Berita Kaltim Terkini

Jerat Dilematis Royalti Musik, Praktisi Hukum Samarinda: Tidak Jelas dan Tidak Adil

Praktisi Hukum Samarinda sebut kebijakan royalti musik jerat dilematis yang merugikan pemilik hak cipta dan layanan publik.

HO/PRIBADI
DILEMA ROYALTI MUSIK - Praktisi Hukum Samarinda, Jumintar Napitupulu memberikan pendapatnya terkait pengenaan royalti kepada setiap pihak yang menggunakan musik atau lagu secara komersial. (HO/PRIBADI) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA – Praktisi Hukum Samarinda, Jumintar Napitupulu, menilai kebijakan pengenaan royalti musik kepada setiap pihak yang menggunakan musik atau lagu secara komersial sebagai jerat dilematis, baik bagi pemilik hak cipta maupun layanan publik yang menjadi target pembayaran.

Ia menjelaskan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 Pasal 3 ayat (2) huruf A–N mencantumkan sedikitnya 27 jenis layanan publik berbasis komersial yang wajib membayar royalti musik, dengan pengecualian hanya untuk rumah sakit.

“Secara hukum itu sudah diatur dan kita masyarakat tentunya dipaksa tunduk pada aturan itu, karena sudah lumrah sifat dari hukum itu sendiri yakni memaksa. Secara hukum menurut saya penarikan royalti musik kepada semua layanan publik yang bersifat komersial sebenarnya tidak tepat, tidak jelas dan tentunya tidak adil,” ujarnya kepada Tribunkaltim.co, Rabu (13/8/2025).

Baca juga: Pemilik Kafe hingga Pemain Musik Lokal di Samarinda Keluhkan Kebijakan Royalti Musik

Soroti Ketidakjelasan Aturan

Jumintar mempertanyakan definisi yang dikenakan royalti musik, apakah karena menggunakan lagu atau musik itu sendiri, atau karena memanfaatkan musik secara komersial. 

Menurutnya, hal ini perlu diperjelas.

“Dalam peraturan pemerintah tersebut, yang ditekankan pengenaan royalti kepada layanan publik berbasis komersil. Sedangkan kita ketahui sangat banyak layanan publik berbasis komersil menggunakan lagu bukan untuk menarik customer melainkan hanya peramai suasana saja, dengan begitu sisi pengkomersilan musik atau lagu kan tidak ada,” bebernya.

Ia juga menyoroti ketidakadilan penerapan royalti musik.

Misalnya, pekerja seni di pentas hiburan rakyat atau musisi yang tampil di rumah makan hanya mendapat upah Rp300–400 ribu sekali manggung, namun tetap terkena kewajiban royalti musik layaknya musisi konser besar.

Baca juga: Ahmad Dhani dan Tompi Soroti Polemik Royalti Musik, Beri Kritik Tajam hingga Cabut dari WAMI

“Pada dasarnya mereka menggunakan musik atau lagu lewat alat elektronik atau dengan memakai jasa musisi kelas rakyat, artinya sangat tidak adil karena yang akan terjadi banyak insan seniman kecil kehilangan mata pencaharian dikarenakan aturan hukum yang sifatnya memaksa itu tadi,” ungkapnya.

Menurutnya, jika tempat usaha yang mempekerjakan musisi lokal juga dikenakan royalti musik, dikhawatirkan pengusaha akan memilih untuk tidak lagi mempekerjakan musisi demi menghindari pungutan tersebut.

Dampak ke Pemilik Hak Cipta

Jumintar mengingatkan, kewajiban royalti musik yang terlalu luas justru bisa merugikan pemilik hak cipta.

Sebab, jika masyarakat takut memutar musik di ruang publik, popularitas dan distribusi karya akan menurun.

Baca juga: LMKN Tegaskan Semua Audio Kafe dan Resto Wajib Bayar Royalti, Termasuk Suara Alam dan Burung

“Kalau masyarakat sudah takut dan tidak mau memutar musik mereka di semua layanan publik, hal ini sama saja menutup ruang popularitas dan ketersebaran lagu atau musik mereka,” jelasnya.

Ia menegaskan perlunya kajian mendalam terhadap PP 56 Tahun 2021 dengan melibatkan pihak-pihak terkait.

Jika perlu, aturan tersebut direvisi, diperbaharui, dan diperjelas.

“Maka dari itu, secara hukum saya berpandangan perlunya pengkajian mendalam atas PP 56 tahun 2021 itu sendiri dengan mendudukan sejumlah pihak-pihak penting terkait, jika perlu aturan itu harus diubah dan diperbaharui serta diperjelas,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved