Karena kalau saya ndak berbuat, saya akan meninggakan anak cucu saya jadi sampah pemerintah,” kata Pandi kepada BBC News Indonesia.
“Kalau mereka tidak punya legalitas, begitu datang aparat, digusur. Di sini lah kami melawan ketidakadilan itu. Kami warga negara Indonesia, kami punya hak yang sama,” sambung dia.
Namun sejauh ini, tanggapan yang mereka dapat baru sebatas janji-janji tanpa hitam di atas putih.
Ketika pemilu semestinya menjadi ruang bagi harapan baru, Pandi justru merasa harapan itu “sangat tipis”.
“Siapa yang bisa menjamin kami ke depan, saya belum tahu siapa.
Dari ketiga calon ini, saya melihat dari debat di media, banyak yang lebih memikirkan kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat,” kata Pandi.
Dia menyadari bahwa hak masyarakat adat sempat disinggung oleh salah satu pasangan calon, namun “masih sedikit sekali” dan tidak menggambarkan komitmen atau jaminan bahwa situasinyaa akan lebih baik untuk mereka.
Keraguan yang dirasakan Pandi adalah hasil dari “ketidakadilan” yang dia hadapi di tanahnya sendiri ketika megaproyek IKN datang dalam beberapa tahun terakhir.
Begitu pula ketika dia melihat pola serupa juga terjadi di Rempang, Wadas, dan tempat-tempat pembangunan proyek strategis nasional lainnya.
“Saya sulit mempercayai sekarang, hampir semua pejabat pemerintah itu…,” kata Pandi yang kemudian menghentikan kata-katanya.
Ketika ditanya apa yang dia maksud, dia mengatakan, “Ndak berani menjawab”.
Pandi mengaku “lelah berjuang”, namun dia tidak akan berhenti “sampai ajal menjemput”.
“Suatu saat nanti, mudah-mudahan mata hati pemerintah terbuka,” ujarnya.
"Suara kami diminta, tapi kami tidak didengarkan"
Sementara itu Syamsiah tak kuasa menahan tangis ketika membayangkan bahwa suatu hari nanti makam leluhur mereka akan hilang dan anak-anak mereka akan terusir dari tanah sendiri.
"Kalau masalah kampung kami ini mau dilestarikan, dijadikan wisata kampung adat, tapi itu kan baru katanya. Kami belum yakin. Pemerintah ini hanya katanya katanya," tutur Syamsiah.
"Kami ndak minta banyak, kami ndak pernah merampas hak orang. Ini kan tanah orang tua kami, nenek moyang kami yang kami pertahankan."
Namun apa yang diharapkan Pandi dan Syamsiah belum juga terwujud. Terkadang, dia mengaku lelah berjuang.
Meski semangat itu kemudian timbul lagi lantaran khawatir dengan masa depan anak-anaknya.
Dia tidak mau anak-anaknya mengalami persoalan yang sama: terusir dari kampung sendiri karena tak memiliki legalitas atas tanah yang mereka diami berpuluh-puluh tahun lamanya.
"Siapa pun yang duduk di atas, tolong perhatikan kami. Keluarkan kami peraturan daerah pengakuan masyarakat adat itu biar kami tenang. Masalahnya, kami masih sangat ketakutan," kata dia.
Pemilu kali ini pun membuat dia merasa "bingung" karena situasinya berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Di satu sisi, hasil pemilu ini berpengaruh besar bagi nasib mereka. Namun di sisi lain, harapannya tipis untuk didengar.
"Masa suara kami diminta, tapi kami ndak pernah didengarkan," kata Syamsiah.
Meski demikian, Syamsiah dan Pandi menyatakan akan tetap menyalurkan hak pilihnya di kotak suara.
"Karena nasib kami nanti bergantung pada pemerintah," kata Pandi.
Masyarakat adat tetap kalah
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk, mengatakan siapa pun presiden dan wakil presiden yang nantinya terpilih, masyarakat adat yang terpinggirkan akibat proyek IKN “akan tetap kalah”.
Sejak proyek IKN dicanangkan pada 2019, AMAN mengatakan belum ada pengakuan dan perlindungan hukum terhadap status masyarakat adat dan tanah yang telah mereka diami secara turun temurun.
Pengakuan secara hukum itu, menurut AMAN, penting untuk memastikan masyarakat adat tidak terusir dari tanahnya.
Akan tetapi dalam kontestasi pilpres, komitmen soal hak-hak masyarakat adat itu dinilai “luput” dari ketiga pasangan calon.
Dua dari tiga paslon dinilai menyinggung keberlanjutan IKN tanpa menyoroti hak-hak masyarakat adat.
Sedangkan satu paslon lainnya belum cukup menjelaskan komitmennya terhadap masyarakat adat.
“Siapapun jadi presiden, tentu akan melanggengkan oligarki, tentu hanya pemainnya yang berbeda. Tidak akan berubah kalau kami melihat dari situasi dan visi-misi [para capres].
Tidak ada yang bicara soal hak masyarakat adat di IKN,” kata Duan kepada BBC News Indonesia.
Duan mengatakan hal itu bisa jadi merupakan pertanda buruk, mengingat pada 2015 lalu Presiden Jokowi yang berkomitmen untuk melindungi masyarakat adat saja pada akhirnya justru mengabaikan hak-hak mereka.
Menanggapi keresahan masyarakat adat tersebut, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adwijaya mengatakan bahwa dalam proses pembangunan "tidak mungkin semua pihak terpuaskan".
"Bukan berarti yang tidak puas itu salah, mereka punya hak untuk mencoba meraih hak yang terbaik.
Tapi lagi-lagi kalau kami bekerja, basis utama kami adalah aturan hukum yang berlaku," tutur Jaka menyinggung soal penentuan harga tanah untuk ganti rugi lahan warga.
Otorita IKN: kami optimistis
Meski tidak semua pasangan calon menyatakan komitmennya secara tegas soal keberlanjutan IKN, Sekretaris Otorita Jaka Santos mengatakan bahwa mereka "optimistis" soal keberlanjutan megaproyek ini.
Salah satu acuannya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Ibu Kota Negara.
"Sepanjang itu berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, kita tidak ada alasan untuk tidak menjalankan Undang-Undang, kecuali UU-nya semua disetop lalu ada perintah baru, ya itu tentunya keputusan rakyat, bukan keputusan pemerintah sendiri," kata Jaka.
Menurut Jaka, "yang namanya presiden pasti akan menjalankan UU".
"Jadi kita tidak perlu ragu soal itu. Bahwa nanti tiba-tiba meskipun tidak ditulis, tapi [proyeknya] dilaksanakan, ya itu karena melaksanakan UU. Kecuali UU-nya berubah," sambung dia.
Baca juga: Meski Tolak Pembangunan IKN, Anies-Muhaimin Masih Dapat Suara di TPS Khusus Pekerja IKN Nusantara
(*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.