Berita Nasional Terkin

Apa Bisa Presiden Membubarkan DPR? Begini Aturannya!

Pertanyaan tentang apakah seorang presiden bisa membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap muncul di tengah dinamika politik Indonesia. 

KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN
BUBARKAN DPR - Rapat Paripurna dengan agenda pemilihan ketua dan wakil ketua DPR RI pada Selasa (1/10/2024). Bisakah presiden membubarkan DPR? Ini aturannya (KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN) 

TRIBUNKALTIM.CO - Pertanyaan tentang apakah seorang presiden bisa membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap muncul di tengah dinamika politik Indonesia. 

Secara konstitusional, jawabannya tegas: tidak bisa. 

Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang menjamin pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif. 

Aturan ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Baca juga: Puan Bantah Isu Gaji DPR Naik Rp 3 Juta per Hari, Gaji Wakil Rakyat dan Tunjangan Anak hingga Beras

Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam sistem presidensial Indonesia. 

Ia dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu dan memiliki masa jabatan lima tahun. 

Tugas utama presiden meliputi:

- Menjalankan pemerintahan berdasarkan UUD 1945

- Menetapkan kebijakan nasional

- Memimpin angkatan bersenjata

- Mengangkat dan memberhentikan menteri

- Menyusun dan menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)

- Menjalankan diplomasi dan hubungan luar negeri

Presiden memiliki kekuasaan eksekutif, namun tidak bisa mencampuri urusan legislatif secara sepihak.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga legislatif yang mewakili rakyat dalam proses pembuatan undang-undang dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. 

DPR memiliki tiga fungsi utama:

- Legislasi: Membentuk undang-undang bersama presiden

- Anggaran: Menyusun dan menyetujui APBN

- Pengawasan: Mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah

Anggota DPR dipilih melalui pemilu legislatif setiap lima tahun dan berasal dari berbagai partai politik.

Aturan Pembubaran DPR dalam UUD 1945

Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR

Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 7C UUD 1945 yang berbunyi:

“Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Pasal ini menjadi benteng konstitusional yang menjaga independensi lembaga legislatif dari intervensi eksekutif. 

Kedudukan presiden dan DPR adalah sejajar sebagai lembaga negara, sehingga tidak bisa saling menjatuhkan.

Undang-Undang Dasar 1945 adalah konstitusi tertinggi di Indonesia. 

Dokumen ini menjadi dasar hukum bagi seluruh penyelenggaraan negara, termasuk pembagian kekuasaan, hak warga negara, dan sistem pemerintahan. 

UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa dan telah mengalami beberapa amandemen untuk menyesuaikan dengan perkembangan demokrasi.

Sebagai aturan tertinggi, UUD 1945 tidak bisa dilanggar oleh siapapun, termasuk presiden.

Setiap kebijakan dan tindakan pemerintahan harus tunduk pada ketentuan yang tertulis dalam konstitusi ini.

Baca juga: 10 Tunjangan Anggota DPR RI 2024–2029, Totalnya Capai Rp120 Juta per Bulan, Uang Bensin Rp7 Juta

Presiden yang Pernah Membubarkan atau Berniat Membubarkan DPR

1. Soekarno (1960)

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, adalah satu-satunya presiden yang secara resmi membubarkan DPR

Keputusan ini diambil pada 5 Maret 1960 melalui Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang Pembaharuan Susunan DPR.

Alasannya, DPR hasil Pemilu 1955 dianggap tidak sejalan dengan arah kebijakan pemerintah, terutama setelah menolak RAPBN yang diajukan oleh Soekarno.

Sebagai tindak lanjut, Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960. 

Sebanyak 283 orang diangkat langsung sebagai anggota DPR-GR, menggantikan DPR yang dibubarkan.

Langkah ini dilakukan dalam konteks Demokrasi Terpimpin, di mana presiden memiliki kekuasaan dominan dan sistem multipartai dianggap menghambat stabilitas nasional.

2. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – 2001

Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pernah berniat membubarkan DPR dan MPR melalui Maklumat Presiden pada 23 Juli 2001. 

Dalam maklumat tersebut, Gus Dur menyatakan:

“Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan menyusun badan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun.”

Maklumat ini juga berisi pembekuan Partai Golkar dan perintah kepada TNI-Polri untuk mengamankan langkah penyelamatan negara. 

Namun, tindakan ini dinilai inkonstitusional dan ditolak oleh MPR. 

Beberapa jam setelah maklumat dikeluarkan, MPR menggelar Sidang Istimewa dan melengserkan Gus Dur dari jabatannya. 

Megawati Soekarnoputri kemudian diangkat sebagai presiden menggantikan Gus Dur.

Perbandingan dengan Sistem Parlementer

Berbeda dengan sistem presidensial, dalam sistem parlementer, kepala negara atau kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen.

Hal ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan legislatif yang dominan dan menjaga stabilitas pemerintahan.

Contoh negara dengan sistem parlementer adalah Inggris dan Jepang, di mana perdana menteri bisa meminta pembubaran parlemen dan menggelar pemilu ulang.

Pembubaran DPR oleh presiden bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sepihak di Indonesia. 

UUD 1945 telah menetapkan batasan yang jelas untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan wewenang.

Pasal 7C menjadi tameng demokrasi yang memastikan bahwa lembaga legislatif tetap independen dan tidak tunduk pada tekanan eksekutif.

Sejarah mencatat bahwa tindakan pembubaran DPR oleh Soekarno dan upaya serupa oleh Gus Dur menimbulkan dampak politik yang besar. 

Namun, sejak amandemen UUD 1945, aturan ini diperkuat agar tidak terulang kembali. 

Demokrasi Indonesia bertumpu pada konstitusi, dan setiap pemimpin wajib menjunjung tinggi aturan tertinggi negara.

Sejarah Terbentuknya DPR

Dibentuknya KNIP

Di awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara untuk mengisi pemerintahan belum dibentuk semuanya.

Berdasarkan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang menjadi cikal bakal badan legislatif di Indonesia.

KNIP diresmikan oleh presiden pada 29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian, Pasar Baru, Jakarta. Tanggal peresmian KNIP ini yang kemudian dijadikan sebagai Hari Lahir DPR RI.

KNIP beranggotakan sekitar 137 orang, yang terdiri atas para pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah.

Dalam sidang pertamanya, Mr. Kasman Singodimedjo ditetapkan sebagai ketua KNIP dengan dibantu tiga wakilnya, yaitu Mas Sutardjo Kertohadikusumo, Adam Malik, dan Mr. J. Latuharhary.

KNIP dilantik dan mulai bertugas sejak 29 Agustus 1945 hingga 15 Februari 1950.

DPR dan Senat RIS

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), badan legislatif terbagi menjadi dua majelis, yaitu Senat (beranggotakan 32 orang) dan DPR (beranggotakan 146 orang).

Hak yang dimiliki DPR adalah hak budget, inisiatif, dan amendemen, serta wewenang untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama pemerintah.

DPR juga memiliki hak bertanya, hak interpelasi dan hak angket, namun tidak memiliki hak untuk menjatuhkan kabinet.

Periode ini berlangsung antara 15 Februari 1950 hingga 16 Agustus 1950, karena RIS tidak berlangsung lama.

Setelah tercapai kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dibentuk panitia penyusun RUUD yang disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat serta oleh DPR dan senat RIS pada 14 Agustus 1950.

Setelah itu, diadakan rapat DPR dan Senat pada 15 Agustus 1950 yang menyatakan terbentuknya NKRI dengan tujuan:

- Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi 

- Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Selama periode RIS, DPR berhasil menyelesaikan tujuh buah undang-undang, salah satunya adalah UU No. 7 tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

DPRS dan DPR hasil pemilu pertama

Setelah berlakunya undang-undang dasar baru pada 17 Agustus 1950, DPR pun berubah menjadi DPR Sementara atau DPRS.

Pada 1955, diadakan pemilihan umum (pemilu) pertama dengan total 260 kursi DPRS diperebutkan.

Pemilu ini diadakan pada masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Para anggota DPRS pada pemilu tahun 1955 memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan masa DPR sebelumnya.

 Hanya saja, pada masa ini terjadi tiga kali perubahan kabinet, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.

Dalam susunan legislatif terbaru setelah pemilu terdapat 19 fraksi, yang didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Masjumi, NU, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun DPR mengalami kegagalan dalam menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Akibatnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya untuk kembali kepada UUD 1945.

Era Orde Baru

Pada Oktober 1965, politik Indonesia mengalami kegaduhan pasca-meletusnya Gerakan 30 September atau G30S yang diduga melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Merespons situasi yang sedang terjadi, DPR kemudian membekukan 62 anggota DPR fraksi PKI dan Ormasnya.

Dalam mengatasi situasi tersebut, DPR memutuskan membentuk dua panitia, yaitu:

- Panitia Politik: tugasnya mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik. 

- Panitia Ekonomi: tugasnya memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.

Setelah terjadi transisi pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, DPR memulai tugas dan wewenangnya yang sesuai dengan cita-cita Orde Baru. Adapun tugas utama DPR era Orde Baru adalah:

- Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 

- Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 

- Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945

Selama masa Orde Baru, di dalam tubuh DPR terjadi banyak skandal, seperti korupsi dan penyuapan. Hal ini membuat wajah DPR buruk di mata masyarakat.

Ketua MPR-RI periode 1999-2004, Amien Rais, bahkan mencap DPR sebagai tukang stempel dari pemerintahan Soeharto.

Buruknya kinerja DPR pada era Orde Baru membuat rakyat tidak puas terhadap para anggota legislatif. Hal ini diperparah dengan krisis moneter yang melanda Indonesia saat itu.

DPR juga mendapat kritik dari masyarakat karena dianggap malas bekerja meski telah mendapat fasilitas mewah, seperti gaji besar, kendaraan, dan perumahan.

Puncaknya adalah demonstrasi mahasiswa pada 1998, yang mampu menguasai gedung DPR dan berakhir dengan lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya.

Periode DPR RI

- Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) (1945-1950) 

- DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (RIS) (1950) 

- Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) (1950-1956) 

- DPR hasil Pemilu 1955 (1956-1959) 

- DPR setelah Dekrit Presiden (1959-1960) 

- Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) (1960-1965) 

- DPR GR minus Partai Komunis Indonesia (PKI) (1965-1966) 

- DPR GR Orde Baru (1966-1971) 

- DPR hasil Pemilu 1971 (1971-1977) 

- DPR hasil Pemilu 1977 (1977-1982) 

- DPR hasil Pemilu 1982 (1982-1987) 

- DPR hasil Pemilu 1987 (1987-1992) 

- DPR hasil Pemilu 1992 (1992-1997) 

- DPR hasil Pemilu 1997 (1997-1999) 

- DPR hasil Pemilu 1999 (1999-2004) 

- DPR hasil Pemilu 2004 (2004-2009) 

- DPR hasil Pemilu 2009 (2009-2014) 

- DPR hasil Pemilu 2014 (2014-2019) 

- DPR hasil Pemilu 2019 (2019 sampai sekarang)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bisakah Presiden Membubarkan DPR?"

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah Terbentuknya DPR RI"

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved