Breaking News

Berita Nasional Terkini

Gugat Uang Pensiun DPR ke MK, Syamsul Jahidin: Ketimpangan Nyata Bagi Rakyat Indonesia

Gugat uang pensiun DPR ke Mahkamah Konstitusi, Syamsul Jahidin: Ketimpangan nyata bagi rakyat Indonesia.

Penulis: Rita Noor Shobah | Editor: Heriani AM
ISTIMEWA
GUGAT PENSIUN DPR - Pengacara konstitusional, Syamsul Jahidin penggugat pensiunan seumur hidup anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bersama dr. Lita Gading, perkara yang diajukan terdaftar dalam perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025, menguji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, tentang Hak Pensiun Bekas Kepala Lembaga Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 1a, Pasal 1f, dan Pasal 12. (ISTIMEWA) 

Sosok Syamsul Jahidin

Bersama Lita, Syamsul Jahidin membawa kekuatan hukum ke gugatan ini. 

Pria asal Lombok ini adalah pengacara konstitusional dan managing partner di ANF Law Firm (terdaftar AHU-0000456-AH.01.22 Tahun 2022).

Saat ini, Syamsul sedang menempuh doktor (Dr. cand.) di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA'45), setelah gelar S.I.Kom, S.H, magister hukum militer, dan komunikasi di STHM.

Sertifikasinya mencakup M.M, CIRP, CCSMS, CCA, dan C.Med, menjadikannya ahli di litigasi, kepailitan, mediasi, serta advokasi konstitusional.

Sebagai dosen hukum dan anggota Dewan Pengacara Nasional (DPN), ia aktif berbagi ilmu melalui Instagram @syamsul_jahidin, di mana ia membahas kasus-kasus kompleks dan ekspansi firma hukumnya.

"Hukum adalah alat untuk keadilan sosial," tulisnya dalam salah satu postingan, yang kini menjadi mantra bagi ribuan pengikutnya.

Gugatan ini lahir dari frustrasi bersama atas tunjangan pensiun DPR yang dianggap tak proporsional.

Yang Digugat

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, mantan anggota DPR yang menjabat hanya satu periode (lima tahun) berhak atas 60 persen gaji pokok seumur hidup, plus tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar.

Sejak 1980, sekitar 5.175 penerima telah membebani APBN hingga Rp226 miliar.

"Rakyat bekerja 10-35 tahun untuk pensiun, sementara dewan hanya lima tahun sudah seumur hidup. Ini tidak adil," tegas Lita, yang merasa dirugikan sebagai wajib pajak.

Syamsul menambahkan bahwa status DPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tak boleh jadi alasan hak istimewa, bertentangan dengan asas keadilan sosial UUD 1945.

 

Respons Puan Maharani

Sumber: Tribunnews
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved