Berita Ekbis Terkini

Ekonom Soroti Data BPS Pertumbuhan Ekonomi 5.12 Persen, Pemerintah Bantah Intervensi

Sejumlah ekonom menyoroti data BPS yang menyebut pertumbuhan ekonomi 5,12 persen di triwulan kedua. Pemerintah bantah intervensi

Editor: Amalia Husnul A
Grafis dengan AI Copilot
DATA BPS DISOROT - Ilustrasi. Sejumlah ekonom menyoroti data BPS yang menyebut pertumbuhan ekonomi 5,12 persen di triwulan kedua. Pemerintah bantah intervensi. (Grafis dengan AI Copilot) 

"Konsensus yang solid ini menunjukkan bahwa para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang tampaknya diabaikan oleh angka tunggal BPS," kata Achmad kepada Tribunnews, Rabu (6/8/2025).

Menurutnya, narasi resmi BPS yang coba dibangun bahwa sebuah "tsunami fiskal" dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal, terdengar simplistis dan tidak memadai. 

Ia menyebut, atas hal itu muncul pertanyaan fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah, benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor?

"Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat. Kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan," paparnya.

Dugaan Ada Intervensi Istana

Achmad menyampaikan, keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus dibedah dengan nalar kritis.

Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja. 

"Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan?," ucapnya.

Menurutnya, ekonomi telah bertransformasi secara drastis. Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional? 

Bisa jadi, Achmad menyebut, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren. 

Ia mungkin memberikan bobot yang berlebihan (over-represent) pada sektor-sektor yang datanya mudah didapat dari laporan administratif pemerintah, seperti konstruksi proyek negara dan belanja aparatur. 

Sebaliknya, ia secara signifikan meremehkan (under-represent) dinamika sektor swasta, UMKM, dan sektor informal yang justru sedang berjuang paling keras. 

Jika ini masalahnya, maka angka 5,12?alah produk dari sebuah sistem pengukuran yang usang atau cacat, yang menghasilkan potret ekonomi yang terdistorsi, indah di permukaan namun keropos di dalam.

Opsi kedua, Achmad menyampaikan, yang lebih suram dan menakutkan adalah adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja. 

"Ini adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa lagi dikesampingkan dalam iklim politik yang penuh tekanan, di mana angka menjadi segalanya," tutur Achmad.

Ia melihat, angka pertumbuhan ekonomi bukan lagi sekadar statistik, ia adalah rapor politik, komoditas pencitraan, dan justifikasi kebijakan. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved