Berita Bontang Terkini
Terasi Bontang Warisan Orangtua, Penopang Hidup Haji Niong hingga Ujung Senja
Terasi Bontang warisan orangtua, kisah Haji Niong menopang hidup hingga ujung senja.
Penulis: Muhammad Ridwan | Editor: Rita Noor Shobah
“Anak ada 4, satu meninggal. Yang tinggal sama saya anak perempuan, janda. Bantu-bantu juga kalau saya bikin terasi,” katanya.
Baca juga: Dari Tambang ke Angkringan, Kisah Perjuangan Merry Bangun UMKM Sukses di Taman Bersemi Sangatta
Dari Bikin Terasi ke Tanah Suci
Haji Niong pernah mereguk sukses dari membuat dan menjual terasi.
Terasi bukan hanya menghidupi Haji Niong, tapi juga pernah membawanya ke tanah suci.
Pada tahun 1994, dari hasil menjemur dan menumbuk udang, ia berhasil mengumpulkan Rp 7 juta—biaya naik haji kala itu.
Setiap rupiah dikumpulkan dengan sabar, setiap ekor udang yang diolah menjadi saksi ketekunan seorang perempuan yang tak menyerah pada keadaan.
Bertahan di Tengah Sulitnya Bahan Baku
Selain kesuksesan, pekerjaan Haji Niong ini juga bukan tanpa kendala.
Mendapatkan bahan baku udang kini tak semudah dulu.
Ia harus mendatangkannya dari nelayan di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim.
Sistemnya pun masih konvensional: Berutang dulu, bayar belakangan.
“Bon dulu. Biasa ngambil setengah pikul (50 kilogram) bayar separuh. Sisanya nanti, kalau sudah ada hasilnya,” ungkapnya.
Haji Niong menjual terasinya dengan harga bervariasi.
Terasi bubuk dijual Rp 15 ribu per cup, terasi kering ukuran kecil Rp 5 ribu, dan ukuran besar Rp 20 ribu per bungkus.
Dari situ, ia membagi penghasilan untuk membayar penumbuk, membeli bahan, dan menyisakan sedikit untuk kebutuhan harian.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.