Sebagian besar wilayah Indonesia—terutama di Sumatera dan Kalimantan—akan menghadapi puncak musim kemarau pada Agustus 2025.
Dalam situasi ini, potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) diperkirakan meningkat drastis, dengan wilayah prioritas mencakup Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan analisis curah hujan dasarian (10 harian), sebagian besar wilayah Riau, Jambi, dan Kalimantan masih berada dalam kategori curah hujan rendah hingga awal Agustus.
Baca juga: Prediksi Musim Kemarau Mulai Akhir Juli 2025, BPBD Kutim Petakan Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan
Peta potensi kemudahan kebakaran (Fire Danger Rating System/FDRS) menunjukkan dominasi warna merah, yang menandakan tingkat kemudahan lahan untuk terbakar sangat tinggi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa lahan bisa terbakar secara alami, bahkan tanpa pemantik eksternal.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan, meskipun hujan sempat turun sebagai hasil dari operasi modifikasi cuaca (OMC) pada pekan lalu, dampaknya tidak bersifat jangka panjang.
“Warna Merah kembali muncul. Artinya, efek OMC sudah mulai menurun, dan kondisi cuaca aslinya kembali mendominasi,” jelasnya, dalam siaran pers BMKG.
Baca juga: Musim Kemarau 2025 Mundur dan Lebih Pendek, Curah Hujan Masih Tinggi, Kepala BMKG Ungkap 2 Dampaknya
BMKG kembali mengingatkan bahwa musim kemarau diperkirakan akan berlangsung hingga September, dan musim hujan baru akan mulai masuk pada Oktober.
Artinya, dua bulan ke depan adalah fase kritis yang membutuhkan koordinasi total lintas lembaga.
“Musim hujan belum datang. OMC bukan jaminan. Kuncinya adalah patroli ketat, deteksi dini, dan pemadaman cepat,” tegas Dwikorita Karnawati.
BMKG pun mendorong pemanfaatan data iklim dan prediksi cuaca ekstrem secara strategis.
Baca juga: Wilayah Kalimantan Timur Masih Hujan, Kapan Jadwal Puncak Musim Kemarau 2025? Ini Kata BMKG
Gubernur dan kepala daerah diminta untuk rutin memantau laporan BMKG sebagai dasar dalam pengambilan keputusan—mulai dari pelaksanaan OMC, pengerahan pasukan darat, hingga edukasi masyarakat.
Dalam konteks ini, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati juga menekankan pentingnya kesiapsiagaan di tingkat daerah dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengantisipasi risiko karhutla. (*)