjelaskan garis kemiskinan di Indonesia berbeda-beda tiap provinsi.

"Sehingga, waktu kita menghitung angka kemiskinan, basisnya bukan national poverty line, tetapi angka kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian kita agregasikan menjadi angka nasional," jelasnya.

Sebelumnya, Bank Dunia mengungkapkan, lebih dari separuh penduduk Indonesia masih tergolong miskin jika dihitung menggunakan standar negara berpendapatan menengah ke atas.

Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia mencatat bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 hidup dengan pengeluaran kurang dari 6,85 dollar AS per kapita per hari dalam Purchasing Power Parity (PPP) 2017.

Untuk diketahui, Bank Dunia menetapkan ambang batas kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas dengan pengeluaran sebesar 6,85 dollar AS per kapita per hari.

Adapun kurs yang digunakan Bank Dunia adalah kurs PPP (Purchasing Power Parity) tahun 2017, yang berarti sekitar Rp 41.052 dengan asumsi Rp 5.993,03 per dollar AS.

Baca juga: BPS Sebut Inflasi Tahunan di Kaltim 1,47 Persen, Dipengaruhi Harga Komoditas Pokok yang Naik 

Beda Penghitungan Data Kemiskinan Bank Dunia dan BPS

Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa pada 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.

Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Unit Kerja Kepala Statistik Bidang Media dan Komunikasi (UKK) Media BPS Eko Rahmadian menuturkan, perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

"Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, tetapi penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (2/5/2025).

Ia menjelaskan, Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem yaitu 2,15 dollar AS per kapita per hari, 3,65 dollar AS per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan 6,85 dollar AS per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam Dollar AS PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara.

Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. Dollar AS 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp 5.993,03.

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar 6,85 dollar AS PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.

Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

Walaupun Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar 4.870 dollar AS pada 2023, tetapi perlu diperhatikan bawah posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara 4.516-14.005 dollar AS.

Dengan demikan, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi.

Eko menuturkan, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN).

Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia.

Sedangkan, komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat.

Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga.

Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.

Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan.

Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp 2.803.590 per bulan.

Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda.

Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp 4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp 3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp 2.821.375.

Menurut Eko, perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.

"Perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan," ujar dia.

Secara mikro, ia menjelaskan, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang.

Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp 846.085 per bulan.

Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota seperti ayah, ibu, dan tiga balita maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

Pasalnya, konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga.

Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp 4.230.425 per bulan.

Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.

Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji Rp 20.000 per hari bukan orang miskin.

Terakhir, Eko menambahkan, perlu dipahami pula bahwa penduduk yang berada di atas garis kemiskinan (GK) belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya.

Di atas kelompok miskin, terdapat kelompok rentan miskin (1,0-1,5 x GK), kelompok menuju kelas menengah (1,5-3,5 GK), kelas menengah (3,5-17 x GK), dan kelas atas (17 x GK).

Kondisi September 2024, persentase kelompok miskin adalah 8,57 persen (24,06 juta jiwa), kelompok rentan miskin adalah 24,42 persen (68,51 juta jiwa), kelompok menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Beda Penghitungan Data Kemiskinan Bank Dunia dan BPS, Simak Penjelasannya"

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bank Dunia Sebut 60 Persen Warga Indonesia Tergolong Miskin, BPS: Hanya Referensi Saja"

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved