Berita Nasional Terkini
'Indonesia Belum Merdeka dari Korupsi,' Sorotan Sudirman Said atas Bebas Bersyaratnya Setya Novanto
Meski Indonesia telah genap berusia 80 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, suara kritis terhadap praktik korupsi masih menggema.
TRIBUNKALTIM.CO - Meski Indonesia telah genap berusia 80 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, suara kritis terhadap praktik korupsi masih menggema.
Salah satunya datang dari Sudirman Said, Rektor Universitas Harkat Negeri Tegal, yang menyebut bahwa bangsa ini belum sepenuhnya bebas dari belenggu korupsi.
Pernyataan tersebut muncul bertepatan dengan pembebasan bersyarat terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto, sehari sebelum peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Ia menyebut, “Kita memang berhak merayakan hari merdeka. Tapi sebenar-benarnya, negeri kita belum merdeka dari cengkeraman para koruptor dan perusak tata hidup bernegara”.
Sosok Sudirman Said, lahir di Slatri, Brebes, Jawa Tengah pada 16 April 1963, ia merupakan alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan meraih gelar Master of Business Administration dari George Washington University, AS2.
Kariernya mencakup berbagai posisi strategis, seperti Direktur Utama PT Pindad (Persero), Wakil Direktur Utama PT Petrosea, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo periode 2014–20163.
Baca juga: Respons Golkar Soal Pembebasan Bersayarat Setya Novanto Terpidana Korupsi e-KTP: Sesuai Proses Hukum
Ia juga dikenal sebagai pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), lembaga yang aktif mendorong tata kelola pemerintahan dan korporasi yang bersih.
Kini, sebagai Rektor Universitas Harkat Negeri Tegal, Sudirman membawa semangat pendidikan dan integritas ke ranah akademik.
Setya Novanto dan Kasus Korupsi e-KTP: Kronologi dan Peran
Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan tokoh senior Partai Golkar, terjerat kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Ia dinyatakan bersalah pada 2018 dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta.
Peran Setnov dalam kasus ini sangat sentral. Ia disebut sebagai aktor utama yang mengatur aliran dana dan pembagian proyek kepada sejumlah pihak di DPR dan Kementerian Dalam Negeri.
Dalam proses hukum, ia sempat menghindar dari pemeriksaan dengan berbagai cara, termasuk berpura-pura sakit dan terlibat dalam kecelakaan mobil yang kontroversial.
Peninjauan Kembali dan Bebas Bersyarat: Prosedur dan Kontroversi
Pada 2025, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setya Novanto.
Vonisnya dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan penjara, dan masa larangan menduduki jabatan publik dikurangi dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.