Berita Nasional Terkini

4 Kritik pada Fadli Zon Usai sebut tak Ada Perkosaan Massal 1998, Bambang Pacul: Jangan Sok Benar

Daftar 4 kritik pada Fadli Zon usai sebut tak ada perkosaan massal Mei 98. Bambang Pacul mengatakan, "Jangan sok benar."

Editor: Amalia Husnul A
KOMPAS.com/MELVINA TIONARDUS
FADLI ZON DIKRITIK - Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon diwawancarai usai diskusi publik Sastra Mendunia di Gedung Kementerian Kebudayaan, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/6/2025). Daftar 4 kritik pada Fadli Zon usai sebut tak ada perkosaan massal Mei 98. Bambang Pacul mengatakan, "Jangan sok benar." (KOMPAS.com/MELVINA TIONARDUS) 

TRIBUNKAlTIM.CO - Usai pernyataannya yang menyebut tidak ada perkosaan massal Mei 1998, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kritikan.

Sejumlah tokoh dan lembaga swadaya masyarakat menyampaikan kritiknya atas pernyataan Menbud Fadli Zon yang mengatakan tidak ada perkosaan massal Mei 98 di salah satu televisi swasta.

Salah satu kritik pada Fadli Zon yang menyebut perkosaan massal Mei 98 datang dari Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, Wakil Ketua MPR yang mengatakan jangan sok benar.

Selain kritikan yang dilayangkan pada Fadli Zon, banyak pihak juga menuntut permintaan maaf Menteri Kebudayaan lantaran menyebut perkosaan massal Mei 98 hanya rumor.

Baca juga: Respons Fadli Zon Usai Dikecam Soal Kasus Pemerkosaan 1998, Jangan Sampai Permalukan Nama Bangsa

Berikut ini daftar kritik pada Fadli Zon buntut pernyataannya tak ada pemerkosaan massal Mei 98:

Bambang Pacul: Jangan Sok Benar

Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua DPP PDI-P Bambang Wuryanto meminta Menteri Kebudayaan Fadli Zon tidak merasa benar sendiri, usai menyebut tidak ada bukti peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.

Pria yang akrab disapa Bambang Pacul menilai pernyataan Fadli Zon sarat subjektivitas.

Sebab, dalam menuliskan ataupun menafsirkan sejarah tidak akan terlepas dari sudut pandang pribadi.

“Subjektivitas akan mempengaruhi. Ini yang disadari. Jangan kemudian sok bener-beneran, enggak bisa, ya. Begitulah logika dunia wilayah timur, dunia wilayah timur, ada rasa...

Artinya soal rasa sangat amat penting di wilayah dunia timur. Jadi jangan sok bener sendiri, oke,” kata Pacul dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/6/2025). 

"Soal penulisan sejarah ini, kan subjektivitas pasti ikut campur. 100 persen ikut campur subjektivitas, kan begitu.

Jadi siapapun yang akan menulis pasti akan ada pro kontranya," imbuhnya. 

Bambang Pacul pun mengingatkan agar siapa pun tidak merasa paling benar dalam melihat sejarah.

Terlebih, dalam konteks budaya masyarakat Indonesia yang masih sangat mengedepankan perasaan atau rasa.

Bambang pun berpandangan bahwa pernyataan Fadli layak dibandingkan dengan fakta yang pernah diungkap secara resmi, termasuk lewat pernyataan Presiden RI saat itu, yakni BJ Habibie.

“Kalau terkait dengan, mohon maaf, terkait dengan tidak ada pemerkosaan, ya silakan dibaca Pak Habibie.

Waktu itu Presiden Habibie, de jure Presiden, statement-nya apa? Ya silakan dibaca, saya enggak mau kontradiksikan lah sampean baca, itu Presiden de jure, kan begitu,” tutur Bambang. 

“Bahwa subjektivitas Pak Fadli Zon mau mengambil cara yang berbeda, ya dipersilahkan. Nanti kan ditabrakkan dengan ayat, fakta. Kita kan susah hari ini kalau hanya ngotot-ngototan tok, kan gitu loh,” sambungnya.

