TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG – Warga Kampung Sidrap menjerit di antara peta dan kenyataan.
Mereka 22 tahun hidup di wilayah yang tak pernah memeluk.
Sejak awal 2000-an, Kampung Sidrap menjadi wilayah yang dipersengketakan secara administratif antara Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim.
Kampung Sidrap terletak di wilayah perbatasan antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Hingga kini polemik tapal batas antara Bontang-Kutim belum menemui titik akhir.
Baca juga: Sengketa Tapal Batas Sidrap Bontang dan Kutim Mandek, Keputusan Kini di Tangan MK
Di simpang empat dusun, sebuah tenda darurat berdiri. Kursi plastik berjejer. Warga berduyun-duyun keluar rumah, ada yang berjalan kaki, ada yang naik motor.
Semua berharap satu hal bertemu Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud.
Harapan itu membuncah, meski akhirnya gubernur memilih jalur berbeda.
Gubernur pun tak melihat spanduk besar yang membentang di setiap simpang RT 23. Spanduk berlatar hitam itu memuat jeritan hati warga:
"Semua kebutuhan dasar kami warga Sidrap selama 22 tahun hanya kami dapatkan dari Kota Bontang,"
Begitu kalimat pembukanya, diikuti daftar panjang kebutuhan—mulai dari KTP, KK, akta kelahiran, pendidikan, fasilitas kesehatan, jalan, rumah ibadah, pekerjaan, perdagangan, pemakaman, air bersih, hingga penerangan listrik.
Hamsah, warga setempat, berdiri tegak dengan kacamata hitamnya. Nada suaranya penuh semangat. Baginya, ini momen yang tak boleh disia-siakan.
“Sudah lama kami merasa dizalimi. Tidak ada kemajuan sama sekali di sini. Nol,” ujarnya.
Ia mengaku selama dua dekade tinggal di Sidrap, nyaris tak ada pembangunan berarti dari Pemkab Kutai Timur.
Sekolah, masjid, bahkan jalan pun tak ada yang dibangun pemerintah kabupaten.
Baca juga: Polemik Batas Wilayah Kampung Sidrap, Anggota DPRD Kaltim Sarankan Tempuh Jalur Hukum
Kesempatan untuk bersuara terbuka setelah gugatan sengketa tapal batas Sidrap masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Empat kali sidang digelar, tanpa hasil. Rudy Mas’ud diminta menjadi mediator. Namun, hingga putusan sela akan masuk batasnya, kesepakatan tetap tak tercapai.
Lusa, sidang akan kembali bergulir. Hamsah bahkan mengusulkan dilakukan jajak pendapat, satu per satu warga Sidrap diminta menentukan pilihan.
“Kalau Kutim berkeras, kita lihat suara terbanyak. Itu yang harus diikuti,” tegasnya.
Kisah Irnawati, warga RT 23 Jalan Pipa, serupa. Ia mengatakan jalan di wilayahnya dibangun secara swadaya.
Air bersih pun baru mengalir setelah Pemkot Bontang memasang jaringan pipa.
“Alhamdulillah sekarang air mengalir, tapi itu dari Bontang, bukan dari Kutim,” katanya.
Bagi warga Sidrap, sengketa tapal batas bukan hanya soal garis di peta. Bagi mereka, ini tentang pelayanan publik yang nyata terasa, tentang siapa yang benar-benar hadir memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dan dalam penilaian warga, selama 22 tahun itu datangnya dari Kota Bontang.
Baca juga: Gubernur Kaltim Gagal Damaikan Bontang–Kutim soal Kampung Sidrap, Rudy Masud: Kepala Harus Dingin
Bupati Kutim Tolak Kampung Sidrap Masuk Bontang
Upaya mediasi sengketa batas wilayah antara Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) dan Pemerintah Kota Bontang terkait Kampung Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, kembali berujung buntu.
Dalam mediasi yang dipimpin Gubernur Kalimantan Timur di Gedung Badan Penghubung Provinsi Kaltim, Jakarta, Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman menyatakan sikap tegas menolak Kampung Sidrap masuk wilayah administratif Kota Bontang.
Dalam forum tersebut, Ardiansyah Sulaiman menegaskan bahwa Kutai Timur berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 dan UU Nomor 7 Tahun 2000 yang menjadi dasar hukum pembentukan wilayah administrasi di Kalimantan Timur.
"Kampung Sidrap tidak pernah disebut sebagai bagian dari wilayah administratif Bontang," kata Ardiansyah dengan tegas dan mantap, Jumat (1/8/2025).
Ia merujuk pada Pasal 7 UU 47/1999 yang menyebut bahwa wilayah Kota Bontang hanya mencakup Kecamatan Bontang Utara, Bontang Barat, dan Bontang Selatan, tanpa mencantumkan Dusun Sidrap sebagai bagian dari wilayah tersebut.
Sikap penolakan Ardiansyah Sulaiman terhadap usulan Pemkot Bontang untuk memasukkan Kampung Sidrap ke dalam wilayahnya juga mencerminkan komitmen Kutai Timur dalam menjaga batas administratifnya.
Masalah batas wilayah ini sendiri telah mencuat sejak tahun 2000 dan bahkan sudah ditegaskan melalui Permendagri Nomor 25 Tahun 2005, yang mengatur batas wilayah antara Kota Bontang, Kutim, dan Kukar.
Namun, hingga kini persoalan belum juga menemukan penyelesaian final.
Ardiansyah Sulaiman menyatakan kehadiran Pemkab Kutim dalam mediasi merupakan bentuk sportivitas dalam menjalankan amanat Mahkamah Konstitusi (MK), yang meminta adanya proses klarifikasi melalui mediasi sebelum pengambilan keputusan akhir.
"Meski wilayah yang disengketakan hanya sekitar 164 hektare, tetapi di sana banyak aktivitas warga Kutai Timur. Bahkan warga Bontang yang membuka usaha di sana tidak kami larang, tetapi secara administratif, Kampung Sidrap tetap wilayah Kutim," imbuhnya.
Sementara hasil mediasi belum menghasilkan kesepakatan, Pemprov Kaltim menyatakan akan melakukan survei langsung ke lapangan untuk memverifikasi kondisi terkini di Kampung Sidrap, yang akan menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan final.
Sikap Pemkot Bontang
Wakil Walikota Bontang Agus Haris saat dihubungi mengungkapkan mediasi ini adalah langkah yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Faktanya, Kutai Timur enggan menyerahkan Kampung Sidrap, kata Agus, walaupun secara geografis Kampung Sidrap berada sangat dekat dengan wilayah Kota Bontang.
“Kutai Timur tetap menolak Kampung Sidrap masuk ke Bontang,” ungkapnya kepada TribunKaltim.co, Jumat (1/8/2025).
Penolakan itu disampaikan langsung oleh Bupati Kutim, Ardiansyah Sulaiman, dalam forum.
“Kami bisa memahami, karena mereka punya agenda pembentukan desa baru. Tapi kami juga tidak bisa abaikan aspirasi warga tujuh RT di Kampung Sidrap yang ingin masuk Bontang,” ujarnya.
Meski demikian Agus Haris mengkritik pemaparan Kutai Timur yang dinilainya tidak menyentuh akar persoalan.
“Yang dijelaskan hanya program umum Desa Martadinata. Padahal yang dipersoalkan tujuh RT di Kampung Sidrap. Seharusnya bicara fakta lapangan, bukan manipulasi data,” ucapnya.
Pemkot Bontang sendiri, kata dia, menyampaikan video testimoni warga dan menyerahkan data pendukung ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau dari dulu Kutai Timur serius seperti ini, mungkin persoalan ini tidak berlarut sampai puluhan tahun,” tandasnya.
Disisi lain Ketua DPRD Kota Bontang, Andi Faizal Sofyan Hasdam, membenarkan bahwa mediasi berujung buntu.
“Bisa dibilang gagal. Kutai Timur tetap menolak melepas Kampung Sidrap ke Bontang,” katanya.
Sekilas Kampung Sidrap
1. Lokasi Strategis di Perbatasan Bontang–Kutim
Kampung Sidrap terletak di wilayah perbatasan antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Secara geografis, kampung ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Bontang Barat, Kota Bontang.
Kampung Sidrap juga berada di jalur utama penghubung antara pusat Kota Bontang dan wilayah pesisir Kutim.
2. Akses Lebih Dekat ke Kota Bontang
Kampung Sidrap lebih mudah diakses dari Bontang Barat, dengan akses jalan, layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang lebih dekat ke fasilitas milik Kota Bontang.
Aktivitas sehari-hari warga lebih terhubung dengan Kota Bontang karena lokasi yang lebih dekat secara fungsional.
3. Potensi Kawasan Penyangga Perkotaan
Dengan posisinya yang dekat dengan kawasan industri, permukiman, dan fasilitas publik Bontang, Kampung Sidrap sering disebut sebagai kawasan yang secara sosial-ekonomi lebih terintegrasi dengan Kota Bontang.
Wilayah ini berpotensi menjadi kawasan penyangga (buffer zone) bagi perluasan Kota Bontang ke arah barat.
4. Masuk Wilayah Kutai Timur secara Administratif
Secara de jure (hukum administratif), Kampung Sidrap masih menjadi bagian dari Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur (Kutim)
5. Tidak Termasuk Wilayah Kota Bontang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 dan UU Nomor 7 Tahun 2000 tentang pembentukan Kota Bontang, Kampung Sidrap tidak disebut sebagai bagian dari wilayah Kota Bontang.
6. Sengketa Tapal Batas
Sejak awal 2000-an, Kampung Sidrap menjadi wilayah yang dipersengketakan secara administratif antara Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim.
Sengketa ini mencuat karena aspirasi warga tujuh RT di Kampung Sidrap yang menginginkan bergabung ke Kota Bontang karena alasan pelayanan publik. (*)