Berita Kaltim Terkini

Polemik Royalti Musik, Praktisi Hukum Samarinda: tak Adil, Singgung Nasib Penyanyi di Acara Rakyat

Soroti polemik royalti musik, Praktisi Hukum Samarinda sebut tidak adil. Ia menyinggung nasib penyanyi di acara rakyat.

HO/PRIBADI
POLEMIK ROYALTI MUSIK - Jumintar Napitupulu. Praktisi Hukum Samarinda ini memberikan pendapatnya terkait pengenaan royalti kepada setiap pihak yang menggunakan musik atau lagu secara komersial. Ia menyinggung nasib penyanyi di pentas rakyat. (HO/PRIBADI) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Praktisi Hukum Samarinda, Jumintar Napitupulu memberikan pendapatnya terkait pengenaan royalti kepada setiap pihak yang menggunakan musik atau lagu secara komersial.

Hal ini dinilainya merupakan sebuah jerat dilematis, baik untuk pemilik hak cipta maupun bagi layanan publik yang ditarget untuk membayar royalti. 

Persoalan royalti musik tengah memanas di Indonesia, salah satunya terkait kebijakan pemilik usaha seperti kafe dan restoran yang diwajibkan membayar royalti jika memutar lagu secara publik.

Pemerintah telah membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) adalah lembaga bantu pemerintah non-APBN yang bertugas mengelola royalti musik di Indonesia.

Baca juga: PHRI Kaltim Bongkar Masalah di Balik Aturan Royalti Musik, dari Tarif hingga Transparansi

Dilansir dari laman resminya, LMKN Dibentuk berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

LMKN berfungsi sebagai sistem satu pintu (one-stop service) untuk penarikan dan distribusi royalti dari penggunaan lagu dan musik secara komersial

Menurut Jumintar Napitupulu, semua layanan publik berbasis komersial sepertinya ditarget untuk membayar royalti sebagaimana diatur pada pasal 3 ayat (2) huruf (A s/d N) dalam PP 56 Tahun 2021 yang mana terdapat setidaknya terdapat 27 layanan publik komersial yang dicantumkan. 

Artinya tidak ada satu objek pun yang luput dari target penarikan royalti atas penggunaan musik atau lagu, semua objek kecuali rumah sakit. 

“Secara hukum itu sudah diatur dan kita masyarakat tentunya dipaksa tunduk pada aturan itu, karena sudah lumrah sifat dari hukum itu itu sendiri yakni memaksa.

Secara hukum menurut saya penarikan royalti kepada semua layanan publik yang bersifat komersial sebenarnya tidak tepat, tidak jelas dan tentunya tidak adil,” ujarnya kepada Tribun Kaltim, Rabu (13/8/2025).

Sisi tidak jelasnya, lanjut Jumintar, pengenaan royalti kepada pelayanan publik bersifat komersilnya.

Ia mempertanyakan, yang dikenakan karena menggunakan lagu atau musik? 

Apa sebaliknya? menggunakan musik atau lagu yang dimanfaatkan secara komersial?

Hal ini menurutnya mesti harus diperjelas.

“Dalam peraturan pemerintah tersebut, yang ditekankan pengenaan royalti kepada layanan publik berbasis komersil, sedangkan kita ketahui sangat banyak layanan publik berbasis komersil menggunakan lagu bukan untuk menarik customer melainkan hanya peramai suasana saja, dengan begitu sisi pengkomersilan musik atau lagu kan tidak ada,” bebernya

Kemudian ia menerangkan sisi ketidakadilan dalam penarikan royalti musik.

Sisi tidak adilnya, kata Jumintar, seperti yang ramai pada pemberitaan di mana pekerja musik atau seni hanya mendapat upah sekali manggung di pentas hiburan rakyat atau rumah makan dan restoran hanya dibayar 300-400 ribu dan harus dikenakan royalti. 

Seperti halnya musisi-musisi di ajang konser-konser berbayar.

Tentu menurutnya ini sangat tidak adil, sedangkan di sisi lain jika tempat yang memakai jasa pemain musik lokal tersebut yang dikenakan royalti maka bisa jadi tempat itu tidak lagi memakai jasa penyanyi /musik di tempat usahanya demi menghindari royalti.

“Pada dasarnya mereka menggunakan musik atau lagu lewat alat elektronik atau dengan memakai jasa musisi kelas rakyat, artinya sangat tidak adil karena yang akan terjadi banyak insan seniman kecil kehilangan mata pencaharian dikarenakan aturan hukum yang sifatnya memaksa itu tadi,” ungkapnya.

Seperti yang sudah dijelaskan Juminta diawal, pengenaan royalti kepada setiap layanan publik komersil adalah jerat juga bagi pemilik hak cipta.

Karena disadari atau tidak, musik atau lagu itu tersebar luas dan jadi disukai, tentu karena penyebarannya dilakukan masyarakat luas.

Kalau masyarakat sudah takut dan tidak mau memutar musik mereka di semua layanan publik, hal ini sama saja menutup ruang popularitas dan ketersebaran lagu atau musik mereka. 

“Maka dari itu, secara hukum saya berpandangan perlunya pengkajian mendalam atas PP 56 tahun 2021 itu sendiri dengan mendudukan sejumlah pihak-pihak penting terkait, jika perlu aturan itu harus diubah dan diperbaharui serta diperjelas,” pungkasnya.

Baca juga: Analogy Pastry and Coffe Balikpapan Berhenti Putar Musik Imbas Polemik Royalti

(TribunKaltim.co/Mohammad Fairoussaniy)

Ikuti berita populer lainnya di Google NewsChannel WA, dan Telegram.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved