Berita Nasional Terkini
Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Imbas Putusan MK, Pimpinan Baleg DPR: Idealnya Seperti 2004
Pemilu nasional dan daerah dipisah sesuai putusan MK, pimpinan Baleg DPR ingin Pilpres dan Pileg juga dipisah seperti 2004.
TRIBUNKALTIM.CO - Pemilu nasional dan daerah dipisah sesuai putusan MK, pimpinan Baleg DPR ingin Pilpres dan Pileg juga dipisah seperti 2004.
MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agar pemilu nasional dan daerah dipisah.
Baca juga: Masa Jabatan DPRD Disebut Harus Diperpanjang Imbas Putusan MK, Rizqinizamy: Itu Satu-satunya Cara
"Saya dalam posisi secara pribadi mendukung putusan MK itu, bahkan sebenarnya, kalau bicara tentang keserentakan, lebih ideal lagi juga kalau pilpres dan pilegnya dipisah. Kalau saya, seperti 2004," kata Doli dalam acara diskusi Politics & Colleagues Breakfast di Sekretariat PCB, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
Menurutnya, pemilu serentak dapat memperkuat praktik pragmatisme. Selain itu, dia menilai skema pemilu serentak dapat membuat isu-isu daerah menjadi tenggelam.
"Jadi kampanye yang dilakukan kepala daerah ya berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dalam 5 tahun ke depan, menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat. Bahayanya, dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme pemilu," kata Doli.
"Jadi, secara tidak langsung, model keserentakan yang seperti ini, kalau ditelusuri, itu bisa memperdalam praktik pragmatisme di tengah masyarakat dalam secara politik," imbuhnya.
Legislator Golkar itu berpandangan, dengan putusan MK tersebut, pembentuk UU harus segera melakukan revisi UU Pemilu, Pilkada, bahkan Partai Politik. Dia pun mendorong revisi tersebut dilakukan dengan metode omnibus law.
"Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah, merevisi UU ini secara omnibus law. Semuanya. Jadi pelan-pelan putusan MK yang dicicil-cicil ini, ya kan. Ini mendorong pada akhirnya berkonsekuensi dengan pembahasan UU yang bermetodologi omnibus law. Makanya, menurut saya, ini harus menjadi perhatian kita semua dan harus memang diubah," tuturnya.
Doli khawatir MK seolah akan menjadi pembentuk UU ketiga dengan menjatuhkan putusan yang semakin progresif.
Dia menilai hal itu dapat terjadi jika pembentuk UU tak kunjung merespons putusan MK terkait sistem pemilu.
Baca juga: Masa Jabatan DPRD Disebut Harus Diperpanjang Imbas Putusan MK, Rizqinizamy: Itu Satu-satunya Cara
"Jadi kenapa putusannya bertambah progresif oleh Mahkamah Konstitusi? Karena pembentuk UU tidak merespons putusan mereka," kata Doli.
"Jadi kekhawatiran saya selama ini saya mengatakan bahwa MK seakan sebagai pembentuk UU ketiga, ya semakin kuat. Padahal UUD 1945 kita mengatakan pembentuk UU cuma dua, pemerintah dan DPR. Nah, jadi ini yang saya kira menjadi catatan," imbuhnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.