Meski begitu, Bambang menekankan bahwa polemik perbedaan pandangan terkait sejarah tidak bisa diselesaikan dengan “ngotot-ngototan” semata.

Pasalnya, setiap penulisan sejarah ataupun tafsirnya tak bisa lepas dari sudut pandang pribadi satu sama lain.

“Kalau ngotot-ngototan ya kita bikin sejarah kita sendiri dengan fakta yang kita punya sendiri. Just as simple as that. Woooo iya toh... simpel-simpel saja,” ucapnya.

Koalisi Perempuan Indonesia: Luka Batin Belum Sembuh

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menegaskan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan pada tragedi kerusuhan 1998 bukanlah kejadian fiksi.

"Jadi tragedi Mei ini bukan fiksi ya, atau apalagi diabsurdkan dengan bahwa tidak ada data yang signifikan atau yang lain ya," kata Mike pada konferensi pers daring, Jumat (13/6/2025).

Mike mengatakan korban dapat mengalami luka ganda akibat dari kejadian ini.

Menurutnya, luka tersebut tidak hanya secara fisik, juga secara batin dan belum sembuh.

"Bagaimana korban ini ya. Bagaimana sebenarnya mereka mungkin akan mengalami berlipat ganda luka ya, bukan cuma luka di fisik, di batin, tetapi luka yang mungkin belum sembuh tetapi karena momentum ini juga pastinya punya dampak," katanya.

Dirinya mempertanyakan motif pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya tragedi 1998.

Tragedi 1998, menurut Mike, memberikan memori kolektif yang sangat dalam bagi para korban dan publik.

"Apa sih sebenarnya yang apa ya, pernyataan Fadli Zon ini ya. Apa ini? Ini kita sedang mengarah kepada momentum apa.

Padahal kita tahu betul bagaimana tragedi Mei dan bagaimana ini punya dampak juga untuk bukan hanya mungkin korban menjadi terdampak langsung, tapi kita punya memori kolektif yang itu dimiliki oleh siapa saja," jelasnya.

Selain itu, Mike menegaskan bahwa dunia internasional juga melihat tragedi 98 ini bukan hanya sekadar tragedi biasa.

"Tetapi ini bentuk atau tonggak pelanggaran HAM yang direkognisi oleh banyak pihak termasuk dunia internasional, dan bagaimana sebenarnya proses-proses itu juga komitmen pemulihannya atau rehabilitasinya atau bagaimana sebenarnya negara ini harus berbesar hati ya mengakui itu dan meminta maaf," ujarnya.

Amnesty Internasional Indonesia: Kekeliruan Fatal

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan pernyataan Fadli Zon tersebut adalah kekeliruan yang fatal.

"Seperti kita tahu Menteri Kebudayaan menyatakan bahwa perkosaan selama kerusuhan Mei 1998 adalah rumor.

Nah Pernyataan ini mengandung kekeliruan yang fatal," ujar Usman pada konferensi pers daring, Jumat (13/6/2025).

Rumor, kata Usman, mengandung arti bahwa cerita atau laporan yang beredar di masyarakat yang kebenarannya tidak pasti.

Dirinya menegaskan bahwa tragedi pemerkosaan saat kerusuhan tahun 1998 bukanlah rumor.

"Saya kira itu bukan rumor dan kenapa bukan rumor? Pertama, karena ada otoritasnya jadi kalau definisi rumor itu adalah semacam cerita atau laporan yang beredar luas di dalam masyarakat tanpa ada otoritas yang mengetahui kebenarannya secara faktual, ada otoritasnya," kata Usman.

Padahal, menurut Usman, peristiwa pemerkosaan massal dan kekerasan seksual terhadap perempuan di masa-masa kerusuhan Mei telah diputuskan secara bersama oleh Menteri Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung.

"Jadi ada otoritas yang mengetahui kebenaran peristiwa itu dengan demikian, pernyataan Menteri Kebudayaan kehilangan kredibilitasnya," ucapnya.

Selain itu, menurut Usman, seharusnya Pemerintah membentuk pengadilan hak asasi manusia atau pengadilan apapun untuk memeriksa keseluruhan laporan dan bukti-bukti yang terkait dengan perkosaan massal.  

"Kalau Menteri Keberdayaan tidak merujuk pada otoritas yang resmi maka pernyataan itu sama dengan pernyataan yang kosong.

Itu sama seperti Menteri Koordinator Bidang Hukum Hak Asasi Manusia Lembaga Pemasyarakatan dan Imigrasi, Yusril Ihsan Mahendra yang pada hari pertama, setelah dilantik dalam kabinet pemerintahan sekarang menyangkal bahwa tragedi 98 adalah pelanggaran HAM berat tragedi 98," katanya.

Pemerintah, kata Usman, seharusnya merujuk pada otoritas yang mengetahui kebenarannya, yakni Komnas HAM dan menteri-menteri yang telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.

Menurut Usman, mereka merupakan otoritas karena mereka diberikan tugas resmi oleh undang-undang dalam penyelidikan Komnas HAM terkait dengan kerusuhan Mei.

"Jelas hanya Komnas HAM yang berwenang untuk melakukan penyelidikan atas sebuah peristiwa yang sifat dan lingkupnya dapat disebut sebagai pelanggaran HAM berat atau bukan. Jadi saya kira pernyataan Menteri Kebudayaan kehilangan kredibilitasnya," katanya.

Komnas HAM: Tidak Tepat

Ketua Komnas HAM RI Anis Hidayah mengatakan pernyataan Fadli tersebut tidaklah tepat, karena kata dia, pemerintah telah mengakui Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat.

"Pernyataan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, yang menyatakan tidak ada perkosaan dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 tidak tepat karena Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 telah diakui oleh Pemerintah dan sebagian korban dan keluarga korban telah mendapatkan layanan," kata Anis saat dikonfirmasi pada Senin (16/6/2025).

Anis mencatat pada Maret 2003 Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998. 

Tim Ad Hoc, kata dia, bekerja berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Tim Ad Hoc, selanjutnya telah menyelesaikan penyelidikan pada September 2003. 

Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Peristiwa Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998 dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

"Bentuk-bentuk tindakan dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam Peristiwa Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998 yaitu pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, dan persekusi," kata Anis.

Kemudian, pada 19 September 2003, Komnas HAM melalui Surat Nomor: 197/TUA/IX/2003 telah menyerahkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998 kepada Jaksa Agung selaku Penyidik.

Pada 2022, lanjut dia, pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM). 

Lalu, pada 11 Januari 2023 setelah menerima Laporan Akhir Tim PPHAM, Presiden Joko Widodo mengakui Peristiwa Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998 dan 11 peristiwa lainnya sebagai pelanggaran HAM yang berat. 

Kemudian, pada 15 Maret 2023 Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat 

"Selanjutnya pada 11 Desember 2023 keluarga korban Peristiwa Kerusuhan  13-15 Mei 1998 mendapatkan layanan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," katanya.

Sebelumnya, saat siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon menjawab pertanyaan mengapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut.

Fadli menyatakan hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan belum memiliki dasar bukti kuat.

“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya.

Fadli mempertanyakan klaim tentang adanya rudapaksa massal dalam peristiwa tersebut.

Politikus Partai Gerindra itu menyebut sampai saat ini tidak ada bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis.

“Nah, ada rudapaksa massa betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan.

Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucapnya.

Baca juga: Fadli Zon Dikecam karena Sebut tak Ada Perkosaan Massal 1998, Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban

(*)

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram

Artikel ini telah tayang di kompas.com, Tribunnews.com dengan judul Fadli Zon Panen Kritik Soal Ucapan Pemerkosaan Massal Mei 1998, Koalisi Perempuan: Ini Bukan Fiksi! dan Komnas HAM: Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan di Kerusuhan 1998 Tak Tepat, Pemerintah Sudah Akui.
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved