Berita Nasional Terkini

Demi Menikahi Kekasih Beda Agama, Pria Asal Bandung Gugat UU Perkawinan ke MK

Ega secara spesifik meminta MK memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.

Editor: Budi Susilo
Grafis TribunKaltim.co/Canva
PERNIKAHAN BEDA GAMA - Ilustrasi pasangan menunjukkan cincin kawinnya, diolah di Canva. Pemohon ajukan ke MK. Pemohon meminta MK memberikan tafsir konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) bahwa pasal tersebut tidak boleh dijadikan dasar oleh pengadilan untuk menolak pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan. (Grafis TribunKaltim.co/Canva) 
Ringkasan Berita:
  • MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  • MK memberikan tafsir konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) bahwa pasal tersebut tidak boleh dijadikan dasar oleh pengadilan untuk menolak pencatatan;
  • SEMA 2/2023 sebagai kemunduran dan tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia

 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Muhamad Anugrah Firmansyah, pria asal Bandung yang akrab disapa Ega, mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan ini diajukan sebagai respons atas polemik pencatatan pernikahan beda agama.

Ega secara spesifik meminta MK memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.

Permohonan ini muncul setelah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang secara garis besar melarang pengadilan mengabulkan permohonan penetapan pencatatan pernikahan antar-agama.

Baca juga: Update Kasus Pernikahan Viral Mahar Cek Rp 3 Miliar, Ini 2 Sosok yang Laporkan Mbah Tarman ke Polisi

“Sejak adanya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, pengadilan diminta untuk tidak mengabulkan permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar-agama,” ujar Ega kepada wartawan di kawasan Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025).

Menurut Ega, pernikahan beda agama adalah realitas sosial yang tak terbantahkan di Indonesia.

Dalam permohonannya, ia bahkan melampirkan data dari jurnal Interreligious Marriage in Indonesia yang memanfaatkan hasil Sensus Penduduk BPS 2010.

Data tersebut menunjukkan adanya 228.778 pasangan yang menikah beda agama dari sekitar 47 juta pasangan suami istri.

Pria yang memeluk agama Islam ini juga membeberkan sejumlah alasan lain, seperti ketidakonsistenan penerapan pasal, kemajemukan masyarakat Indonesia, hingga potensi kerugian hak konstitusional bagi perempuan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan beda agama atau kepercayaan.

Alasan Pribadi dan Restu Keluarga

Di balik upaya hukum ini, Ega memiliki motivasi pribadi. Ia telah menjalin hubungan selama kurang lebih dua tahun dengan kekasihnya yang beragama Kristen Protestan, dan mereka berencana melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.

Proses pengujian UU Perkawinan ini telah mendapat restu dan dukungan penuh dari pasangan, keluarga, dan kerabat.

“Intinya dari teman, pasangan, dan keluarga, berharap semoga lancar dan sukses,” tuturnya.

Ega berharap, jika permohonannya dikabulkan, hal itu dapat membuka jalan bagi dirinya dan pasangan untuk melangsungkan pernikahan secara legal.

Dalam petitumnya, Ega meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sejauh pasal tersebut digunakan pengadilan untuk menolak pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan.

Sebagai alternatif, Ega meminta MK memberikan tafsir konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) bahwa pasal tersebut tidak boleh dijadikan dasar oleh pengadilan untuk menolak pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan.

SEMA 2/2023 Dinilai Tak Kompatibel dengan Kebhinekaan

Polemik yang dipicu oleh SEMA 2/2023 juga mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi dan pegiat HAM.

Baca juga: Angka Pernikahan di Kalimantan Timur, Data BPS Tunjukkan 5 Wilayah dengan Jumlah Tertinggi

SEMA yang mengatur 'Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan' dinilai kontradiktif dengan semangat kebinekaan.

Peneliti Setara Institute, Achmad Fanani Rosyidi, menegaskan SEMA tersebut tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila.

Menurut Achmad, fakta objektif keberagaman identitas warga negara, termasuk agama, seharusnya mendorong seluruh perangkat negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut.

Setara Institute memandang bahwa kewajiban negara dalam perkawinan antarwarga negara bukanlah memberikan pembatasan atau restriksi, melainkan menghormati dan melindungi pilihan warga negara.

“Kewajiban negara hanyalah mencatat perkawinan warga negara tersebut dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi terkait,” pungkas Achmad, menyebut SEMA tersebut sebagai langkah kemunduran.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul UU Perkawinan Jadi Penghalang ke Pelaminan, Ega Cari Keadilan di Mahkamah Konstitusi

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved