Hari Sumpah Pemuda 2025

Sosok Soegondo Djojopuspito, Tokoh Sumpah Pemuda yang Tak Pernah Punya Mobil dan Kisah Perjuangannya

Soegondo Djojopuspito adalah tokoh Sumpah Pemuda yang memimpin Kongres Pemuda II dan menyatukan semangat persatuan Indonesia.

Editor: Doan Pardede
(Wikimedia Commons/National Library of Indonesia)
TOKOH SUMPAH PEMUDA - Foto Sugondo Djojopuspito, Ketua Kongres Pemuda II yang membacakan naskah Sumpah Pemuda. Soegondo Djojopuspito adalah tokoh Sumpah Pemuda yang memimpin Kongres Pemuda II dan menyatukan semangat persatuan Indonesia.((Wikimedia Commons/National Library of Indonesia) 

TRIBUNKALTIM.CO - Becak, bukan mobil dinas. Itulah kendaraan terakhir Soegondo Djojopuspito, tokoh yang memimpin lahirnya Sumpah Pemuda.

Di balik kesederhanaannya, ia menyatukan pemuda dari berbagai penjuru nusantara untuk mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.

Kisah Soegondo adalah bukti bahwa perjuangan besar sering lahir dari jiwa yang sederhana.

"Seminggu yang lalu, saya jatuh dari becak, karena becaknya ditabrak Honda. Untung saya selamat”.

Demikian dituliskan Sugondo Djojopuspito dalam salah satu suratnya yang diungkap oleh Soebagijo IN, wartawan dan penulis sejarah pers.

Dalam suratnya, Sugondo menuturkan, saat itu hanya tulang kakinya yang terasa sakit.

Baca juga: Teks Sambutan Hari Sumpah Pemuda 2025: Refleksi Peran Pemuda sebagai Penggerak Bangsa

Bukan mengejutkan seorang Sugondo naik becak.

Dituliskan oleh sejarawan dan profesor riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam dalam Kompas edisi 28 Oktober 2010, Soegondo memang tak pernah punya mobil sendiri, bahkan sampai akhir hayatnya.

Tokoh Sumpah Pemuda dari kalangan Taman Siswa tersebut dikenal sebagai sosok sederhana, meski kontribusinya besar kepada negara.

Dikutip dari Kompas.com, tokoh pergerakan Soegondo lahir 22 Februari 1905 di Tuban, Jawa Timur. 

Tahun 1925, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, walaupun tidak sampai tamat.

Saat menempuh pendidikan hukum itu, Soegondo tinggal di rumah seorang pegawai pos.

Karenanya, dia bisa mendapatkan majalah Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang sebenarnya dilarang masuk Indonesia.

Tak hanya yang berbahasa Indonesia, buku dalam berbagai bahasa pun dia lahap, seperti Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman.

Wawasan kebangsaan Soegondo semakin terbuka setelah membaca Indonesia Merdeka.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved